Ibu...
Mataku terbuka lagi, nampaknya lamunan di siang hari telah memerangkapku. Tapi meski begitu, aku tidak bisa berbohong atas indahnya kenangan di desa ini. Membawa peralatanku, aku mulai kembali berjalan, pelan namun pasti. Berat rasanya, harus meninggalkan ini lagi. Pergi dari sini, melupakan dan membiarkan semuanya kembali hilang ditelan bumi. Air mata tak bisa mengalir, semua itu telah habis, 10 tahun aku telah menahannya. Namun, tak ada satupun orang yang peduli. Tak ada satu pun orang yang tahu keberadaan desa kami.
Tak apa
Mungkin memang seharusnya begini...
Bertemu meski sebentar saja sudah cukup bagiku.
Aku harus berpisah, aku harus kembali bertahan sendiri
Karena, aku telah berjanji...
Akan terus hidup, meski apapun yang terjadi.
Saat berjalan keluar desa, ada sesuatu yang terus menggangguku. Bangunan putih itu, tak pernah berubah, sampai sekarang masih terus bersanding diantara reruntuhan desa. Bangunan itu megah, terdiri dari berbagai pilar-pilar yang besar. Namun kini hanya reruntuhan yang tersisa darinya.
Jumlahnya banyak, berbentuk persegi, berbentuk seperti lengkungan busur, maupun seperti tiang-tiang tinggi silinder yang memanjang keatas. Sejak kecil aku selalu bertanya, sebenarnya siapa yang membuat bangunan-bangunan seperti itu di masa lalu, dan kenapa itu bisa berada dimana-mana di seluruh benua ini? Orang bilang bangunan itu dibangun oleh raksasa, sebuah raksasa yang sangat besar.
Tinggi mereka bisa mencapai 10-15 meter katanya. Tak pernah terbayangkan olehku pernah ada mahluk seperti itu di muka bumi. Namun semakin dewasa aku mulai semakin tahu, tidak mungkin seorang raksasa membuat bangunan-bangunan seperti itu. Reruntuhan itu memang tinggi, namun tidaklah cukup untuk memuat raksasa yang tingginya mencapai 15 meter.
Daripada seperti rumah raksasa, bangunan ini lebih tampak seperti sebuah rumah mewah, atau mungkin bisa juga seperti aula-aula besar. Penasaran, langkah kaki mulai ditujukan di antara ruangan-ruangan dari reruntuhan putih itu.
Jika kuingat, dahulu aku pernah bertemu dengan seorang penyair. Katanya, pernah ada sebuah Kekaisaran besar yang pernah menguasai benua Clayrien dan sekitarnya. Kekaisaran itu sangat megah, maju dan juga selalu diceritakan sebagai sumber kemakmuran.
Saat menyelesaikan misi seringkali aku selalu terdiam dan merenung ketika duduk di kota seberang. Membawa sebuah pedang yang selalu tersarung di saku. Mendengar kisah-kisah dari penyair yang selalu bersahut-sahutan di kota, banyak sekali syair dari para pujangga yang kudengar. Entah itu tentang, romansa, drama sedih, dan juga kisah heroik tokoh-tokoh pahlawan. Tetapi telinga tidak bisa henti-hentinya mendengar sebuah lantunan syair dari peradaban di masa lalu, ketika sebuah Kekaisaran besar itu masih menguasai dunia.
Penyair itu berdiri tegak dengan bangga, menggunakan pakaian aneh yang tidak pernah dilihat oleh berbagai orang sebelumnya. Kedua tangannya diangkat keatas, kemudian ia berteriak dengan ego tinggi seakan menceritakan sebuah kisah besar kepada kami.
"Oh Matahari - Cahayamu menyinari kota-kota besar di Kekaisaran kami. Keabadian dan kejayaan, terus menerpa bangunan-bangunan megah kami. Putih bersinar, dihiasi oleh marmer-marmer indah. Sungai-sungainya mengalir dengan jernih. Air-air mengalir dari rongga-rongga bumi tepat menuju jantung kota kami. Betapa beruntungnya kami!"
Kalimat itu menjadi pembuka, menjelaskan seberapa megah dan makmurnya dunia di masa lalu. Menjadi sebuah penggugah bagi orang-orang yang penasaran atas peradaban masa lalu seperti diriku. Syairnya terus berlanjut lagi, sang penyair kini mulai menatap para penonton dengan tegas saat ia mulai melantunkan lagi syairnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rattleheart
Macera(Cerita Update setiap 3-10 hari sekali) Arslan adalah seorang tentara bayaran yang mencari arti dari dunia. Baginya dunia tak lagi sama semenjak dia terpaksa menjadi tentara bayaran. Peperangan, rasa sakit, hubungan antara manusia. Apa sebenarnya it...