17. PULIH

17 2 0
                                    

Aryza sudah mulai membaik, pusingnya sudah jarang menghampiri. Ia sudah bisa tertawa lepas, apalagi kehadiran Tias membuatnya sedikit senang, sudah lama tidak berjumpa.

"Kak Tias? Kapan kesini?" tanya Aryza semangat.

"Kemarin, Za. Cepet sembuh, ya." Tias memberikan beberapa makanan ringan, tak lupa membawa Energen coklat kesukaan Aryza.

Kedua mata Aryza melebar, terkejut dengan barang bawaan Tias. "Banyak banget, terimakasih, Kak."

"Akang yang nyuruh, Za. Ini semua makanan kesukaan kamu, tapi gak ada mie nanti asam lambung kamu naik." Kang Udin sedikit tertawa, pasalnya wajah Aryza sedikit muram ketika mendengar tak ada mie dikantong bawaan Tias.

"Dia udah diperingati buat menjauhi mie, tapi susah, Kang." Bapak mulai curhat, merasa lelah dengan Aryza yang terlalu mencintai mie.

"Mie adalah belahan jiwaku." Aryza tertawa, yang lain ikut tertawa.

Aryza bersyukur, masih banyak orang baik disekelilingnya. Tidak ada hal yang harus ia kecewakan, karena kenyataan masih ada orang yang peduli padanya.

(***)

(**Flashback**)

"Lo mau, ris?" tanya Jafar memastikan.

"Gue mau aja, penasaran juga sama tuh cewek."

"Tapi awas suka beneran sama dia." Jafar memperingati, takut jika Haris merusak rencana yang sudah disusun dari lama.

"Aelah, gue juga pilih-pilih kali kalau nyari cewek!" ucap Haris meluruskan. "Lagian, kalau gini bisa menghapus semua rasa penasaran gue tentang Citra, apa iya sifatnya yang dulu berubah."

"Sifat dulu? maksudnya?"

"Iya, dia temen gue smp, ekskul sih. Dia cukup populer, karena itu banyak yang pengen kenalan. Tapi katanya dia keras kepala dan banyak mau," ucap Haris. "Intinya dia perfeksionis."

"Kan keliatan dari wajahnya juga, dia tuh tipe orang yang pengen di ngertiin tapi gak paham situasi." Rendy mendengus kesal, kenapa bisa Aryza mempunyai kekasih seperti Citra.

"Rencana awal, lo ajak Citra main bareng. Terus lo harus ngobrol apapun yang bisa bikin dia cerita tentang hubungannya sama Aryza," jelas Jafar.

"Kalau Aryza tau gimana?"

"Ya Jagan sampai dia tau, syaid! Gimana lo aja, yang penting dapat sedikit informasi tentang dia, apakah Citra beneran sayang sama Aryza atau cuman bohong."

Haris mengangguk paham. "Aman!"

Benar, semua rencana ini adalah ulah mereka. Bukan tanpa alasan, awalnya karena ingin memastikan bahwa Citra ini perempuan baik atau bukan. Karena pada kenyataannya, Citra selalu mengabaikan Aryza, kalaupun bertemu seperti layaknya teman biasa.

Namun, semua yang direncanakan tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Rencana kecil itu menjadi masalah besar dan berhasil membuat Aryza harus merasakan sakit.

"Bukan salah Haris, tapi salah kita. Maaf, jujur gue gatau bakalan jadi kaya gini." Rendy menghela nafasnya beberapa kali, merasa sangat bersalah telah ikut andil dalam rencana ini.

Aryza terdiam, ia mencoba memahami setiap kalimat yang keluar dari teman-temannya tersebut. Membiarkan mereka untuk menceritakan kejadian sebenarnya.

"Jujur, awalnya kita cuman pengen lihat sifat asli dia. Kita gak ekspetasi lo bakalan berantem sehebat ini, Za. Maafin kita gagal jadi temen yang baik."

Aryza tersenyum sinis. "Gak apa-apa, gue emang bodoh gak bisa dibilangin."

"Bukan begitu. Rencananya melampaui yang di ekspektasi kan. Maafin kita yang egois, Za." Jafar menarik lengan Aryza, berusaha memohon agar permintaan maafnya diterima. "Rencana ini emang udah gak bener dari awal."

"Udah tau gak bener kenapa tetep kalian lakuin?" Aryza mengacak-acak rambutnya, merasa frustasi dengan keadaan saat ini. Namun, Aryza tak bisa marah begitu saja, ia harus tetap mengontrol emosi jika ingin segera pulih. "Gak sekalian bikin gue mati?"

"Za, kita nyesel banget pernah lakuin semua ini." Jafar menarik lengan Aryza, tapi Aryza melepaskan nya secara paksa.

"Harus lo semua ikut campur masalah percintaan gue?" Aryza mengutarakan. "Apa yang kalian pengen dari hubungan gue?"

Aryza benar-benar sudah muak, mereka terlalu ikut campur dalam hal percintaannya. Walaupun teman-temannya sering membantu, bukankah keterlaluan jika memiliki rencana seperti ini?

Rasa sakitnya kambuh lagi, ia merasakan pusing yang hebat. Padahal seharusnya Aryza memperbanyak istirahat, tapi pikirannya malah menjadi lelah seperti ini.

(*)

Malamnya, Aryza mengobrol bersama Bapak, menceritakan kronologi tentang kejadian sebenarnya. Setelah banyak berpikir seharian, Bapak harus tahu tentang ini. Aryza juga berusaha untuk memaklumi apa yang temannya lakukan, ia tak mau lelah berpikir, ia hanya ingin istirahat dengan tenang.

Aryza mengangguk. "Mereka dalangnya."

Bapak terkejut bukan main, ternyata teman yang selalu dipercaya dan dianggap sebagai rumah bisa melakukan hal yang kita sendiri tak pernah duga.

"Tapi, kalau dipikir-pikir ini peringatan juga buat Aryza. Kalau cinta sama orang jangan cinta banget, jadinya keliatan bodoh." Aryza tersenyum, ia sudah banyak memikirkan kenapa mereka melakukan ini, pasti karena ada alasan dibelakangnya.

"Cara mereka yang salah, Za. Apa harus bikin kamu terbaring di rumah sakit?"

"Gak apa-apa, semua yang hadir di kehidupan kita itu pelajaran, kan?" Aryza tersenyum. "Lagian, Aryza juga capek, mungkin ini tanda harus istirahat sebentar."

Bapak mengusap pucuk rambut Aryza pelan, merasa tersentuh karena Aryza tak ingin membalas dendam atau melakukan hal buruk lainnya. Berkat pelajaran yang selalu Bapak berikan, Aryza selalu berusaha untuk berpikir sebelum bertindak.

Jika dibilang sakit hati, tentu saja. Tapi, Aryza ingin menjadi laki-laki tangguh, ia harus kuat dengan semua rintangan hidupnya.

 Rindu [ LEE HAECHAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang