3. SALAH PAHAM

94 14 0
                                    

Mencari penumpang itu memang sulit, apalagi semuanya sudah serba digital. Belum lagi banyak diskon jika membeli online, semakin sulit saja untuk bersaing. Tapi, Aryza tetap berusaha, walaupun terkadang ia lelah dan ingin menjadi miliarder.

Setelah berkeliling, pada akhirnya yang di tuju adalah warung Bu Iis. Aryza sudah seperti pemilik warung karena setiap hari datang, bahkan Bu Iis saja sudah tahu betul apa yang akan ia pesan.

"Apa? Mi pedes lagi sama teh anget?" tanya Bu Iis pada Aryza yang baru saja duduk.

Aryza hanya bisa tersipu malu. "Belum pesen tapi udah cakep aja, Bu."

Tanpa banyak basa-basi, Bu Iis segera menghidangkan makanan kesukaan Aryza. Baru mencium baunya saja, Aryza sudah tergiur untuk segera makan. Disela lahapnya makan, Kang Udin menghampiri Aryza.

"Darimana, Kang?"

"Habis beli makanan ikan," ucap Kang Udin sambil memperlihatkan kresek hitam yang dibawanya. Kang Udin memang penyuka ikan, ia memiliki aquarium besar yang berisi beragam ikan hias di rumahnya.

Aryza mengangguk. "Makan, Kang?"

"Makan aja," jawab Kang Udin. "Abis ini, anter Akang ke rumah temen, ya? beliau baru pindahan kemarin. Pengen nengok aja, udah bertahun-tahun gak ketemu soalnya."

"Kemana aja bisa sampai gak ketemu selama itu, Kang?"

"Beliau tinggal lama di Jakarta, itu juga pindah ke sini karena kerjaannya."

"Ooh, boleh deh." Aryza setuju, lantaran hari ini tak ada jadwal apapun. Kang Udin juga terlihat sangat senang begitu Aryza menyetujui ajakannya.

Kini mereka berdua pergi, kali ini Kang Udin yang mengendarai karena beliau yang tau tempatnya dimana. Memasuki perumahan, suasana di sana sangat menenangkan, lingkungan bersih dan tentunya tidak ada tetangga julit.

Setelah sampai, Kang Udin buru-buru mengetuk pintu, sang pemilik rumah yang berada di dalam langsung menghampirinya. Begitu keduanya bertemu, rasa rindu yang dipendam terasa terlepaskan.

"Apa kabar?" sapa seseorang memakai kemeja putih sembari memeluk hangat kang Udin.

"Alhamdulillah baik, udah lama pisan gak ketemu. Saya gak nyangka bisa ketemu lagi," ucap kang Udin haru. "Pak Mahfud dan keluarga sehat?"

"Alhamdulillah, sini duduk dulu di dalam," ucap Pak Mahfud.

Begitu masuk, mereka disuguhi oleh ruangan yang begitu besar, sofa dan interior rumah benar-benar ditata dengan sangat rapi. Beberapa lukisan di dinding sangat indah untuk dipandang, itu semua karya Pak Mahfud yang memang gemar melukis. Di sana juga ada seorang gadis kecil, begitu melihat ada yang datang, gadis itu langsung memberikan salam. Adab yang baik.

"Ini anak Saya, Salma." Pak Mahfud menunjuk Salma, ia tersenyum dan menundukkan kepala untuk menyapa, tak lupa bersalaman.

"Cantiknya," puji Kang Udin.

"Duduk dulu," tawar Pak Mahfud. "Eh ini anak Kang Udin? Udah segede ini aja, berarti total punya 2 anak?"

Aryza menggelengkan kepalanya. "Bukan, Pak. Saya Aryza, anak temennya Kang Udin, ini lagi anterin aja."

"Dia anaknya Joni." Kang Udin ikut menjelaskan.

Pak Mahfud mengangguk paham. "Kang? Ikut saya bentar yuk, mau nunjukin sesuatu. Salma, temenin kakak nya, ya?"

Setelah Pak Mahfud dan Kang Udin pergi, Aryza merasa tak enak. Masalahnya, ia tak mengenal siapa-siapa tapi ditinggal begitu saja, rasanya hati ini ingin menjerit.

"Mau ngopi, Kak?" tawar Salma malu-malu.

"Boleh," jawab Aryza reflek.

"Ngopi apa, Kak?"

"Gorengan aja kalau ada."

Salma mengernyitkan matanya. "Hah?"

"Iya, ngopi gorengan." Aryza kembali mengkoreksi jawabannya.

"Emang ada kopi rasa gorengan?"

Keduanya terdiam, mereka sama-sama kebingungan dengan percakapan yang terjadi hari ini. Perihal ngopi, suasana menjadi sangat canggung.

"Mana makanannya?" tanya Pak Mahfud yang baru saja datang bersama kang Udin. "Masa enggak disuguhi apa-apa."

Salma sedikit mendekat pada Pak Mahfud. "Aku bingung, emang ada kopi rasa gorengan? Tadi katanya mau ngopi gorengan."

Pak Mahfud dan kang Udin tertawa, pertanyaan terlucu jatuh pada Salma, semuanya jadi salah paham. Terkadang perkataan akan beda arti tergantung daerahnya masing-masing.

"Maksud Aryza tuh makanan, makan gorengan," jelas Pak Mahfud.

"Jadi kalau di Sunda, ngopi tuh ngemil gitu istilahnya?" tanya Salma yang penasaran.

Kang Udin mengangguk. "Betul."

(***)

Minggu pagi yang lumayan cerah, Aryza sudah mangkal di warung Bu Iis. Ia baru saja pulang dari mengantarkan Bapak ketempat kerjanya. Tak ada rencana apapun, jadi melamun adalah solusinya.

Ditengah lamunan seriusnya, seseorang menyadarkannya. Siapa lagi kalau bukan Kang Udin, teman Bapak. Teringat akan sesuatu, Aryza buru buru mempertanyakan.

"Eh kang, Aryza baru inget. Mau nanya sesuatu boleh?"

"Boleh, nanya banyak juga boleh."

"Akang ada masalah sama Bapak?"

Kang Udin yang mendengar hal tersebut belum menjawab, ia terlihat kebingungan. Bahkan, yang tadinya berniat ingin minum, ia malah membuang air tersebut.

"Kang!" panggil Aryza menyadarkan kang Udin.

"Eh iya!" ucap Kang Udin gugup.

"Ada apa? Soalnya waktu itu Aryza pernah bahas masalah motor, eh Bapak malah masuk kamar. Aryza bingung," jelas Aryza. "Biasanya gak gini."

"Beneran marah Bapak kamu?"

"Gak pasti juga, makannya Aryza nanyain."

"Waktu itu..." Kang Udin kini menceritakan bagaimana kejadian saat pertengkaran kecil terjadi.

Terik matahari begitu menusuk tubuh, badan berkeringat seperti ini rasanya ingin berenang di kolam es dan beristirahat. Tapi, berbeda dengan Bapak, ia harus bergelut dengan suasana seperti ini.

Bapak sedang mengantarkan batako ketempat pembangunan, karena jalannya sempit, Bapak tak menggunakan mobil kolbak, melainkan menggunakan roda agar cepat sampai. Namun, di pertengahan jalan sebuah motor tiba-tiba menghantam dan berhasil membuat roda terguling, membuat batako hancur berserakan, sungguh malang.

Bapak panik, semua batako yang dibawanya sudah hancur, tak ada satupun yang terselamatkan. "Aduh, kang! Kenapa gak hati-hati bawa motornya? Jadi semuanya jatoh."

Kang udin ikut panik, pasalnya batako itu tak lagi utuh. "Maaf-maaf, saya gak sengaja."

Bapak terdiam menatap batako yang berserakan. "Gimana ini? Gaji saya pasti dipotong."

"Saya yang bakalan ganti, saya beneran minta maaf. Biar saya yang urus aja," ucap Kang Udin menenangkan. "Ayo saya anter."

Sebelum pergi, mereka membersihkan batako yang berserakan terlebih dahulu. Tak mungkin dibiarkan begitu saja, akan menggangu warga.

"Akang gatau bakalan jadi masalah besar," jelas kang Udin. "Soalnya semenjak kejadian itu Akang jarang ketemu juga."

"Iya juga, masa gara-gara ini Bapak marah?"

"Akang juga bingung, Za. Kirain masalah itu udah selesai karena udah di ganti, gak mungkin kan Bapak kamu terus marah?"

Aryza mengangguk, ia setuju, tak mungkin masalah sekecil ini jadi besar. Apalagi Bapak tak suka memperpanjang suatu masalah, lantas kenapa?

 Rindu [ LEE HAECHAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang