Delapan tahun berlalu, Ariel sudah berkembang dari bayi menjadi anak- anak. Banyak peristiwa yang dialaminya. Ekspresinya tidak dapat digambarkan. Wajah yang tenang dan sorot mata dingin membuat siapapun gemetar.
Dia mengira kehidupan kedua akan indah. Nyatanya sama saja dengan kehidupan yang dulu. Kiran, anak itu yang dulu selalu menempel pada Ariel kini tidak tahu rimbanya. Sang Ibu sampai sekarang belum bangun dari siuman sejak peristiwa tersebut.
'Ariel, tolong cari Kiran. Ibu mohon, Nak! '
Permintaan itu terus muncul dalam pikirannya. Dia berdecih sinis.
"Menyusahkan saja! " umpat nya kesal. Sampai sekarang, selalu saja Kiran disebutkan oleh Ibunya.
Ah, dia sama sekali tak peduli.
"Puri, apa yang harus kulakukan? "
"Lakukan saja apa yang kau mau, Tuan,"sahut Puri. Dia menggoyangkan kaki dengan tatapan lurus ke depan.
"Tuan, ada yang datang. Jadi—"
"Aku tahu! " sela Ariel. Puri diam.
"Ariel, kau didalam! " panggil suara itu.
Ariel tidak menjawab. Dia menutup pintu kamar dan berjalan untuk menyambut tamu tersebut.
"Om Dhani!" panggilnya. Raut datar itu berubah ceria dalam sekejap.
"Kamu tidak apa- apa sendirian di rumah? Sudah makan? " tanya Dhani khawatir.
"Ariel sudah makan, Om. Gimana dengan Ibu? " tanya Ariel.
"Dia ... belum sadar." Dia menjeda sebentar, lalu tersenyum lembut."Jangan cemas, Om yakin ibumu akan kembali siuman. "Dhani menepuk kepala Ariel yang menunduk. Dia berpikir Ariel sedih. Padahal anak itu sedang kesal.
Ariel tersenyum. " Iya, Om. Ariel akan menunggu Ibu bangun. Tapi.... "
Dhani menatap Ariel sendu. Dia prihatin dengan nasib anak ini. Ingin sekali dia membawa ke rumah, tapi keluarganya tidak mau menerima kehadiran Ariel.
"Maaf, Om tidak bisa menemanimu sekarang. Om janji akan menemukan abangmu. Kalau ada apa- apa, jangan lupa hubungi Om, ya. Ini uang untuk bekalmu sebulan. "Dhani memberi sebuah amplop. Ariel menerimanya. Dia menatap kepergiaan Dhani sebelum menutup pintu kembali.
" Tuan, bagaimana kalau jalan- jalan sebentar keluar? " usul Puri.
"Puri, bisakah memanggilku dengan nama saja? Aku merasa tidak nyaman, " pintar Ariel.
Puri diam. Dia menatap Ariel, lalu mengangguk. " Tentu, Ariel! "
"Nah, gitu dong! Puri, idemu bagus juga. Sudah lama ya, aku tidak keluar. Kuharap sesuatu menarik menungguku, " ucapnya tidak sabar.
Ariel mengambil jaket yang tergeletak di kursi. Dia mengenakannya dan segera menemui Zero, sepeda kesayangan.
"Zero, ayo kita berangkat! " serunya gembira.
Perjalanan yang ditempuh Ariel cukup ramai dan dilalui banyak kendaraan. Untung dia menutup kepala, jadi tidak akan menarik perhatian banyak orang.
Deretan gedung dan toko serta pohon- pohon yang berdiri kokoh di tepi jalan membuat pemandangan semakin indah. Tak banyak orang yang menggunakan sepeda seperti dirinya. Di dunia yang ditempatinya jarang sekali menemukan orang miskin. Mungkin dia termasuk salah satu orang miskin tersebut.
Ariel memicingkan ketika dari jauh melihat sesosok anak yang mungkin seusia Kiran berlari dengan terburu- buru. Anehnya, kedua tangan dan kaki itu terikat. Ariel menghentikan laju sepeda. Dia menghadang remaja itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ariel Di antara 2 Dunia
RandomMasuk ke dalam dunia novel dan menjadi salah satu karakter di sana tidak membuat Ariel takut atau khawatir. Justru dia bersikap santai dan tidak peduli. Entah apa tujuan para tokoh itu, dia akan melakukan cara untuk mengakhiri cerita yang menyebalka...