Ten;

242 43 1
                                    

Malam ini, Roxy menyelinap ke area perkemahan untuk laki-laki berusia 14 tahun ke atas. Gadis itu bisa melakukannya dengan lancar karena ia tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Ketika para panitia sudah tidur dengan nyaman di kabin mereka, Roxy langsung keluar dari tendanya dan berlari-lari kecil ke perkemahan laki-laki tanpa membuat kegaduhan.

Sebelumnya, Roxy sudah tahu dimana tenda Louis. Jadi, dia tidak bingung ketika mencari. Untungnya, para panitia ingin pintu tenda selalu terbuka, sehingga kali ini Roxy bisa mengintip ke dalam tenda yang dipakai Louis tidur.

Saat Roxy mengintip, pandangannya bertemu dengan Louis yang kebetulan sedang menatap ke arah luar. Roxy terkejut, sama seperti Louis yang langsung tersentak dan bangkit. Laki-laki itu keluar dari kantung tidurnya. "Roxy? Apa yang kau lakukan di sini selarut ini?"

"Ssst," Roxy meletakkan jari telunjuk di bibir. "Keluarlah."

Tanpa membuat suara apapun, Louis kemudian bangkit berdiri, menunduk untuk keluar tenda. Cowok itu bahkan
memakai hoodie abu-abunya untuk tidur. Dia menjejalkan kedua tangannya di kantong hoodie-nya dan memandang Roxy dengan pandangan datar. Roxy bertanya-tanya, apakah rasa penasarannya hilang secepat itu—atau Louis ingin dianggap keren?

"Apa yang kau inginkan?" tanya Louis, berhasil untuk tidak menyelipkan nada penasaran dalam suaranya. "Selarut ini, seharusnya kau sudah tidur. Bagaimana bisa kau melewati panitia?"

"Aku... terjaga, sengaja menunggu mereka untuk tidur agar aku bisa menyelinap ke area laki-laki."

Roxy tidak ingin meneruskannya, jadi ia berhenti dan berpura-pura sudah selesai bicara. Akan tetapi, Louis sepertinya memancing Roxy untuk mengatakannya. "Untuk apa?"

"Untuk menemuimu." Roxy menghela napas berat.

"Apakah kita bahkan punya urusan untuk diurus di malam yang sangat larut ini?" Louis menaikkan salah satu alisnya pada Roxy yang gelagapan setengah mati. Reaksi cowok itu membuat Roxy takut. "Apa harus sekarang?"

Roxy memberanikan diri menatap mata Louis. "Yang aku tahu, permintaan maaf tidak boleh ditunda. Aku tadi sudah sangat keras kepala. Jadi, ya, harus sekarang."

"Barusan kau meminta maaf padaku?"

Baru saja Roxy akan bicara, tapi suara dari dalam tenda sedikit mengejutkan. "Louis, jangan mengigau!"

Roxy memandang Louis yang terlihat seperti ingin tertawa lepas jika saja Roxy tidak ada bersamanya. Kemudian, Louis menoleh padanya dan tersenyum kecil. "Kurasa kita mengganggu mereka. Ayo cari tempat lain untuk mengobrol."

Akhirnya, mereka pergi ke sebuah kabin kosong yang tidak dijaga oleh panitia. Tempat itu kurang penerangan, jadi agak lebih mudah untuk mereka berbicara tanpa diketahui oleh panitia dan penjaga. Keduanya duduk di beranda kabin sambil memandang bintang. Tidak ada yang berbicara seorangpun.

Louis tidak bicara, pikir Roxy. Tapi dia mengajak Roxy pergi kemari tanpa marah-marah dan berkata kasar. Suasana hati anak itu juga sepertinya tidak buruk lagi. Jadi, apakah Louis sudah memaafkan Roxy?

Roxy melihat Louis yang sedang melihat ke atas, memandangi langit, mengamati, mengobservasi. Cowok itu sepertinya mengobservasi di setiap momen. "Louis, aku ingin tahu nama lengkapmu."

Louis menoleh. Tatapannya sarat akan kebingungan pada awalnya. Tapi dia menjawab, "Louis William Tomlinson. Kenapa kau ingin tahu?"

Roxy mengalihkan pandangannya ke lantai kabin seraya mengedikkan bahu. Gadis itu memeluk kedua kakinya. "Namaku Roxy Nicola Kibler. Aku tidak suka, susunannya terdengar aneh, bukan?"

"Sejujurnya, tidak juga," komentar Louis. "Tapi aku lebih suka Roxanne."

"Ya Tuhan. Louis, jangan memulai nama aneh itu," Roxy menarik kepalanya dan menatap Louis kejam seperti ingin membunuhnya. Sedetik kemudian, tatapannya melunak. Dia bertanya, "Apakah kau sudah memaafkanku?"

"Kau tidak perlu maaf dariku," kata Louis pelan. "Karena kau sama sekali tidak harus meminta maaf. Aku juga terlalu gegabah tadi. Perasaanmu sedang tidak enak, dan aku malah membuat api dalam dirimu semakin menyulut. Maafkan aku."

"Kau tidak perlu maaf dariku," kata Roxy, mengulangi kata-kata Louis. Gadis itu tersenyum tulus, Louis juga. Dia kembali memandang langit dan bintang-bintang yang membentuk menjadi rasi.

"Roxy," panggil Louis, Roxy menatapnya. "Aku tahu ini sensitif. Tapi aku harus menyinggungnya. Atau kalau tidak, kita akan hidup dalam rasa penasaran."

Roxy tahu arah pembicaraan mereka akan ke sini, tapi gadis itu berpura-pura bodoh untuk sesaat. "Tentang... panitia dan perkemahan?"

"Persetan dengan panitia," umpat Louis. "Kau benar. Kita tidak perlu mengurus hal itu lagi. Maksudku, sekarang ini tentang ayahku dan ayah tirimu."

"Hm," jawab Roxy lemah. "Aku tahu."

"Kau tahu apa?"

Roxy menoleh, membebani kedua lututnya dengan dagunya. "Aku tahu dia pria bermuka dua."

"Itu saja?"

"Dan aku tahu apa yang harus kita lakukan dengan masalah itu."

"Aku juga punya rencana," kata Louis. Cowok itu tersenyum lemah, nyaris tertawa. "Katakan apa rencanamu. Karena, yah, kau tahu. Aku tidak mau menjadi orang sok pintar karena memutuskan segalanya sendiri."

Meskipun tahu dia disindir dalam candaan Louis, tapi Roxy mulai bersemangat. Gadis itu mendekat ke Louis. "Jebak dia. Kita harus memanggil mereka kemari. Mari kita lihat, apakah pria itu memilih pergi dengan ibuku, atau dengan ibumu. Sebagai ayahku, atau sebagai ayahmu."

Louis tersenyum lebar. "Ideku sama."

Lalu Roxy mengalihkan pandangannya sekaligus berjaga-jaga apakah ada yang melihat mereka. "Tapi ini dia masalah lainnya. Aku tidak tahu harus bagaimana kita menghubungi mereka. Maksudku, dengan alasan apa kita membawa mereka kemari?"

"Nah, Roxy. Aku baru saja memikirkannya," Louis tersenyum bahagia. "Kita harus—"

"Jangan buat masalah, oke?" Roxy mewanti-wanti. "Itu akan memperburuk keadaan kita."

"Demi Tuhan, bukan itu," Louis memutar kedua bola matanya. "Ada cara lain yang lebih cerdik dari itu."

"Apa itu?"

Louis menyeringai. "Kita akan berpura-pura kecelakaan—kita berdua. Dengan begitu, ayahku pasti akan sangat bingung. Kedua pihak menjepitnya. Saat dia datang, kita akan lihat apakah dia memilih datang sebagai ayahku atau sebagai ayah tirimu."

Awalnya, Roxy menaikkan kedua alisnya. Gadis itu menimbang-nimbang sebentar. "Baiklah, daripada tidak? Mari kita lakukan hal itu."


[A/N]: Plus Times Plus sudah hampir selesai nih. Tinggal beberapa chap lagi dan epilog hehehe. And please vote and comment. Thank you xx

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang