Five;

381 75 25
                                    

Setelah pengarahan di halaman jam sebelas tadi, panitia meminta anak-anak untuk masuk ke dalam tenda yang telah ditentukan dan membereskan barang-barang mereka. Durasi yang diberikan panitia untuk melakukan hal itu adalah dua puluh menit, kemudian anak-anak dikumpulkan lagi untuk diberikan sebuah permainan-permainan kecil berdasarkan usia mereka.

Tetapi Roxy tidak ingin melakukan hal itu. Terlebih lagi, pengarah kelompoknya untuk permainan itu adalah Stella. Jadi, dari jam sebelas tadi hingga jam dua siang sekarang ini, Roxy hanya ikut dengan Kourtney kemanapun perempuan itu pergi.

Roxy hanya duduk seraya melemparkan kerikil-kerikil, bosan melihat anak-anak kecil yang sedang bermain dengan Kourtney tepat dua meter di hadapannya. Kebisingan anak-anak itu membuat Roxy ingin sekali pergi dari tempat itu. Atau setidaknya, dia ingin sekali berjalan-jalan di sekitar lokasi perkemahan untuk mengetahui apa rahasia tentang zombi yang mereka sembunyikan.

Ada Blair di kelompok yang dipimpin Kourtney. Anak kecil itu daritadi memandang Roxy seperti bertanya-tanya mengapa Roxy tidak ikut bermain bersama kelompoknya.

Tapi Roxy tetap Roxy. Gadis itu tidak peduli dengan apa yang dilakukan Blair atau Kourtney atau siapapun. Baginya, Kourtney hanyalah orang terbaik dari yang termenyebalkan di perkemahan ini. Roxy sama sekali tidak berniat untuk menjadikan Kourtney teman atau semacamnya.

Sekarang, hal terpenting bagi Roxy adalah dia harus membiarkan kakinya berjalan.

Akhirnya, Roxy berdiri dan mendekati Kourtney untuk memulai sebuah drama yang baru saja dipikirkan olehnya.

"Kourtney McCartney," Roxy menyentuh bahu Kourtney. "Kurasa aku mual sekali. Kepalaku juga pusing dan berkunang-kunang. Bisakah aku tidur saja di salah satu dari dua tenda kesehatan?"

Perempuan itu menoleh pada Roxy. Kourtney tersenyum miring, seakan-akan sudah tahu segala hal tentang Roxy. "Sebelum mendaftarkanmu, Mariah Kibler sudah bercerita pada kami mengenai kisah hidup Roxy Kibler. Jadi, apa mungkin kau sekarang tidak sedang berbohong?"

Roxy menautkan kedua alisnya. "Ayolah, aku benar-benar mual. Kau tidak bisa menilai seseorang sedang berbohong hanya dari kisah hidupnya!" Nada bicara Roxy menjadi kasar dan sedikit sarkastik. Siapapun yang mendengarnya akan merasa jengkel.

Kourtney tersenyum pasrah. Benar adanya apa yang dikatakan Mariah padanya. Roxy memang gadis yang suka berkata dengan nada sarkastik. Terkadang, Roxy juga suka berkata sesuka hatinya walaupun ucapannya akan menyakiti orang lain. Buktinya adalah ucapan Roxy kepada Stella tadi.

"Baiklah," kata Kourtney akhirnya, melukiskan senyuman kemenangan di wajah Roxy. "Aku akan mengantarkanmu ke tenda kesehatan dan memberikanmu obat."

"Tidak perlu," sanggah Roxy cepat. "Aku bisa pergi sendiri. Dan jangan khawatir, aku tahu yang mana obat untuk mual dan pusing. Lebih baik kau di sini dan menjaga kurcaci-kurcaci sialan ini saja."

"Oke," ucap Kourtney. "Tapi, berikan padaku ponselmu."

Kedua mata Roxy terbelalak mendengar hal itu. "Apa?!"

"Maaf, Roxy. Tapi itu sudah menjadi peraturan perkemahan," Kourtney menengadahkan tangan kirinya, menaikkan salah satu alisnya. "Jangan khawatir juga karena aku akan menyimpannya di tempat yang aman."

"Sialan," umpat Roxy sambil mengambil ponsel dari sakunya dan memberikan ponselnya pada Kourtney.

Tanpa berkata apapun lagi, Roxy menjauh dari kelompok Kourtney dan berjalan ke tenda kesehatan. Letak tenda itu lumayan jauh dari perkemahan dan berdiri di dekat kabin-kabin. Tenda itu cukup luas dan berwarna hijau. Ada lambang palang merah di depannya.

Roxy masuk ke dalam tenda dan menemukan banyak tempat tidur di sana. Roxy memilih ranjang yang ada di dekat pintu dan merebahkan tubuhnya.

Gadis itu memandang ke langit-langit tenda. Tidak ada yang bisa dilakukan di tenda kesehatan itu selain melamun dan tertidur. Tidak ada ponsel; tidak ada Wi-Fi. Hidupnya selama dua minggu kedepan akan menjadi sesuram film tahun 80-an.

"Hei."

Roxy tersentak kaget mendengar suara seseorang. Gadis itu bangkit dan nyaris saja terjatuh. Dia tidak menyangka ada seseorang yang lain di dalam tenda kesehatan itu-tepat dua ranjang setelah ranjangnya.

"Astaga, demi Tuhan, kau mengejutkanku! Dasar zombi!" seru Roxy pada orang itu. Gadis itu mendengus kesal untuk menutupi jantungnya yang berdebar-debar karena terkejut. Roxy menormalkan napasnya yang masih tersengal.

"Orang sepertimu bisa terkejut juga, ya?" Laki-laki itu tertawa. Tetapi sesaat kemudian dia berhenti. "Tadi kau bilang apa? Aku zombi? Yang benar saja!"

"Bukan seperti itu, sih. Tapi lupakan saja," Roxy melipat kedua tangannya di atas dada. Dia mendengus lagi. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Berpura-pura sakit," balas cowok itu. "Aku yakin kau juga melakukan hal yang sama."

"Bagaimana kau bisa menebaknya?" Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Ya, aku memang malas sekali berada di perkemahan tolol ini. Semua orang yang ada di sini benar-benar tolol. Aku benci seperti ini. Aku benci ponsel yang ditahan. Aku benci tempat tanpa jaringan Wi-Fi."

Cowok itu berjalan mendekat, duduk di ranjang yang ada di samping Roxy. Roxy bahkan bisa memperhatikan wajahnya dan iris birunya.

"Kau Roxy Kibler, kan?"

Alis Roxy bertaut. "Kau tahu namaku?"

"Demi Tuhan, siapapun yang ada di sini pasti tahu, Bodoh," Laki-laki itu memutar kedua bola matanya. "Kau melawan ketua panitia dan kau mengira namamu masih Roxy Kibler si anak biasa? Astaga, Roxy. Namamu telah disebut berkali-kali oleh Stella tadi. Kurasa dia begitu membencimu."

Roxy tersenyum mendengar hal itu.

"Oh," kata laki-laki itu lagi. "Keberuntungan bagiku. Untung saja Stella tidak tahu akulah yang pertama kali memprotes."

Roxy kembali duduk, cukup terkejut. "Jadi kau adalah suara nyaring tadi?"

"Kau sebut suaraku nyaring?!" Laki-laki itu merengut. "Terima kasih, Roxy. Suaraku memang sangat nyaring sampai-sampai aku memenangkan lomba menyanyi tahun kemarin. Terima kasih."

"Aku tidak peduli." Roxy menggelengkan kepalanya, menatap lawan bicaranya itu dengan pandangan kasihan.

"Aku benci perkemahan seperti ini," ucap laki-laki itu kemudian. "Aku, jangan tertawa, dipaksa oleh ibuku untuk mengikuti perkemahan sialan ini. Itu semua karena dia muak melihatku pergi keluar rumah sepanjang hari hanya karena aku selalu latihan sepakbola."

Roxy mendekat dan menepuk bahu laki-laki itu seperti memberinya semangat. "Kau bukan satu-satunya yang mengalami nasib seperti itu."

Laki-laki itu mengedikkan bahunya.

"Kata ibuku aku harus belajar mandiri karena aku terlalu manja," kata Roxy. "Padahal aku tidak merasa seperti itu. Aku hanya... aku merasa aku membenci segala hal."

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan.

"Ngomong-ngomong, namaku Louis Tomlinson," kata laki-laki itu, menjabat tangan Roxy. Laki-laki bernama Louis itu tercengir. "Aku memang benci perkemahan ini, tapi satu-satunya hal yang aku suka dari perkemahan ini adalah anak-anak kecil."

"Uh, anak kecil, eh," Roxy memutar kedua bola matanya. "Aku benci mereka."

Louis tertawa. "Mengapa?"

"Mereka berisik, tidak bisa tenang, dan selalu mengganggu," Roxy berkata dengan nada yang jijik. "Ada satu anak kecil di perkemahan ini yang selalu membuatku merasa dihantui. Namanya Blair."

"Apa yang dilakukannya padamu?"

"Pertama, dia berlagak sok kenal denganku dan membangunkanku yang tertidur di bus. Lalu, dia terus-terusan memperhatikanku dan mengikutiku kemanapun aku pergi."

Louis melipat kedua tangannya di dada, memicingkan matanya ke arah Roxy sambil tersenyum miring. "Itu artinya dia merasa kau adalah kakaknya."

Roxy mendelik. "Itu kalimat yang paling membuatku mual yang pernah aku dengar."

"Dan barusan itu adalah kalimat terjahat yang pernah kudengar."


[A/N]: Haloo! Maaf ya udah update malem-malem gini... wkwk. Aku butuh banget opini kalian tentang cerita ini. Jangan sungkan-sungkan ya buat ngasih pendapat/kritik/komentar. Oh iya, don't forget to tap that supercute star button :)xx Makasihh <3

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang