"Ariel, Kamu disini dulu ya, Nak. " Wanita berambut pirang itu meletakkan anaknya di depan rumah kosong.
"Mama! Mama! " Bocah berusia tiga tahun itu menggengam erat lengan baju ibunya. Dia menggeleng keras. " Ariel ikut, Ma. "
"Maaf, Ariel. Mama tidak bisa membawamu. Maafin mama ya, Sayang, " ucap wanita itu dengan air mata mengalir di pipi.
"Mama, Ariel ikut! Ariel nggak mau disini. " Sekali lagi Ariel menggeleng kuat. Dia tidak mau sendirian di tempat asing ini. Apalagi keadaannya sangat gelap.
"Maaf, Ariel. Mama harus melakukan ini. Mama harap kamu tidak membenci mama."
"Mama!!! "
Ariel terbangun dari kenangan buruk itu. Napasnya terengah- entah dengan keringat yang sudah membanjiri kulitnya. Dia menoleh ke samping. Alisnya berkerut melihat Naga tidak ada di sana.
"Di mana dia? "
Ariel menurunkan kedua kaki. Dia mengenakan sandal yang terkapar di lantai. Ariel bergegas ke luar untuk mencari Naga.
Dia terpaksa menggunakan insting berjalan di tempat yang gelap. Untung dia hapal posisi setiap ruangan ini. Tak mungkin dia meminta bantuan Puri. Dia tidak boleh bergantung pada orang lain. Meskipun Puri tidak terlihat keberatan.
Hidungnya mengendus aroma berbau amis. Dia terus mengendus hingga menabrak sesuatu.
"Aduh, " ringisnya berbisik. Syukur yang ditabraknya adalah tembok. "Ini pasti kamar Si maskara itu, " gumamnya mendeteksi.
'Ada yang aneh? ' monolog batinnya. Pendengarannya menangkap suara rintihan seseorang menahan sakit. Arahnya berada di dekat kamar Maskara.
Rasa penasaran membuat Ariel nekad membuka kenop pintu.
'Tidak terkunci? ' Dia menjadi was- was. Entah kenapa suasana di sekelilingnya terasa horor.
Ariel berjalan dengan hati- hati tanpa membuat suara. Dia meraba- raba setiap sudut kamar. Dia harap tidak menabrak sembarangan.
Duk!
Tubuh Ariel membeku. Wajahnya berkeringat dingin dengan tangan yang mulai gemetar. Sial, kenapa dia jadi penakut begini? Bukannya, dia seorang yang tidak kenal takut? Dia merasa kesal pada dirinya sendiri.
"To... Tolong." Rintihan lemah terdengar cukup dekat di tempat dia berpijak. Ariel mundur selangkah. Dia berjongkok dengan pandangan waspada.
Wajahnya menunduk dan menyamping. Dia menempelkan telinga di lantai itu. Suara ringisan terdengar begitu jelas. Walaupun pelan, tetapi Ariel tidak mungkin salah mendengarnya.
Namun, dia tiba- tiba mendengar suara lain disertai langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Pupil mata Ariel membesar. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia masih bergeming dan masih dalam posisi seperti itu.
"Kenapa pintu kamarmu terbuka, Maskara? Apa kau tidak menguncinya? " tanya suara itu.
Ariel mengenal pemilik suara itu. Itu suara ... ayahnya.
"Aku sudah menguncinya, Ayah. Aku tidak akan pikun semudah itu, " jawab Maskara.
"Kamu harus hati- hati, Maskara. Bagaimana kalau ada yang masuk ke kamarmu? " omel pria tersebut.
Ariel langsung berguling ke bawah kasur ketika merasakan lampu akan dihidupkan oleh mereka. Dia memaki dirinya karena terjebak di tempat ini. Dia sudah seperti seorang pencuri saja.
"Orang itu sudah kau amankan? " Dia mendengar ayahnya melontarkan pertanyaan pada Maskara.
"Sudah, Ayah. Aku mengurungnya di bawah, " jawab Maskara.
"Bagus. Jangan sampai dia lolos, " ucap Andrian.
Ariel menjadi bingung. Apa yang sedang mereka bicarakan? Apa ini ada kaitannya dengan suara di bawah lantai tadi? Pikirannya terus diserbu rentetan pertanyaan. Ini begitu rumit. Dia bukan seorang detektif. Harusnya dia tidak melakukan ini.
"Tolong.... " Lagi-lagi rintihan itu. Dia langsung menutup telinga dan tak ingin mendengar suara tersebut.
Tunggu! Kenapa dia kesini? Tujuannya kan untuk mencari Naga. Dia berharap kedua orang itu cepat keluar. Dia harus menemukan Naga. Ada sesuatu yang ingin dia korek dalam diri remaja itu.
Sementara itu, orang yang dicari sedang berbaring santai di pohon belakang rumah tepat di kamar Ariel. Dia sedang memikirkan sesuatu. Sudut bibirnya menyeringai sesaat.
"Aku biarkan kalian bermain sekarang. Tapi ... tidak akan kubiarkan kalian menang dalam permainan ini, "gumamnya berdesis.
" Kau sungguh egois. Bagaimana reaksi bocah itu, ya..., " celetuk seseorang. Wajahnya tidak begitu jelas. Dia memakai pakaian serba hitam dan kepalanya ditutupi dengan topeng.
"Aku akan jamin dia tidak mengetahui apapun, " sahut Naga.
"Benarkah? " Senyum remeh tercetak jelas di bibir orang itu. "Aku tahu kau tidak bodoh, Naga. "
Naga menatap orang itu datar. "Ck, kau merusak suasana hatiku, " ujarnya geram.
Orang itu terkekeh seram. "Sepertinya dia sangat berharga, ya, " ledek orang tersebut
"Kau sangat menyebalkan, " balas Naga ketus.
"Aku hanya memperingatkanmu. Jangan sampai karena anak itu .... " Dia menatap Naga serius. "Ingat baik- baik, Naga. Yang Mulia akan memberimu hukuman. Kau hanya miliknya, bukan orang itu. Kita, dan semuanya adalah milik Yang Mulia, " pungkasnya sebelum menghilang dari pandangan Naga.
Naga langsung meninju batang pohon dengan keras. Dia tidak peduli jemarinya berdarah. Dia menggertakkan gigi dengan otot di rahang yang mengeras.
"Keparat! " teriaknya. Raut wajah terlihat menyala bagaikan bara api. Dia ingin sekali membunuh orang saat ini untuk mengeluarkan merapi yang siap meledak dari dalam tubuhnya.
"Naga! "
"!!"
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ariel Di antara 2 Dunia
RandomMasuk ke dalam dunia novel dan menjadi salah satu karakter di sana tidak membuat Ariel takut atau khawatir. Justru dia bersikap santai dan tidak peduli. Entah apa tujuan para tokoh itu, dia akan melakukan cara untuk mengakhiri cerita yang menyebalka...