14. ARYZA.

18 5 0
                                    

Warung Bu Iis hari ini tutup, karena sedang ada hajatan di rumah mertuanya. Tapi, Aryza tetap datang. Melamun sendiri sambil membayangkan sedang memakan mie. Dia ini, sehari tidak makan mie sepertinya hampa. Apalagi beberapa hari terakhir ini, istrinya Kang Udin selalu masak, makannya Aryza tak makan mie dan sangat merindukannya.

Tadi, ia juga menghubungi Rendy untuk meminjam buku pelajaran. Kemarin, ia tak ikut kelas Bu Mita, maka yang dilakukan adalah meminjam buku untuk mencatat. Walaupun kemungkinan besar ia tak akan paham, yang penting sudah mencatat dahulu.

"Makasih, Ren!" ucap Aryza yang dibalas anggukan oleh Rendy. "Gue gagal mulu, capek."

"Semua orang pernah gagal, Lo bukan superman yang harus terlihat hebat. Lo bukan pesulap yang bisa merubah segala hal dengan cara tringtring doang!" sarkas Rendy.  Ia memang cocok jadi motivator, selalu memberikan motivasi untuk teman-temannya.

"Gak jelas, gue maunya sedih hari ini."

"Laki-laki harus kuat bro, gue juga kuat nih dan meningkatkan buat jadi baja bukan besi lagi." Rendy menepuk-nepuk pundaknya dengan bangga karena sudah bertahan sampai sekarang.

"Gue lupa kalau ada lo yang lebih menderita, Ren." Aryza cengengesan, rasanya puas sudah mengusili Rendy.

Rendy mengepalkan tangannya. "WOY KATA-KATANYA MENGHINA BANGET."

Mereka tertawa, hal konyol yang selalu mereka lakukan. Nasib mereka memang tak sama, walaupun begitu saling menghibur diperlukan.

(*)

Aryza baru saja memberikan makan malam untuk para pekerja bengkel, Istrinya Kang Udin menyuruhnya mengirimkan makanan ke sana. Biasanya, Kang Udin yang membawanya, tapi kebetulan ada Aryza jadi ialah yang mengantarkan.

Sesudah mengirimkan, Aryza berencana untuk jalan-jalan sebentar, mencari angin malam. Ditengah perjalanan, matanya tertuju pada sebuah kafe, Aryza melihat seseorang yang dikenalinya. Merasa tak ada yang beres, ia mencoba menghubungi

"Citra kamu lagi dimana?" tanya Aryza, berharap bahwa Citra bisa menjelaskan.

Perempuan di ujung sana mengangkat telepon. "ini aku dirumah, lagi belajar."

"Sama siapa?"

"Sendirian aja sambil dengerin musik."

"Oh, have fun ya belajarnya."

"Siap sayangku!" Citra menjawab dengan semangat.

Aryza merasa kecewa, baru kali ini ia tahu Citra berbohong tepat di hadapannya. Jelas-jelas di sana Citra sedang duduk bersama seorang laki laki, Ia ingin sekali menghampiri mereka saat itu. Namun seseorang menghubungi, ia tak bisa menolak panggilan seseorang yang paling berharga itu, Bapak. Apalagi, beberapa hari ini, Bapak sibuk dengan pekerjaan luar kotanya.

"Za? Apa kabar? Maaf Bapak gak sempet hubungin kamu, hp Bapak mati terus gak bisa pake charger, ini juga pake dekstop, dibeliin Kang Usman."

Hati Aryza merasa lemah, mendengar Bapak yang kesulitan dengan ponselnya. Andaikan, hari itu, hari itu Aryza bisa membelikan ponsel baru, Bapak tak perlu kesusahan seperti ini. Aryza benar-benar merasa kecewa pada dirinya sendiri.

"Aryza baik, Pak."

"Kamu di mana itu? Banyak suara kendaraan kayanya," tanya Bapak. "Jangan terlalu lama di luar, kamu cepet pulang, Ya. Jaga diri kamu dengan baik."

"Iya, Bapak juga jaga kesehatannya, jangan terlalu capek, jangan lupa obatnya dimakan. Kapan pulang?"

"Belum pasti, Za."

"Kalau gitu hati-hati, ya, Pak. Cepet pulang, Aryza kangen."

Percakapan singkat antara Bapak dan Aryza berkahir, Aryza harus segera pulang ke rumah untuk menyelesaikan tugasnya. Tak enak juga jika terlalu malam pulang, pasti Kang Udin khawatir.

(*)

Aryza duduk diruang tengah, menuliskan tugasnya. Sebenarnya ia tidak dapat fokus, entah kenapa perasaan nya begitu tak karuan. Terlalu banyak hal menumpuk di dalam pikirannya, sampai ia sendiri bingung sebenarnya apa yang membuat dirinya seperti ini.

"Ngapain, Za?" tanya Kang Udin membawakan segelas air putih.

"Nyatet, Kang. Aryza bikin kesalahan, jadinya harus nyusul gini."

"Kenapa bisa?"

"Aryza lupa bawa buku tugas." Aryza tak melanjutkan menulis, pikirannya sedikit kalut. Perempuan di kafe, Bapak, semua itu memenuhi pikirannya.

"Kamu kenapa atuh, Za?" Kang Udin menatap Aryza, merasakan ada yang aneh dengan sikap Aryza. Biasanya selalu terlihat bahagia, tapi hari ini wajahnya tak menunjukkan itu.

Aryza menggigit mulutnya, menahan diri untuk tidak menumpahkan semua kecewa nya. Matanya tak bisa bohong, ada rasa sedih yang ia sembunyikan. "Bingung, Kang. Gatau sebenernya apa yang dipikirkan dan diinginkan."

Kang Udin mengusap punggung lelaki dihadapannya, berharap Aryza tetap kuat dengan segala pikiran yang mengganggunya itu. Meskipun Kang Udin tak paham, tapi sebisa mungkin untuk menenangkan Aryza.

Aryza hanya bisa tersenyum, ia tetap harus bersyukur karena ada Kang Udin yang menerimanya. Ia sendiri bingung, kenapa dirinya selalu lemah akan semua hal, kenapa selalu banyak yang dipikirkan,

(***)

"Rasain lo, berani banget nampar gue!" sarkas seorang pria yang baru saja melayangkan pukulannya hebat pada wajah Aryza.

Tak sampai disitu, pria itu juga menendang perut Aryza tanpa belas kasihan. Aryza merasakan pusing dan mual hebat, dada pun ikut terasa sesak. Tetapi, pria itu tetap memukul tanpa memberikan kesempatan bernapas. Disaat hidungnya sudah mengeluarkan darah pun, pria itu tetap memukul wajah Aryza.

"PUAS GUE!" Teriaknya. "Jangan membangun kan singa yang sedang tidur, lo mukul gue? Itu balasannya." Pria itu pergi dengan santai, bahkan ia sempat menendang wajah Aryza yang sudah terbaring lemas.

Aryza merintih kesakitan, tak ada yang mendengar karena suasana taman yang sepi. Aryza menatap langit yang semakin lama terlihat buram, matanya tak bisa terkontrol hanya gelap yang dirasa, berharap ada seseorang yang melihatnya. Namun, tuhan memilih Aryza untuk tak merasakan sakit lagi, membiarkan Aryza menutup matanya.

 Rindu [ LEE HAECHAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang