One;

884 92 8
                                    

Roxy sudah pernah berkata pada ibunya untuk tidak mendaftarkannya di perkemahan musim panas—karena hal itu merupakan hal terbodoh yang ada di dunia. Orang-orang di sana hanya akan memasang api unggun di malam hari seraya menari-nari seperti orang bodoh. Panitia acara itu juga akan menyita ponsel-ponsel. Yang artinya tidak akan ada internet selama perkemahan. Dan, karena sebuah alasan tak pasti, Mariah Kibler malah mendaftarkan Roxy untuk bergabung di perkemahan musim panas tahun ini.

"Perkemahan tolol itu sama sekali tidak keren, Bu," gerutu Roxy. Dia berdecak sebal di hadapan ibunya. Gadis itu melipat kedua tangannya di dada dan memasang tampang kesalnnya. "Umurku sudah 15 tahun! Tidak sepantasnya aku mengikuti kegiatan bodoh itu. Ibu mengerti, kan?"

Mariah memalingkan wajahnya dari laptop dan menatap Roxy dari balik kacamatanya. "Roxy, perkemahan itu dibuka untuk anak-anak berusia 4 hingga maksimal 17 tahun. Jadi, kau masih pantas untuk mengikuti perkemahan itu."

"Kau lihat sendiri, kan? Perkemahan itu pasti dipenuhi anak-anak 4 tahun yang berisik dan menjengkelkan. Kau ingin aku bergabung dengan anak-anak?" Roxy berkata dengan nada sarkastik yang menjengkelkan. Dia mengangkat kedua tangannya untuk mendukung sikap sarkastiknya itu.

"Kau juga mendengarku, bukan? Masih banyak anak-anak seusiamu yang akan mengikuti kegiatan itu. Dan kau akan bergabung dengan anak-anak seusiamu," kata ibunya, mulai jengkel. "Pembicaraan selesai. Kita sudah sepakat mengenai ini."

"Sepakat?!" seru Roxy. "Ini keputusan sepihak. Aku bahkan tidak pernah setuju untuk pergi ke sana. Kalau kau ingin tahu, Bu, anak-anak seusiaku akan pergi ke pantai pada musim panas. Mereka tidak akan berada di perkemahan musim panas. Dan apabila ada, maka mereka adalah anak-anak payah! Aku tidak ingin menjadi salah satu dari pecundang itu."

"Roxy, bisakah kau diam saja dan menurutiku?" Ibunya sedikit membentak, akan tetapi hal itu tidak meruntuhkan pertahanan Roxy untuk tetap berada di ruang kerja ibunya. "Kau tahu sendiri aku sibuk dan harus keluar kota."

"Kalau begitu aku bisa ikut denganmu."

"Ini bukan main-main. Kepergianku ke luar kota merupakan tugas kantorku yang benar-benar penting."

"Titip saja aku pada Bibi Amelia. Aku sudah terbiasa dengannya—meskipun aku sedikit malas melihat rumahnya yang beratap bocor atau pemanggang rotinya yang suka rusak." Roxy mendesah.

Dia membayangkan bagaimana payahnya tinggal bersama Amelia, kakak dari ibunya. Gadis itu selalu merasa terkena sial apabila tidur di sana. Mula-mula, Amelia selalu memberikannya pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau menjemur pakaian. Lalu, rumah wanita itu memiliki atap yang bocor. Kemudian, terkadang Roxy tidak bisa memakai internet di sana karena rumahnya tidak memiliki fasilitas Wi-Fi. Betapa menyebalkannya tinggal di rumah bibinya. Roxy berpikir, mengapa Amelia tidak pernah berpikir untuk pindah rumah saja?

Kemudian Roxy melanjutkan. "Tak apalah. Yang penting aku tidak berada di perkemahan musim panas."

Ibunya mendengus, menutup laptopnya dan membuka kacamatanya. Sembari memijit dahinya frustasi, wanita itu berkata, "Roxy, dengarkan aku. Aku akan keluar kota dan aku tidak mau kau sendiri di rumah. Selama ini aku telah menitipkanmu di rumah Amelia dan merepotkannya."

"Bahkan akulah yang merasa direpotkan!" Roxy menyela, tak lupa memberikan nada sarkastik di ucapannya.

Ibunya memelototinya dan melanjutkan. "Kau tidak ingat ada berapa tetangga Amelia yang bermasalah dengannya karena ulahmu—karena kau terus-terusan mengganggu anak mereka?"

Roxy menyela lagi. "Itu karena aku bosan, Bu. Jika kau ingin aku tidak bosan berada di rumah Bibi Amelia, maka kau harus berbaik hati untuk memfasilitasi rumahnya dengan Wi-Fi. Lakukanlah demi Roxy Kibler, anakmu. Bukan begitu?"

"Jangan menyelaku kalau aku sedang berbicara!" Mariah membentaknya. Wanita itu mengambil napas panjang, kemudian menyentak pelan. "Bibimu yang malang itu sudah direpotkan olehmu, Roxy. Dan alasanku selanjutnya untuk menitipkanmu di perkemahan adalah kau bisa hidup mandiri di sana. Kau tahu sendiri kalau kau adalah anak yang suka tergantung pada orang lain. Aku ingin kau bisa hidup dengan bantuan dirimu sendiri."

Roxy diam, tidak menyahut lagi. Bibirnya terbentuk tak wajar dan matanya menatap ke lantai. Alisnya bertaut, tangannya mengepal pelan. Dia memendam sebuah perasaan dongkol yang amat sangat besar pada Mariah.

"Kau harus memikirkan alasanku, Roxy. Alasan terpentingku untuk mendaftarkanmu ke sana juga agar kau berperilaku lebih sopan," kata Mariah. Wanita itu kemudian bangkit dan menghampiri Roxy, mengajak anak gadisnya itu untuk keluar dari ruangan kerjanya dan mengantarkan anaknya itu ke depan pintu kamarnya. "Berkemaslah mulai esok hari. Tiga hari lagi, aku dan Rudy akan mengantarkanmu ke tempat berkumpul sebelum perkemahan dimulai."

Roxy tidak merespons apapun lagi. Gadis itu melepas tangan ibunya dari pundaknya dan masuk ke dalam kamarnya dengan sedikit membanting pintunya. Dengan gerakan secepat cahaya, gadis itu melompat ke atas ranjangnya dan membenamkan kepalanya di bantal.

Ingin sekali ia marah dan menangis di hadapan ibunya.

Mariah tidak mengerti seberapa tidak kerennya perkemahan musim panas. Percayalah, perkemahan itu hanya akan diikuti oleh anak-anak kecil yang tidak bisa diam dan tidak bisa diatur. Roxy tidak ingin menjadi remaja payah yang mengikuti sebuah perkemahan musim panas. Dia tidak ingin mengambil risiko dihina oleh teman-teman sekolahnya karena mengikuti perkemahan musim panas.

Mariah tidak percaya kalau anak-anak seumuran Roxy akan pergi ke pantai saat musim panas. Bahkan teman satu kelas Roxy yang bernama Hillary akan melangsungkan pesta ulang tahunnya di pantai—Hillary bahkan membuat undangan di sebuah poster besar yang ditempelkannya di mading. Di posternya, Hillary berkata kalau dia akan menyediakan vila untuk teman-temannya yang mau datang secara gratis, sudah termasuk konsumsi.

Mungkin Roxy bisa menghubungi Hillary dan meminta Hillary untuk memasukkan namanya dalam daftar tamu. Jadi, Roxy bisa lari dari perkemahan musim panas itu. Ide yang bagus.

Roxy mengangkat tubuhnya dari tempat tidur dan mengambil ponselnya yang berada di atas meja rias. Dengan gerakan jari yang cepat, dia menekan nomor yang tertera di poster Hillary dan menghubunginya.

Tidak perlu menunggu lama, Hillary sendiri yang menerima teleponnya.

"Hai, dengan siapa aku bicara?"

"Hai, Hillary," balas Roxy. "Aku Roxy."

"Oh, Roxy Hitler."

"Bukan. Roxy Kibler."

"Maaf, aku punya banyak kenalan bernama Roxy. Kau Roxy Kibler yang mana?"

Roxy menghela napas. "Temanmu di kelas Sejarah. Kau tahu aku, kan?"

"Oh, Roxy Kibler yang itu," Hillary tertawa di ujung telepon. "Ada apa, Roxy? Eh, tunggu. Bukankah Roxy Kibler di kelas ada dua? Astaga, bukan Roxy Kibler yang ada dua. Jackson Hitler lah yang ada dua di kelas. Baiklah, kembali ke topik. Ada apa, Roxy? Sebaiknya kau cepat, ya. Karena aku sedang membuat daftar anak-anak yang akan kujadikan tukang suruh di pesta ulang tahunku nanti."

Roxy memutuskan sambungan telepon dan menghela napas untuk kedua kalinya. Bergabung dengan Hillary dan teman-temannya bukan merupakan hal yang bagus. Mungkin Roxy tidak punya pilihan lain selain mengikuti acara perkemahan tolol itu.


[A/N]: Haii! Jadi, ini chapter satu. Maaf ya kalo pendek huahaha. Kayaknya fanfic ini juga bakal jadi fanfic yang ngga panjang panjang amat. Jangan lupa divote & comment ya cx Makasihh yang udah baca xx

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang