"Dimana, sih? "
Dia mencari sesuatu di berbagai sudut kamar itu. Namun, barang yang dia cari tidak jua ditemukan. Dia menggigit jari saking khawatirnya.
"Aku harus menemukan buku itu. Pasti ada rahasia didalamnya. " Dia meneliti sekitar dengan baik- baik.
"Ayo otak, bekerjalah! " Dia ke nyemangatkan diri. Setetes keringat mengalir di lehernya. Perasaannya bercampur aduk bersamaan dengan jantung yang seperti dipompa dengan cepat.
"Ah, itu dia! " serunya yang langsung membekap mulut dengan mata yang melirik ke kiri dan kanan.
Dia mengambil dengan hati- hati. Segera Ia menyembunyikan di dalam baju. Buru- buru dia keluar sebelum pemilik kamar datang.
"Bagaimana? " tanya sebuah suara membuatnya terperanjat kaget.
Dia mengusap dada dan menatap orang itu kesal. "Kau bikin aku kaget, Bang. "
"Maaf, " ucap lelaki itu datar. "Bagaimana?"
Dia mengacungkan dua jari yang berbentuk O pada lelaki tersebut. "Aman, Bang. Yuk! " Dia menggandeng tangan orang dan menariknya jauh dari kamar.
Tindakan mereka diam- diam diawasi oleh sepasang mata. Dia tak lain adalah Ariel yang tanpa sengaja melihat kedua orang itu.
"Ah, bukan. Perempuan itu ... Bunga? Kenapa dia menyamar jadi pembantu itu? Apa yang mereka cari di kamar—"
"Ariel! " Tepukan di bahu membuat Ariel melompat kaget. Untung saja dia tidak sampai memekik. Dia menatap Si pelaku dengan datar.
"Sedang apa disini, Riel? Kau mengintip siapa? " Bintang melongok ke arah yang diperhatikan oleh Ariel tadi. Tidak ada seorang pun di situ. Lalu, siapa yang dilihat oleh Ariel?
"Tidak ada orang, " ucap Bintang bingung. Saat dia menoleh, Ariel sudah menjauh. "Eh, Ariel! Mau kemana? Kita harus — Riel, tunggu!" Bintang mengejar langkah Ariel. Dia merasa seperti orang kecil kalau bersanding dengan Ariel.
"Lelet," ucap Ariel dengan nada yang terdengar seperti meledek.
"Ariel! " Bintang memandang Ariel kesal. Dia semakin mempercepat jalannya. Apalagi Ariel menunjukkan senyuman yang membuatnya jengkel.
Suasana yang berbeda dan cukup menegangkan terjadi di dalam suatu ruangan. Dua orang lelaki saling melemparkan tatapan membunuh mereka. Keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Satu orang yang memperhatikan mereka hanya menatap mereka datar.
"Keen, Naga hentikan tatapan kalian! Dan Kau....!" Dia menunjuk Naga. "Jelaskan, kenapa kau menyerang Keen! "
"Dia sudah menyakiti orang- ku. Untung Aku datang tepat waktu, " jawab Naga yang belum melepaskan tatapan tajamnya.
"Sudah kubilang, bukan aku! Sejak tadi Aku bersama Yang Mulia. Kalau orang itu adalah aku, pasti ada luka di bagian tubuhku. Coba kau lihat baik- baik! Aku baik- baik saja kan! "
"Bisa saja kau mengobatinya dengan ramuan. Aku tak bisa mempercayaimu. "
Keen tertawa hambar. Dia menatap Naga nanar. "Bisa- bisanya Kau tidak mempercayai orang yang sudah lama hidup bersamamu. Aku tak mengira kau bisa berubah secepat ini hanya karena orang baru seperti bocah lemah itu! Apa kau sudah lupa dengan janji kita, termasuk dia, ha?! Di mana Naga yang kukenal dulu? Aku tidak bisa percaya ini... Kau membuatku kecewa, Naga. " Dia memasang wajah sendu membuat Naga terdiam membisu.
Dia tidak berani mendongak sebentar saja. Dia tak sanggup melihat ekspresi itu. Jujur, Dia juga bingung dengan dirinya sendiri.
"Keen benar, Naga. Kau bahkan tidak memanggilku dengan hormat seperti dulu lagi. Misi yang kau jalankan sudah gagal. Aku terpaksa menyuruh orang lain, tetapi dia... Ah, kalian semua membuatku kecewa hari ini. Sebagai hukuman, Kau dilarang keluar sebelum ku izinkan! "
"Tidak! Aku tidak mau kembali ke tempat itu! Kau tidak bisa mengurungku lagi. Lepaskan aku! "Naga memberontak saat orang- orang berseragam hitam menyeretnya dengan paksa. Dia sempat menatap Keen berharap lelaki itu menolongnya. Namun, yang didapatkan adalah tatapan datar dari lelaki tersebut.
"Keen, dengarkan aku! Kau tidak boleh percaya padanya. Selama ini dia membohongi kita. Keen, Dia—Aakh!" Naga memekik ketika seseorang memukul tengkuknya hingga dia tidak sadarkan diri.
Dalam keadaan tidak sadar, sebuah memori yang sempat Naga lupakan muncul.
Dua orang remaja berlari dari kejaran sekelompok orang. Mereka bersembunyi di dalam rumah kosong.
Saat mereka fokus melihat ke luar, seorang anak menghampiri mereka berdua. Anak itu bersiap untuk memukul kedua orang tersebut.
Namun, karena kurang hati- hati, Dia malah menginjak kulit pisang yang entah kapan terkapar di lantai.
Anak itu memekik membuat mereka menoleh. Salah satu dari mereka menangkapnya dengan cepat.
"Adik kecil, Kamu tidak apa- apa? " tanya remaja itu dengan cemas.
"Sakit~," ringisnya.
"Yang mana sakit? "
Dia menunjukkan kelingking kakinya dengan polos. Remaja lain menatap mereka dengan malas.
"Ck, sudahlah. Kau tidak perlu repot mengobati anak itu. Sebaiknya kita pergi dari sini. Mereka sudah pergi. Ayo— Kau, kenapa bawa anak itu segala! Tinggalkan saja dia di sini! "
"Tidak bisa. Kita harus mengantarnya. Aku juga tidak bisa meninggalkan dia di tempat seperti ini."
"Terserah kau saja."
Sejak itu, mereka bertiga mulai akrab dan menjadi saudara. Sampai ada seorang nenek menawarkan untuk menjadi orang tua asuh mereka. Beliau sudah lelah sendirian. Maklum, nenek tersebut tidak memiliki keluarga. Apalagi suami, karena masa mudanya dihabiskan membaca novel hingga lupa mencari pasangan.
Sampai suatu ketika....
"Ariel, awas!!! "
Dia tersentak dan langsung terbangun dengan wajah dipenuhi keringat. Dia menghela napas lega saat menyadari bahwa itu cuma mimpi.
"Ariel? Kenapa namanya Ariel? " tanyanya bingung. "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Sementara itu, Puri sedang mencari- cari sesuatu. Dia membongkar buku- buku yang tertata rapi di dalam rak.
"Ck, disini juga tidak ada. Kemana orang itu menyimpan bukunya? Ah, sialan! Aku harus cepat menemukan buku itu! "
Dia melayang- layag di udara dan menelisik setiap sudut kamar itu. Wajah lelahnya terlihat kentara. Kekuatan sistemnya juga tidak bisa digunakan karena sebagian dihabiskan untuk menghidupkan roh wanita tersebut. Ada suatu alasan kenapa dia melakukannya.
"Jika tidak ada disini, berarti sudah diambil oleh orang lain. Kuharap buku itu tidak disalahgunakan, " gumamnya tidak yakin. Kemudian dia mengembalikan semuanya seperti semula. Dia menghilang cepat ketika pintu ruangan itu terbuka.
'Hampir saja.'
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ariel Di antara 2 Dunia
AléatoireMasuk ke dalam dunia novel dan menjadi salah satu karakter di sana tidak membuat Ariel takut atau khawatir. Justru dia bersikap santai dan tidak peduli. Entah apa tujuan para tokoh itu, dia akan melakukan cara untuk mengakhiri cerita yang menyebalka...