06✈️{P,MM!}

309 43 9
                                    

(⁠☞⁠^⁠o⁠^⁠)⁠ ⁠☞ Vote and Coment

🛫📍🛬

Menyadari bahwa pria menyebalkan di sampingnya saat ini tengah melamun, Hinata menyikut lengan pria tersebut. "Ouch!"

"Haisshh! Kau kenapa?" geram Naruto mengelus lengannya. Hinata masih tertawa kecil. "Jangan suka melamun, nanti santet seseorang nyasar!" ejek wanita itu. Naruto tak memperdulikan omong kosong itu dan balik menatap lurus hingga anak-anak di sana mulai berlarian menghampiri mereka berdua.

"Paman! Mau bermain bola bersama?" ajak Nagato yang berdiri paling depan. Naruto tersenyum kecil, menggaruk lehernya yang tak gatal. "Aku ingin! Tapi aku harus pergi, lain kali saja. Oke!" penuh perhatian. Anak-anak tadi mengangguk setuju.

Tiba-tiba, Hidan melambaikan tangannya menyuruh Naruto agar lebih rendah mendengar bisikannya. Dengan senang hati pria itu menurut, sementara Hinata bingung akan bisikan tersebut.

"Hati-hati dengannya, kakak Hinata sering mendengkur keras saat tidur sampai air liurnya banjir kemana-mana!" bisikan keras Hidan membuat Hinata terpaku malu dan Naruto tersenyum nakal di tambah tawa lain dari anak-anak di sana.

"Hey, anak kecil-- Tolong berhenti ya!!!" Hinata tersenyum lebar dengan paksa penuh penekanan di akhir kalimat. Anak-anak tadi hanya tertawa, begitupun Naruto yang kini menatap Hinata dengan senyuman mengejek.

"Kalau begitu aku harus pergi. Akan ku hubungi jika fotonya sudah selesai." Pria itu berdiri berjalan bersama Hinata menuju ke arah gerbang. Setelah berpamitan dengan sangat hormat dan sopan kepada keluarga Hinata, mereka semua mengantar sampai ke mobil.

"Paman melupakan satu hal!" panggil suara dari anak-anak jahil yang juga ikut mengantarkan. Para orang dewasa mulai merasa tak enak dengan senyuman kecil mereka. Naruto dan Hinata Sling memandang heran hingga wanita bermanik rembulan itu menggeleng memperingati si pirang- agar tak terlalu percaya dengan anak-anak di sana.

"Katakan!" sahut Naruto terbuka lebar.

"Beri ciuman pipi kepada kekasihmu sebelum pergi!" ujar Sasori di setujui oleh anak-anak yang lainnya. Seketika pipi Hinata merona dan Naruto mulai malu.

"Sstt! Tidak boleh berkata seperti itu." Titah Madara.

"Maaf ya, Naruto! Terkadang mulut mereka ingin di sumpal dengan bakso!" sungkan Madara tersenyum remang.

"Tidak apa! Mereka sangat menggemaskan!" tak lama Naruto kemudian pamitan pergi, melaju bersama mobilnya dengan kecepatan normal.

Dalam perjalanan, akhirnya pria itu sedikit menghela nafas lega. Baru pertama kali dia mendatangi rumah besan.

***

Sampai di kantornya, Naruto melelang masuk ke ruangannya, melempar jasnya ke arah sofa lalu mendaratkan pantatnya di kursi kebanggaannya sambil bersandar menutup kedua matanya. Rasanya begitu melelahkan, gara-gara kakeknya dia harus melewati pernikahan dulu untuk pergi ke London. Bukannya tidak bisa pergi ke sana, cuman Naruto begitu menghormati sang kakek juga sangat menyayanginya. "Haahh" helaan nafas panjang keluar dari mulut Naruto.

Jam masih berjalan seiring berputarnya bumi. Kini sudah memasuki makan malam, sudah waktunya dia pulang namun Naruto masih ingin berada di sana. Cklek! "Naruto! Kau benar-benar keterlaluan." Seorang pria bersurai hitam nanas berjalan mendekatinya dan ikut duduk di kursi depan yang menghadap ke arah meja kerja si pirang.

Please, Marry Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang