DUA PULUH

1.4K 193 22
                                    

Hari ini Becca merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar dan dia merasa tidak  bertenaga. Hari ini Freen akan pulang ke Thailand. Tidak akan kembali ke Paris lagi.



Awalnya dia memang tidak ingin tahu kapan tepatnya Freen akan pulang ke Thailand, tetapi akhirnya dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia bertanya pada Lisa, Lisa memberitahunya dan bertanya apa yg akan dilakukannya. Terus terang saja, Becca tidak tahu. Dia tidak berencana melakukan apa pun, hanya duduk di ranjangnya dan melamun.



Apakah dia perlu menelepon Freen?

Apakah dia perlu mengantarnya ke bandara?

Apakah dia sanggup mengucapkan selamat tinggal sekali lagi?



Tidak, sebaiknya dia tidak melakukan semua itu . Itu hanya akan lebih menghancurkan dirinya. Biar Lisa saja yg akan mengantar Freen ke bandara. Biar Lisa saja yg mengucapkan selamat tinggal. Becca sendiri tidak sanggup melakukannya. Lisa juga berjanji akan meneleponnya bila Freen sudah pergi.



Tiba-tiba dia mendengar ponsel nya berdering. Dengan cepat dia meraih ponsel dan menempelkannya ke telinga.



"Hallo?"



"Becca?"



"Krystal?" gumam Becca dan bahunya merosot.



"Aku meneleponmu untuk memberitahu supaya kamu mendengarkan siaranku nanti."



"Kenapa?"



"Ini penting sekali," suara Krystal terdengar serius.



"Katakan padaku, Krystal." desak Becca.



"Freen, mengirim email lagi."



Becca menahan napas.



"Dan ini email terakhirnya."



******



"Apakah ada yg tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yg tidak boleh dicintai? Aku tahu."



Kalimat pembuka dari email Freen itu membuat Becca menahan napas.



"Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yg sangat penting dalam hidupku.



"Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia sedikit mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya pada pertemuan kami yg ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya kepadaku. Selama ini aku tidak pernah percaya pada yg namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapat kesempatan mengenalnya.



"Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja--tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yg dia tahu, kami bertemua pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami-- dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.



"Bintang keberuntunganku ternyata sedang bersinar terang saat itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa sengaja. Kali ini dia yg datang menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.



"Benar, gadis misterius yg kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yg sama.



"Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup memghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yg paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yg tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidal masuk akal, tapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?



"Satu-satunya yg bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yg kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti--aku tidak tahu kapan--rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali."



Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Becca meraih ponselnya dan menepelkannya ke telinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yg mengalir deras.



"Becca?" suara Lisa terdengar di telinganya.



"Aku ada di bandara. Pesawat Freen baru saja lepas landas."



Becca tidak bisa mendengar suara Lisa lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali dia berusaja menarik napas. Namun dia bisa mendengar suara pelan Krystal yg membacakan kelanjutan surat Freen.



"Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengatakan....



"Aku mencintainya...."



Saat itulah secuil kendali diri Becca yg rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Dia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Dia membiarkan isakannya, sedu-sedunya, air matanya tumpah keluar. Dia tidak bisa menahannya walaupun dia ingin. Dia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena dia sungguh tidak tahu apalagi yg bisa dilakukannya terhadap lubang besar yg menganga di dalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.












TBC.

Mungkin dua atau tiga bab lagi cerita ini bakal end. Dan saya belum menyiapkan cerita baru. Wkwk.

IN PARIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang