DUA PULUH TIGA

2.5K 223 49
                                    

Pegangan pintu dari besi itu terasa dingin dalam cengkraman Becca. Butuh keberanian besar untuk masuk ke kamar rawat Freen. Dia harus menguasai dirinya terlebih dahulu.



Hari sudah sore ketika dia tiba kembali ke rumah sakit. Ayahnya melihat kedatangannya dan segera memeluknya. Saat itu juga Becca tahu dia akan kehilangan Freen.



"Ayah sudah mencobanya," gumam Ayahnya.



Becca menatap Ayahnya dan menyadari Ayahnya habis menangis.



"Ayah bahkan sudah meminta pendapat Laurent, tetapi hasilnya sama saja," lanjut Ayahnya. Suaranya serak karena emosi.



Ayah sudah meminta pendapat Dr. Laurent... Ternyata tetap tidak bisa membantu...



"Kamu mau menemuinya?" tanya Ayahnya sambil mengusap wajah.



Becca mendesah dan tidak menyahut. Dia menghela napas tanpa suara dan akhirnya mengangguk.



Dan di sinilah dia, berdiri dengan tegang di depan kamar rawat Freen dengan tangan mencengkram pegangan pintu. Dia memejamkan mata. Jangan menangis. Jangan menemui Freen dengan wajah basah karena air mata. Freen tidak akan senang melihatnya.



Dia membuka pintu dan melangkah masuk. Bau rumah sakit tidak pernah menyenangkan. Tidak pernah membuat siapa pun tenang. Begitu menusuk... Dingin...



Pertama-tama matanya melihat sosok Freen yg terbaring tak bergerak di ranjang, lalu berbagai selang dan kabel yg menghubungkan tubuh Freen ke semua mesin dan peralatan yg ada disekitar ranjang. Dengan susah payah Becca mengalihkan pandangannya ke arah mesin-mesin yg menunjukkan kondisi vital Freen. Dia tidak memahami sebagian besar mesin itu, hanya saja matanya terpaku pada mesin yg menunjukkan detak jantung Freen.



Monitor itu masih menampilkan garis tidak teratur. Jantung Freen masih berdetak. Dia masih hidup...



Langkah Becca terasa berat ketika dia menghampiri sisi ranjang. Wajah Freen nyaris tidak terlihat jelas di balik semua perban dan masker oksigen. Mata Freen terpejam. Terlihat tenang sekali. Seolah tidur.


Becca harus mengatakan sesuatu. Diam saja juga tidak ada gunanya. Kalau dia bicara, apakah Freen bisa mendengarnya? Apakah Freen akan terbangun begitu mendengar suaranya? Apakah harapannya terlalu berlebihan? Apakah salah mengharapkan keajaiban?



Becca menatap wajah Freen dan bergumam pelan.



"Kamu bukan putri tidur, kamu tahu? Kenapa kamu tidak bangun saja sebelum aku membuat keributan?"



Dia diam, mengharapkan jawaban yg dia tahu tidak akan diterimanya. Freen tetap bergeming.



Becca duduk di kursi yg disediakan di sisi ranjang. Dia menghela napas dan menunduk.



"Aku... tadi pergi ke apartemenmu," gumamnya. Suaranya lirih. Hanya sebesar itulah tenaga yg bisa dikerahkannya untuk bicara.



"Apartemenmu lumayan berantakan. Tempat tidur belum dibereskan..." Becca mengangkat wajah dan tersenyum singkat, lalu menunduk kembali ketika merasa matanya perih.



"Kuharap kamu tidak keberatan aku melihat-lihat. Kamu tahu aku sangat mudah penasaran. Aku ingin mendapat sedikit gambaran bagaimana hidupmu di Thailand."



Becca mendesah pelan.



"Aku juga... Aku juga sudah melihat foto-foto itu."



IN PARIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang