Twelve;

233 47 10
                                    

"Louis! Roxy membuka matanya!"

"Benarkah? Sebentar, aku akan melihatnya—aw!"

Roxy mengerjapkan kedua matanya, memfokuskan pandangannya, dan menemukan wajah Louis serta Blair di atasnya. Mereka terlihat bingung, terutama Blair. Tapi Louis mengembangkan senyumannya yang manis untuk Roxy.

"Akhirnya kau bangun!"

"Wow, wow," erang Roxy ketika dia berusaha bangkit. "Kau bicara seperti aku baru saja sadar dari koma."

"Kau memang koma," kata Louis, mengernyitkan dahinya, membuat Roxy terkejut.

Gadis itu melihat ke sekitarnya, tapi hanya ada dia, Louis dan Blair di dalam tenda kesehatan. "Benarkah?"

Louis kembali menyeringai. "Tidak. Kau cuma pingsan satu hari," Cowok itu tertawa. "Bodoh. Kau tidak terluka, tapi kenapa kau pingsan lama sekali, hah?"

"Kau pikir aku mau pingsan sehari penuh?" Roxy memicingkan matanya ke arah Louis. Tetapi perban yang ada di lengan kanan cowok itu cukup membuat Roxy terkejut. "Kau kenapa?"

"Ini?" tanya Louis sambil menunjukkan lengannya. "Bukan apa-apa."

"Louis bohong," celetuk Blair tiba-tiba. Roxy menoleh pada gadis kecil itu. "Tangannya memar. Aku pikir begitu," katanya dengan polos. "Karena Louis tadi kehilangan keseimbangan dan melayang-layang di udara."

Roxy tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar diksi gadis kecil itu. Sementara itu, Louis meringis karena rahasia kecilnya terbongkar.

Cowok itu memegang kedua bahu Blair. "Hei, Blair, kau belum tahu apa-apa tentang memar dan rasa sakit. Nah, sekarang sudah waktunya makan siang, bukan? Pergilah menemui kelompokmu. Sebentar lagi panitia akan memberikan kalian makan siang."

Blair, seperti biasa, mengangguk menurut. Gadis kecil itu memutar tubuhnya dan keluar dari tenda kesehatan.

"Kenapa dia bisa di sini?"

"Dia merasa dekat denganmu," kata Louis, tersenyum. "Itu sebabnya dia ingin berada di dekatmu. Anak kecil memang suka begitu. Kupikir dia tidak punya kakak di rumah."

Roxy mengedikkan bahunya, tidak ingin tahu. "Dan, kau? Kau itu hanya berakting atau benar-benar terluka?" Roxy menunjuk lengan kanan Louis.

"Sebenarnya, nasib kita sama," jawab Louis, yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan Roxy. "Tapi ini dia kabar gembiranya."

Mata Roxy berbinar, seolah-olah sudah tahu apa kabar gembira yang dimaksud Louis. "Benarkah? Mereka sudah memanggil orangtua kita?"

Belum sempat Louis menjawab pertanyaannya, pintu tenda terbuka dan memperlihatkan dua sosok orang. Salah satunya adalah seorang wanita pirang berkaos biru dan celana jeans putih. Satunya lagi adalah—demi apa—itu Rudy! Maksud Roxy, itu adalah Martin Tomlinson!

Louis mendongak menatap kedua orangtuanya yang segera mendekatinya. "Louis, kau tidak apa-apa? Apakah tanganmu sakit?" Ibu Louis, Diana Tomlinson, segera menarik Louis agar berdiri untuk memeriksa segala bagian tubuhnya. "Ya Tuhan, syukurlah kau tidak luka-luka."

Sementara itu, Rudy Dillon berperilaku seperti Roxy tidak ada di sana—seperti dia sama sekali tidak mengenal Roxy. Roxy mendengus dengan keras karena marah. Dan hal itu membuat Louis menegakkan tubuhnya.

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang