16. TAK PUNYA HATI?

21 6 0
                                    

Dua hari telah berlalu, Aryza belum juga sadarkan diri, ia masih nyaman dengan tidurnya. Kini, Bapak duduk di luar, tak tahan melihat Aryza yang tak juga memberikan respon. Kang Udin berusaha menanangkan Bapak agar tak terlalu larut dengan pikirannya, memastikan bahwa Aryza akan segera bangun.

Kang Udin benar-benar setia menunggu, dari awal Aryza masuk rumah sakit hingga saat ini, Kang Udin tak pernah absen untuk datang. Beliau juga sama-sama khawatir dengan kondisi Aryza, merasa bersalah karena tak dapat menjaga Aryza dengan baik.

"Pak?" panggil seorang laki-laki yang kemudian bersimpuh di hadapan Bapak. "Saya minta maaf karena buat Aryza kaya gini."

Kedua mata Bapak melebar, terkejut dengan kalimat yang didengarnya. "Kenapa? Kenapa harus Aryza?"

Lelaki itu bungkam, ia hanya diam menatap tangannya yang gemetar. Tangan yang berhasil membuat Aryza terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Apa kamu gak berpikir nasib Aryza setelah ini? Kenapa harus anak saya yang kamu bikin kaya gini." Bapak memegang bahu lelaki dihadapannya, seraya menyadarkan diri. "Saya sayang Aryza, dia anak saya satu-satunya."

"Maaf.."

Bapak tak bisa menahan amarahnya lagi, hatinya semakin panas ketika melihat lelaki tersebut. Rasanya ingin memukul, tetapi Bapak tak dapat melakukan. Alhasil, tembok menjadi sasarannya, Bapak menuangkan amarahnya pada tembok tersebut, sampai tangannya mulai memerah dan lebam.

Kang Udin berusaha menenangkan, ia tahu betul bagaimana perasaan orangtua jika anaknya berada di rumah sakit. "Udah, Jon!Duduk, ini minum dulu."

"Pak? Haris minta maaf yang sebesar-besarnya. Haris gak sengaja ngelakuin semuanya." Iya, Haris pelaku sebenarnya, dia yang membuat Aryza terbaring di sana. "Haris hilaf, Haris salah besar."

Kang Udin menarik tangan Haris, memintanya menjauh dari Bapak. "Sementara ini, kamu pulang dulu aja, suasananya belum aman."

"Tangan Haris gemetaran, gak pernah tahu bakalan melakukan hal sekejam itu." Haris ikut menangis, ia benar-benar tak sengaja melakukan semua ini. "Haris salah."

"Kamu bisa jelaskan lagi nanti, pulang ya?" pinta Kang Udin. "Sekarang suasananya masih panas, kamu mending karantina diri dulu."

"Haris salah, maaf."

"Kamu mengakui kesalahan sudah bagus, sekarang pulang dulu." Kang Udin mengantarkan Haris sampai gerbang rumah sakit, sementara untuk menanangkan suasana, lebih baik Haris tak memunculkan wajahnya sampai Aryza pulih.

(***)

Dokter sedang memeriksa kondisi Aryza, tadi Bapak melihat tangan Aryza bergerak. Dengan sigap, Bapak keluar memanggil dokter dan kini sedang menunggu pemeriksaan selesai.

"Syukurlah Aryza sudah pulih," ucap Dokter membuat Bapak sumringah. "Kita lihat dulu kondisinya sampai besok, kalau Aryza membaik, lusa sudah boleh pulang."

Bapak mengangguk paham. "Aryza sehat kan, Pak?"

"Sehat, asalkan dijaga makanannya. Kalau kambuh, obatnya segera dimakan secara teratur." Dokter memberikan surat tebusan obat, kemudian membiarkan Bapak bertemu dengan Aryza.

"Aryza!" sambut Bapak yang baru masuk. Bapak meraih badan Aryza, memeluk erat putra kesayangannya itu. Hatinya lega, Aryza membuka matanya kembali.

"Bapak? Kenapa matanya sembab?" tanya Aryza polos.

"Gak apa-apa, habis makan yang pedes tadi." Bapak mencoba membohongi, walupun sebenarnya Aryza tahu jika Bapak menangis selama tidurnya. "Gimana? Mendingan?"

 Rindu [ LEE HAECHAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang