Eleven;

240 48 0
                                    

Keesokan harinya, di pagi hari, Roxy merenungkan beberapa hal. Pertama-tama, dia tidak menyangka tadi malam dia meminta maaf pada Louis. Dalam sejarah hidupnya, Roxy tidak pernah meminta maaf. Kalian ingat kejadian di supermarket sehari sebelum Roxy berangkat berkemah? Yah, Roxy tidak harus meminta maaf pada gadis berambut ungu itu, kan?

Tetapi, kali ini berbeda. Roxy meminta maaf pada Louis, dan dia melakukannya dengan sungguh-sungguh—dengan mengharapkan maaf yang sungguh-sungguh juga. Mungkin, pikir Roxy, kalau kau mengira seseorang itu adalah temanmu yang sesungguhnya, maka kau akan terus memikirkan kesalahanmu dan meminta maaf. Untung sekali Louis mau memaafkan Roxy yang agak keras kepala.

Kemudian, Roxy memikirkan Rudy (bagaimana tidak?). Dia sudah mengenal pria itu selama lima tahun lebih, tetapi mengapa pengkhianatannya pada ibu Roxy baru terbongkar sekarang? Demi apapun, Roxy benar-benar sudah menganggap pria itu ayahnya sendiri. Roxy tidak menyangka Rudy itu sebegitu jahatnya. Sekarang, dia tidak akan pernah memaafkan Rudy yang sudah menipu Mariah.

Tetapi Rudy sudah seperti ayahku, pikir Roxy lagi, pria itu sangat baik dan sangat menyayangiku. Gadis itu merasa tertekan sampai ingin menangis membayangkan apa yang telah dilewatinya bersama calon ayah tirinya itu selama lima tahun.

Baru saja dua bulan lalu dia pergi bersama Rudy ke toko sepatu untuk membeli sepatu baru. Waktu itu, Rudy membeli sepatu dengan model yang sama dengan milik Roxy. Mereka memang seperti ayah dan anak kandung. Kemudian, mereka makan es krim bersama-sama. Pada hari ulang tahun Roxy, Rudy juga membelikan beberapa album baru dan sepuluh buah case untuk ponselnya. Rudy... begitu baik. Dia tidak mungkin mengkhianati ibunya.

"Roxy! Kau dengar aku apa tidak?"

Roxy tersentak begitu melihat wajah Louis yang kelihatan bodoh berada di hadapannya. "Sejak kapan kau ada di sini?"

"Sejak kau melamun," Louis memiringkan kepalanya. "Apa kau memikirkan ayah tirimu?"

"Tidak. Maksudku... ya. Bagaimana tidak?" Roxy menatap Louis lemah. "Katakan padaku kau juga memikirkan ayahmu, atau aku akan merasa seperti gadis tolol yang lemah."

"Tidak munafik. Aku juga memikirkannya," Louis duduk di sampingnya. "Dan kau bukan gadis lemah, Roxy. Kau sudah membuktikannya dalam berbagai cara."

"Whoa, terima kasih," kata Roxy pelan. "Jadi, bagaimana dengan rencana kita?"

"Hari ini. Sekarang. Kita akan melakukannya," jawab Louis. "Aku meretas. Baru saja."

Roxy terkejut, tapi tidak menunjukkannya dengan berlebihan. "Kau juga bisa meretas?"

"Sebagai bonus. Ya." Louis menyapu pandangannya ke lapangan hijau, tempat banyak peserta berlalu-lalang karena sekarang adalah waktu istirahat. "Aku hanya meretas sistem jadwal mereka. Kebetulan, hari ini mereka membuat waktu senggang dimana kita bisa mencoba beberapa wahana—tapi aku tidak tahu jelas. Dalam kesempatan itu, kita akan berpura-pura kecelakaan."

Roxy mengangguk mengerti. "Bagaimana jika aku tidak bisa mengambil kesempatan? Bagaimana jika kesempatannya tidak ada?"

Louis menoleh pada gadis itu, tersenyum dan memukul pundaknya untuk memberi kekuatan. "Percayalah, Roxy. Ada banyak jalan menuju Roma."

***

"Untuk peserta di atas 13 tahun, kalian bisa mencoba walk climbing," seru seorang panitia laki-laki. Dia sedang membawa segerombolan peserta berusia 13 tahun ke atas berkeliling daerah perkemahan. "Tetapi kalian tetap akan diawasi."

"Ide yang bagus," bisik Roxy pada Louis. "Tapi sepertinya itu berbahaya. Ya, kan, Louis?"

Louis mengamati wahana itu, tidak merespons Roxy. Roxy sendiri tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh cowok itu.

"Apakah tidak ada fasilitas lain?" tanya Roxy saat semua orang tidak mengeluarkan suara. Beberapa peserta mungkin terkejut melihat Roxy bertanya.

"Ada arung jeram, Roxy Kibler," kata si panitia, yang membuat Roxy mendesah karena namanya diingat oleh panitia itu. Ternyata, Roxy lumayan terkenal. Kemudian perhatian panitia itu kembali ke kelompok peserta. "Apa ada yang ingin mencoba arung jeram?"

Beberapa peserta mengangkat tangannya sebagai tanda permintaan, termasuk Roxy. Si panitia laki-laki mengangguk dan berkata, "Aku akan memanggil pemandu untuk arung jeram. Sekarang, apa ada yang ingin mencoba walk-climbing?"

"Aku akan mencoba yang ini," kata Louis pada Roxy sembari mengangkat tangannya. "Kau pergilah ke sungai, aku akan mencoba yang ini."

Roxy mengangguk, kemudian mengikuti si panitia untuk menemui pemandu lain. Setelah beberapa langkah dia berjalan, dia kembali menoleh pada Louis. "Aku tahu kita akan berakting, tapi, berhati-hatilah. Sampai jumpa."

Beberapa puluh menit kemudian, Roxy dan tujuh peserta lainnya beserta seorang pemandu arung jeram sudah berada di atas tebing di depan sungai, memakai pelampung berwarna oranye beserta pelindung kepala berwarna kuning. Sekarang, mereka lebih mirip tim SAR ketimbang peserta arung jeram.

Roxy melihat ke bawah, yang sedikit membuatnya mual. "Apa sungainya dalam?" tanya Roxy pada panitia. Akan tetapi, panitia tersebut tidak mendengarkannya.

Seorang anak laki-laki mendengarnya. "Kau ukur saja sendiri," kata cowok itu, tertawa dan menyentuh bahu Roxy. Kejadian itu berlangsung dengan sangat cepat. Cowok itu bermaksud untuk bercanda—tapi dia mendorong bahu Roxy—menyebabkan Roxy kehilangan keseimbangannya di atas tebing dan jatuh meluncur ke sungai.

Roxy bahkan tidak sempat berteriak ketika air menghantam tubuhnya seperti besi. Dingin, pikirnya. Dia menggigil. Kemudian, gadis itu mendengar teriakan terkejut peserta di atas tebing dan mulai panik. Terakhir kali Roxy berenang, kejadiannya tidak begitu menyenangkan karena dia tenggelam. Sekarang, Roxy tidak mau kejadian itu terulang kembali.

Roxy mencoba mengambil napas. Pertanyaannya terjawab: sungai itu tidak dalam, akan tetapi arusnya cukup deras sehingga membuatnya terbawa dan terbentur beberapa batu besar. Sepertinya pelampung dan pelindung kepala tidak cukup, karena Roxy menjadi ingin muntah dan bukannya kesakitan. Gadis itu berusaha untuk menghentikan tubuhnya, tapi arusnya sama sekali tidak ingin bersahabat. Dia mulai berteriak, tetapi napasnya yang sesak membuatnya sulit untuk mengeluarkan suara sedikitpun.

Dia mendengar orang-orang di atas mulai berteriak dengan sangat keras—dan hal itu membuat Roxy malah semakin takut dan panik. Sial sekali, pikirnya, aku ingin berpura-pura, tapi ini benar-benar terjadi. Gadis itu akhirnya memilih untuk memegang sebuah batu besar agar tubuhnya tertahan dan tidak terbawa oleh arus lagi. Dia berhasil—tapi hanya bertahan beberapa detik. Lalu tangannya yang licin terlepas dari batu, membuatnya kembali terbawa arus dengan sangat cepat. Dia mulai berteriak lagi. Dalam hatinya, Roxy mengutuk orang-orang yang tidak ingin menolongnya.

Apa dia begitu jahat sampai orang-orang membencinya? Roxy pikir tidak. Gadis itu hanya bandel, tidak bisa diberitahu, dan tidak bisa dikekang. Roxy tidak pernah merasa merugikan orang—apalagi berbuat jahat. Demi Tuhan, mengapa semua orang tidak mau menolongnya?

Tubuh Roxy lama-lama menjadi semakin ringan. Arus benar-benar membawa tubuhnya dengan mudah. Pertahanannya habis sudah. Gadis itu melemah, membiarkan tubuhnya terus terbawa. Sementara itu napasnya sudah sangat sesak. Lalu, Roxy pingsan.


[A/N]: Haloo! Pertama-tama, aku sebenernya bener-bener ngerush supaya Plus Times Plus selesai hahaha. Jadi, mungkin ada sekitar satu... dua... tiga... ya dua chapter terakhir dan sebuah epilog lagi, terus selesai hehe. Karna nih aku pengen ngepost cerita baru (ayo dibaca ya nanti). Oh iya, jangan lupa vote dan komen lah ya biar sama-sama enak (lha wkwk). Makasih banyak xx

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang