Eight;

282 47 8
                                    

"Kita sudah semalaman di sini."

Louis yang sedang duduk di atas tumpukan karung berisi jerami mengangkat kepalanya dan melirik Roxy. Raut wajahnya menyiratkan ketenangan yang membuat Roxy sebal. "Lalu kenapa?"

Roxy yang sedari tadi tidak henti-hentinya mengintip keluar kini berkacak pinggang melihat tingkah Louis. Gadis itu sudah tidak tahan lagi. "Rupanya kau tidak ingin bebas dari kurungan ini?"

"Biarkan saja mereka mengurung kita di sini sampai perkemahan selesai," kata cowok itu cuek. Dia lalu berdiri dan berjalan mengelilingi kabin itu. "Ketika orang tua kita datang menjemput, kita akan mengadukan segalanya dan mereka akan masuk penjara. Jadi, kenapa harus khawatir?"

Roxy berdecak. Gadis itu mengamati Louis yang sepertinya sedang melakukan observasi kecil di kabin kecil nan sempit tempat mereka dikurung tersebut. "Mereka itu bodoh, Roxy. Mereka begitu gegabah dalam mengambil tindakan untuk mengurung kita di sini," kata Louis menambahkan. "Saat ini, pistol mereka sedang mengarah ke kepala mereka sendiri. Jika mereka menarik pelatuknya, mereka yang akan mati."

Roxy akhirnya duduk di atas tumpukan jerami yang tadi diduduki Louis. Batinnya membenarkan apa kata Louis. Tapi tetap saja gadis itu masih gelisah dan perasaannya kacau. "Tapi aku tidak betah berada di sini, Louis. Tempat ini sempit dan gelap. Aku bahkan tidak bisa bernapas di sini."

"Roxy!" Mengabaikan perkataan Roxy barusan, Louis malah berseru memanggil nama gadis itu. "Roxy, lihatlah apa yang kutemukan?"

Roxy menoleh ke arah Louis yang berdiri di depan sebuah peti berukuran besar yang lebih terlihat seperti peti harta karun. "Apa itu? Kuharap makanan."

Louis menggelengkan kepalanya seraya menyeringai. "Ini lebih dari makanan, Roxanne."

"Roxy," Roxy memutar kedua bola matanya. "Yang benar saja. Roxanne. Menjijikkan."

"Bibiku bernama Roxanne," Louis menyipitkan matanya sejenak. Tapi perhatiannya kembali terfokus pada peti itu. Cowok itu lantas memberikan isyarat pada Roxy untuk menghampirinya. "Cepatlah kemari. Kau akan sangat senang melihatnya."

Dengan gerakan superlambat, Roxy bangkit dan berjalan mendekati Louis. Kabin sempit yang penuh dengan jerami itu bau sekali. Sapa seperti bau di kandang ayam. Roxy tidak tahan lagi meskipun harus bertahan untuk sedetik saja lagi. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Dia berulangkali membuang napasnya dan menarik oksigen secukupnya.

"Apa isi petinya?" tanya Roxy saat gadis itu sudah mendekat. Louis tersenyum dan mengangkat kedua alisnya, membuat Roxy tertarik untuk melihat langsung ke dalam peti. Kedua matanya tampak berbinar setelah melihat isi peti itu. Kini, bayangan kalau peti itu terlihat seperti harta karun menjadi sedikit lebih realistis. "Are you fucking kidding me?!" pekiknya senang. "Mereka bodoh sekali!"

"Told you," Louis tersenyum puas sambil melipat kedua tangannya di dada. Cowok itu terlihat bangga akan dirinya sendiri. "Mereka memang bodoh untuk mengunci kita di kabin tempat mereka menyimpan ponsel-ponsel yang disita. Kesalahan mereka kali ini fatal sekali, Roxy. Kita harus memanfaatkan peluang ini."

Gadis itu tersenyum senang. Dia langsung mencari ponselnya di antara puluhan ponsel yang ada di dalam petinya. Roxy tiba-tiba teringat akan pertemuan beberapa panitia tadi malam. "Louis, menurutmu apa yang mereka sembunyikan? Hal yang akan mereka bicarakan tadi malam, tetapi terpotong karena kita ketahuan?" tanya gadis itu sambil masih terus mencari ponselnya.

"Menurutku, mereka melakukan sesuatu yang tidak begitu besar. Maksudku, yah, bukan semacam pembunuhan. Tetapi, mungkin mereka melakukan korupsi besar-besaran tahun ini," jelas Louis, mengutarakan opininya. "Maksudku, dengarkan, ya. Pertama-tama, mereka mengutip uang pendaftaran dua kali lipat dari tahun lalu. Kedua, mereka memang mengumpulkan makanan seperti panitia tahun lalu, tetapi kali ini mereka bahkan tidak memberikan jatah cemilan setiap orang, bukan? Kau lihat sendiri mereka menyimpannya di gudang sampai tadi malam. Ketiga, zombi."

Roxy menemukan ponselnya. Gadis itu menatap Louis serius. "Zombi?"

Louis menggaruk tengkuknya. "Ya, aku memang tidak tahu ada apa yang salah dengan zombi. Tapi, tidakkah itu aneh kalau mereka mengusung tema tahun ini-bersamaan dengan tindakan korupsi mereka?"

"Louis," Roxy menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Apa?"

"Kau pintar sekali."

Louis hanya tersenyum. "Kita harus keluar dari perkemahan ini."

Roxy mengangguk tegas. "Cari ponselmu juga."

Dan beberapa menit kemudian, keduanya sudah berbaring di atas tumpukan jerami dengan memegang ponsel masing-masing. Hanya satu langkah lagi untuk kembali ke rumah dan memenjarakan panitia Perkemahan Musim Panas 2014.

"Ah, Roxy, apakah kau mendapatkan sinyal?" Louis bertanya setengah menggerutu. "Aku sama sekali tidak bisa menghubungi ibuku."

"Hm," jawab Roxy acuh. "Tapi pulsaku habis."

"Kau belum menghubungi ibumu?"

"Hm," jawab Roxy lagi.

"Bateraimu masih penuh?"

"Hm," Gadis itu membuat Louis mengernyitkan dahinya.

"Jadi kau sedang apa?" tanya Louis penasaran. Cowok itu mengintip dan melihat apa yang sedang dilakukan Roxy. Gadis itu sedang melihat foto-foto di ponselnya—tepatnya sebuah foto yang terlihat seperti foto keluarga. Foto itu diambil di sebuah taman bermain. Ada seorang wanita di sebelah kiri, kemudian Roxy di tengah (kelihatannya Roxy masih berumur dua belas tahun di sana), dan ada seorang pria—"Ya Tuhan!" seru Louis. Cowok itu, saking terkejutnya, bangkit dan berdiri di hadapan Roxy.

 Cowok itu, saking terkejutnya, bangkit dan berdiri di hadapan Roxy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Roxy melirik Louis. "Apa?"

"Pria itu, Roxy," Louis menunjuk pria yang ada di foto itu. "Pria itu. Siapa dia?"

"Dia calon suami ibuku, akan menjadi ayah tiriku beberapa bulan lagi. Mereka sudah bertunangan selama lima tahun. Jadi, yah, dia sudah seperti ayahku sendiri. Namanya Rudy Dillon."

Louis terlihat syok setelah mendengar penjelasan Roxy. Maka, Roxy bertanya, "Kau kenapa?"

"Astaga, Roxy," Louis menampilkan ekspresinya yang sangat kebingungan, "Dia itu ayahku!"

Plus Times PlusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang