02✈️{P,MM!}

551 54 12
                                    

(⁠☞⁠^⁠o⁠^⁠)⁠ ⁠☞ Vote and Coment

🛫📍🛬

Tepat sore hari di bulan Oktober. Hinata berjalan sempoyongan tanpa gairah semangat menuju ke dalam ruangan yang begitu nyaman bagi kebanyakan orang, rumah.

Wanita bersurai indigo bercampur putih akibat tepung dari anak-anak nakal di panti, pluss! Kaos serta celananya yang masih bernoda muntahannya sendiri, membuat dirinya berkesan berantakan sekali.

“Hinata! Apa yang terjadi?” Tanya sang kakak bernama Hyuga Hanabi. Sosok wanita cantik pemilik mata yang sama seperti Hinata, Surai coklat panjang serta pakaian santainya, tak beda jauh dari Hinata cantik.

“Astaga! Kau buruk sekali!” Seorang wanita paruh baya ikut menghampiri Hinata dan Hanabi yang masih berada di pintu yang sudah tertutup. Seorang bibi yang baik hati bernama Kurenai. Panggil saja si perawan tua! Kalian pasti tahu detailnya' kan! Alasan dia tidak menikah, karena ia tahu bahwa dirinya tidak akan bisa mempunyai keturunan.

“Aku di pecat.” Lirih Hinata masih terlihat linglung, enggan menatap wajah kedua wanita yang lebih tua darinya.

Kurenai dan Hanabi sigap mengelus punggung Hinata. “Bagaimana bisa?” Tanya Hanabi.

“AINO! DIA MENCURI UANG RESTORAN, LALU MENYURUHKU TUTUP MULUT--  HIKSS! KALIAN TAHU SENDIRI, AKU TIDAK PANDAI BERBOHO....NG, PERUTKU SAKIT SAAT AKU BERBOHONG KE BOS-KU, TAPI- HIKSS- TAPI- HIKSS.. WANITA ITU MENJEBAK KU DAN BILANG, AKU YANG MENCURINYAAAA. HAAAA- HIKSS.” Dengan lantang wanita itu bercerita seolah berteriak dan menangis histeris.

“Sudah, sudah! Maafkan saja. Kau istirahatlah, biarkan kakak yang bekerja mengumpulkan uang kali ini!” Hinata berhenti menangis, menatap kakaknya yang kini tersenyum manis. Wanita itu hanya bisa menekuk wajahnya, tak enak.

“Hei! Bukankah kau pantang mundur? Kau pasti bisa, ibumu sudah menunggu di sana!” bibi Kurenai juga ikut tersenyum.

Yups! Hinata memiliki kelebihan, dimana dia tidak bisa berbohong, jika sampai berbohong! Maka perutnya akan merasa sakit. Sangat sakit.

***

Sementara itu, di kediaman Uzumaki. Mansion yang begitu besar, mewah dan sangat ramai akan pekerja dan keluarga besar di sana, begitu hangat di lihat. Tepatnya di ruang keluarga terlihat kakek Hasirama dan nenek Mito tengah duduk di dekat perapian. Di sisi sofa yang terdapat televisi besar, ada dua orang anak remaja bernama Nawaki dan Moegi. Si Nawaki sibuk dengan ponsel canggihnya dan si Moegi sibuk akan sebuah majalah tentang kecantikan wanita.

“Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu-- ”

“Sampai kapan kau akan menghitung hari?” nenek Mito menghentikan suara kakek Hasirama. Wanita tua itu sibuk merajut dengan kacamata khas nenek-nenek di hidungnya. Sementara pria tua tadi, bersandar sambil menutup matanya dan menghitung hari kapan cucunya akan menikah.

“Sampai bocah itu mau menikah! Umur kita sudah tidak muda lagi, Mito.” Jelas Hasirama tersenyum tipis menatap sang istri yang juga tersenyum tipis sambil menggeleng. Hanya perbincangan ringan, kakek Hasirama kembali bersandar, menutup mata dan mulai berhitung.

“Senin, Selasa, Rabu, kamis- ”

“KAKEK!!” Suara bariton mengangetkan ke-empat orang yang tengah bersantai. Lagi, kakek Hasirama mendengus kesal mendengar suara pengganggu lagi.

Please, Marry Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang