Tidak pergi juga (Bab 10)

171 33 3
                                    

Pulang dari main sepak bola rumah tampak sepi. Dari ruang tamu Danur berjalan ke ruang dapur. Di atas meja makan ia menemukan sebuah pesan singkat yang ditulis ibunya pada secarik kertas.

"Danur, Bapak sama ibu ke rumah Mbakmu. Itu ibu sudah siapkan makan malam buat kalian berdua. Jangan lupa kunci pintu, karena Ibu sama Bapak kayaknya pulang agak malam."

Selesai membaca pesan itu Danur segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selang 30 menit kemudian Danur mendengar ketukan pintu dan suara Virendra memanggilnya beberapa kali.

"Danur .... aku pulang." Virendra baru saja di antar pulang oleh Andi.

Saat ini langit mulai gelap, lingkungan sekitar juga mulai sepi. Sudah berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil-manggil Danur, tapi pintu belum juga dibuka.

"Ibunda .... ini aku Virendra."  Kali ini Virendra mencoba memanggil Sekar. Namun, tetap saja tidak ada sahutan dari dalam.

Virendra mulai gelisah, ia pun berpikir Danurdara masih marah padanya dan tidak mengizinkannya masuk.

Tidak mau menyerah, pemuda rupawan itu lantas berjalan ke samping rumah, lalu mengetuk jendela kamar Danurdara.

"Danur, buka pintunya. Di luar mendung, sebentar lagi hujan."

Dari luar Virendra samar-samar bisa melihat Danur berada di dalam.

"Danur, tolong buka pintunya," kata Virendra lagi. Satu tangannya sibuk memukul nyamuk-nyamuk yang mulai hinggap di kulitnya, menggigit dan menghisap darahnya.

"Danur .... buka pintunya, banyak nyamuk di sini."

Meskipun tidak ada sahutan dari dalam, Virendra tidak menyerah. Ia tetap berdiri dekat jendela, mengetuk-ngetuk kaca yang tertutup tirai transparan.

"Danur ...." panggil Virendra dengan nada suara lembut dan mengiba.

"Berisik banget, sih!" Akhirnya Danurdara bersuara. Ia kemudian berjalan ke dekat jendela, membuka tirai dengan sekali tarik ke samping.

Di luar jendela ekspresi wajah Virendra langsung cerah. Bibirnya yang ranum tersenyum manis, matanya yang indah bersinar cerah di bawah cahaya lampu samping rumah yang redup.

"Masih butuh pulang ke rumahku? Kirain ikut Andi," sindir Danur  dengan raut wajah ketus.

"Aku tidak mengenalnya, bagaimana mungkin aku ikut dengannya."

Danur mendengkus, lalu menutup tirai jendela dengan kasar. Keadaan rumah yang kosong membuat Danurdara leluasa mengerjai Virendra. Sebagai anak bungsu, Danur tidak tahu cara menjaga seseorang. Kehadiran Virendra beberapa hari dalam hidupnya mulai terasa menjadi beban. Tingkah polosnya begitu menyebalkan di mata Danur.

Mumpung tidak ada kedua orangtuanya, Danur berencana membiarkan Virendra berada di luar rumah, berharap dengan begitu Virendra akan tahu diri bahwa ia tak mau ditumpangi lagi olehnya dan segera pergi dari rumahnya. Pikiran konyol itu melintas begitu saja dalam pikiran Danurdara.

Hingga selesai makan malam Danur benar-benar tidak menyuruh Virendra masuk. Hujan lebat yang mulai turun juga tidak menggerakkan hati nuraninya.

Di luar rumah Virendra duduk meringkuk di sudut garasi sambil memeluk lututnya, menahan dingin yang menusuk tulang, serta nyamuk yang datang silih berganti hinggap di kulitnya dan menghisap darahnya.

Rasa dingin juga lapar sungguh menyiksa. Tidak ada yang bisa Virendra lakukan saat ini, ilmu malih rupa yang ia pelajari tidak bisa mengubah batu di halaman menjadi roti. Kalau pun bisa, tetap saja itu batu, bukan roti sungguhan.

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang