heartbeat

422 44 6
                                    

Mashiho menggigit bibirnya sendiri tanda bahwa ia sedang gusar.
Dari jendela mobil disampingnya, terpampang jelas sebuah rumah bergaya modern yang cukup besar. Mungkin dua kali lipat dari rumah sewanya?

Ia gelisah sendiri rasanya, padahal sudah seminggu lebih hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk mengatakan bahwa ia siap menemui Bunda. Namun kenapa, kenapa keraguan menguasai dirinya sekarang? Kapan dia akan siap?

Dari kaca belakang, Yoshi bisa dengan jelas melihat Mashiho yang masih tampak begitu gelisah. Bagaimanapun, melupakan trauma bukanlah suatu hal yang mudah.

Yoshi disana tentu paham apa yang Mashiho rasakan, ia juga sudah berulang kali bilang ke pada Mashiho bahwa ia bisa menunggu sampai kapanpun. Mashiho tak perlu memaksakan dirinya begitu. Namun kali ini Mashiho bersikeras meski masih ada keraguan di dalam hatinya.

"Mau tetep lanjut? Aku bisa puter balik kalo kamu mau."

Tubuh Yoshi berbalik ke belakang, ia memandang Mashiho yang sedang memainkan jari jarinya sendiri. Dari kursi depan, Yoshi menggapai satu tangan Mashiho lalu ia genggam. Ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan yang lebih mungil berharap bisa sedikit membawa ketenangan.

"Aku...., ngerasa gabisa mundur lagi. Makin lama aku nunda ini, makin susah buat aku bisa lupa sama hari itu" tangan Mashiho membuka pintu mobil tersebut dengan ragu ragu. Entahlah, tapi bagaimanapun juga ia tak bisa membiarkan Yoshi terus menunggu nya tanpa kepastian.

Yoshi ikut keluar disana, dengan cepat segera menyusul lalu menggenggam lagi tangan Mashiho yang sudah terasa dingin.

"Aku jamin Bunda udah berubah, kamu pasti bisa yakinin dia sekarang" Yoshi mencium punggung tangan Mashiho cukup lama. Lagi lagi ia berharap membuat sebuah distraksi dalam diri Mashiho.

"Inget. Kamu ga sendirian, I'm here for you."

•••

Ia bungkam. Saat ini Mashiho merasa keringat mengucur bebas di tubuhnya, dadanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia terlalu gelisah.

Wanita paruh baya itu ikut diam, melihat sendiri bagaimana sosok Mashiho yang tampak ketakutan saat melihatnya. Ia tak pernah mengira, bahwa apa yang ia perbuat saat itu bisa membuat orang lain begitu hancur.

Kaki wanita itu beranjak berdiri, lalu mulai berjalan mendekat ke arah Mashiho yang masih menunduk. Suara sepatu Bunda menciptakan suara yang semakin membuat Mashiho bergetar, tangannya kini mengenggam erat tangan yang lebih besar. Yoshi disana berusaha menenangkan Mashiho semampu nya.

Ada jeda hening di sana saat suara sepatu itu berhenti, hingga Yoshi berbisik lembut meminta Mashiho untuk tenang dan mengangkat wajahnya.

"Aku minta maaf..."

Mashiho tertegun saat matanya menangkap Bunda Yoshi sedang membungkukkan tubuhnya ke arahnya.
Entah apa yang terjadi, Mashiho perlu waktu hingga akhirnya memahami situasi yang sedang terjadi

"Itu semua salahku."

"Di hari itu, semuanya murni kesalahanku. Tak ada sangkut pautnya dengan Haruto maupun Yoshi" lanjut wanita itu setengah berteriak sembari masih membungkuk dengan mata terpejam.

Pikiran Mashiho seakan membeku sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Melihat sosok Bunda Yoshi yang membungkuk ke arahnya sembari minta maaf sama sekali tak membuatnya merasa lebih baik. Tapi mulutnya bahkan terlalu berat untuk menghentikan apa yang bunda Yoshi lakukan.

"Kumohon. Aku yang akan menanggung semuanya di hari itu" Suara Bunda tetap keras meski dengan nada bergetar. Beberapa air matanya mulai jatuh membasahi lantai.

"Aku tak akan memintamu memaafkan ku. Tapi kumohon, buat bahagia putraku bersamamu."

Yoshi ikut membeku disana, memandang sang Bunda yang telah membuang egonya demi dirinya. Ia tak pernah menyangka sang bunda akan berlaku sejauh ini.

Trauma  [ Yoshiho ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang