Nine;

267 44 0
                                    

Blair ada di sebelah Roxy, sengaja mengambil posisi agar gadis kecil itu sarapan di dekatnya. Sejak dari tadi, Roxy belum menyentuh sarapannya. Pandangannya selalu terpaku pada piringnya. Sementara itu, makanan Blair sudah hampir habis. Waktu yang diberikan untuk makan pun sudah akan habis.

"Roxy, mengapa kau tidak makan?" tanya Blair, suaranya terdengar polos. Gadis kecil itu mengambil segelas jus jeruk dan meneguknya.

Roxy perlahan menoleh pada Blair. "Mengapa kau mengurusiku, ha?"

Blair menunduk dan menggelengkan kepalanya. Roxy mengalihkan pandangannya ke sekitar. Para panitia juga ikut sarapan dan berbaur dengan peserta (ada Kourtney di seberang Roxy, tapi Roxy tidak mau repot-repot untuk melihat wajah kotornya itu). Namun, sebagian peserta perkemahan sudah selesai makan. Pengecualian untuk Louis. Roxy akhirnya menemukan sosoknya di barisan paling ujung. Louis sepertinya tidak lapar, sama seperti Roxy.

Setelah pengakuan Louis kemarin pagi dan setelah mereka dibebaskan dari gudang, Roxy dan Louis sama sekali tidak pernah menyapa satu sama lain lagi. Kemarin di tempat itu, mereka memang sempat berdebat.

"Tidak mungkin, kau pasti hanya mengarang," kata Roxy kemarin. Wajahnya terlihat syok mendengar pernyataan Louis yang tidak masuk akal.

Louis mengacak rambutnya frustasi. "Aku bersumpah demi Tuhan, Roxy, kau harus percaya padaku."

"Hah? Jadi kau pikir ada orang yang seperti itu?"

Louis mengernyit. "Seperti apa?"

Alih-alih menjawab, Roxy mengerang marah. "Louis! Kau cuma salah lihat, tidak mungkin ayahmu adalah calon ayah tiriku." Gadis itu sama sekali tidak percaya pada omongan Louis.

"Terserah padamu!"

Kemudian, pintu gudang terbuka. Baik Louis maupun Roxy sama-sama menyembunyikan ponsel mereka. Dua orang panitia lalu menyeret mereka ke tenda mereka masing-masing.

Roxy menghela napasnya berat ketika Stella tiba-tiba saja berada tepat di hadapannya, sedangkan Blair di sampingnya telah menghilang entah kemana. "Apa kau ingin membunuhku? Silahkan saja," kata Roxy tak acuh. Gadis itu membuang wajahnya dari hadapan Stella dan melihat ke arah lain.

"Habiskan makananmu," kata Stella dingin. Wanita itu mengikuti gerakan Roxy. "Kami berada di sini bukan untuk mendidik anak berandalan sepertimu. Jadi, lebih baik kau dengarkan apa kataku."

Api kemarahan Roxy tiba-tiba saja menyulut. Seharusnya Roxy tidak perlu marah, tetapi Stella baru saja menyiram percikan api dengan bensin. Gadis itu melempar piring berisi kentang bakar miliknya yang belum tersentuh ke arah Stella. "Makanan-makanan ini bisa saja sudah kalian racuni! Dasar penjilat!" teriaknya di depan wajah Stella. Gadis itu menarik perhatian banyak peserta yang masih ada di sekitar area makan, termasuk Louis yang menoleh mendengar keributan yang disebabkan oleh Roxy.

"Kau tidak punya sopan santun sama sekali. Kau seharusnya diberi pelajaran!" bentak Stella, emosi wanita itupun kian memuncak menghadapi Roxy. Akan tetapi, pertahanan Roxy tidak goyah. Gadis itu malah semakin menatap Stella jijik.

"Kalian yang harusnya diberi pelajaran," kata Roxy. Dia mendekat pada Stella dan memberikan tatapan tajam pada wanita itu. "Dengan segala penipuan yang telah kalian lakukan kepada kami dan orangtua kami, aku bisa saja memenjarakanmu, Keparat!"

Stella tidak berkomentar. Wanita itu hanya menatap wajah Roxy dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

"Ya Tuhan, hentikan mereka!" seru seorang panitia yang kini berlari menuju Stella dan Roxy. "Kenapa gadis remaja itu menjadi emosi tiba-tiba? Kourtney, bawa gadis pembangkang itu pergi!"

Kourtney yang berada tidak jauh dari mereka hendak menarik Roxy pergi kalau saja Roxy tidak mendorong dada wanita muda itu dengan tangan kanannya. Entah Roxy mendapatkan kekuatan dari mana, tetapi Kourtney terlihat meringis kesakitan setelah mundur beberapa langkah.

"Jangan menyentuhku. Aku tidak sudi," kata Roxy dingin. Tatapan mengerikannya jatuh pada Kourtney. "Penipu."

"Jaga ucapanmu. Kami bukan penipu," sungut Stella. "Aku bisa saja melaporkanmu kepada Nyonya Kibler."

"Aku bisa saja melaporkanmu kepada Nyonya Kibler," Roxy mengikuti ucapan Stella sembari tersenyum miring. "Bagaimana?"

Lalu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membuat Roxy berdiri dengan cepat. Gadis itu cukup terkejut. Saat dia menoleh untuk melihat, ternyata orang itu adalah Louis. Cowok itu menariknya pergi menjauh, tidak peduli Kourtney dan panitia lainnya terus memanggil nama mereka. Mereka terus berjalan sampai tiba di beberapa pepohonan yang berderet. Louis membawa Roxy bersembunyi di balik sebuah pohon besar.

Roxy menarik lengannya secara kasar dan disaat itu pula Louis berkata, "Kau memakai amarahmu terhadapku untuk melawan mereka. Itu tidak benar."

"Diamlah, Louis, kau tidak tahu apa-apa!" geram Roxy.

"Apa yang kau katakan barusan itu bisa membahayakan posisimu—dan juga posisiku di sini!" teriak Louis. "Mereka sudah memanipulasi orangtua kita, dan kini mereka akan melakukannya untuk yang kedua kalinya!"

Roxy mengernyit. "Apa, sih, maksudmu?! Kau tidak bisa menjadi orang yang lebih jelas, ya? Jangan sok pintar. Dari awal, kau selalu berkata dan bertindak seperti kau adalah yang terpintar dan terbenar. Tidak bisakah kau tutup mulut saja dan melihat apakah hidup kita akan hancur jika kita tidak mengetahui semua ini? Tidak, Louis. Jika kita tidak mengetahui segalanya, kita tetap akan menjadi kita yang menjalani perkemahan ini seperti anak-anak lainnya yang tidak merasakan sebuah masalah ada di sekitar mereka."

Louis diam. Cowok itu melangkah mundur untuk menjauh dan mengamati Roxy. Ekspresinya tidak menunjukkan luka, melainkan kecewa. Tetapi tetap saja, terluka dan kecewa itu jaraknya hanya setipis kertas. "Dari awal, aku juga tidak pernah mengajakmu untuk bergabung denganku, kan, Roxy?" Cowok itu menggelengkan kepalanya dan pergi meninggalkan Roxy.

Seharusnya Roxy bersikap biasa saja karena gadis itu tidak pernah memikirkan perasaan orang lain selama ini. Tetapi, entah kenapa, kenyataan Louis meninggalkannya seperti itu membuat Roxy sedikit sedih. Dan kecewa. Dan marah pada dirinya sendiri. Roxy telah menemukan seorang teman, tapi lalu dia juga yang menyia-nyiakan temannya itu. Roxy tidak percaya dia memang gadis sepayah itu.

Sekarang ini, masalah perkemahan bukanlah masalah utama baginya. Jika dia tidak berulah, maka perkemahan ini tidak akan berdampak buruk baginya. Tetapi, masalahnya sekarang ini adalah Louis. Dan Louis adalah temannya. Kali ini, Roxy harus menyelesaikannya.

[A/N]: Hai. Jadi... ya chapter ini doesn't make any sense ya, kalau diliat-liat. Sebenernya, aku mau gabungin yang ini sama yang selanjutnya, tapi jatuhnya ntar kepanjangan (meskipun sebenernya pendek hahaha). Jadi, ini cuma filler kok. Selesai baca, jangan lupa kasih vote dan komentar, ya. Makasih banyak!!

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang