Gyanav membuka mata spontan saat ketukan di pintu rumah Satya diketuk beberapa kali. Ia menghela napas berat, mengusap wajahnya secara kasar, kemudian terdiam beberapa detik untuk mengumpulkan kesadarannya. Selalu ada perasaan aneh yang menghinggapinya ketika bangun tidur, dan ia tidak suka perasaan aneh itu.
Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini, diiringi dengan suara wanita yang mencari keberadaan penghuni rumah. Gyanav merubah posisinya menjadi duduk. Menggelengkan kepalanya beberapa kali dan memijat pelipisnya. Suara ketukan itu, berubah menjadi dengungan di telinganya.
"Ya Tuhan."
Gyanav menengadahkan kepala dan mengembuskan napas perlahan. Berharap pening di kepalanya segera menghilang.
"Sebentar!" teriak Gyanav untuk memberi tanda bahwa ada orang di dalam rumah.
Sebelum beranjak, Gyanav menundukkan kepala dan memijat tengkuk sebagai jalan terakhir menghilangkan pusing. Pelan-pelan ia turun dari sofa dan menapakkan kedua kakinya dengan hati-hati. Karena apabila digerakkan secara spontan, akan terasa sakit. Terlebih setelah bangun tidur, mungkin karena kakinya tidak digerakkan dalam beberapa jam.
Gyanav mendesis saat sakit itu benar-benar datang. Bahkan, dari kamarnya menuju ke pintu depan pun, ia harus berhenti beberapa kali dan berpegangan pada dinding sekitarnya. Seharusnya, ia memang tidak terlalu menggunakan kakinya untuk kegiatan berat dan akan lebih baik menggunakan kruk, tetapi hal itu justru membuatnya semakin kesulitan.
Bukan tanpa alasan kondisinya seperti ini. Semuanya berawal dari kejadian hampir dua tahun lalu, sebelum ia menetap di desa tempat kelahiran Satya. Sebuah kemalangan menimpa dirinya. Kecelakaan hebat yang membuat motor Yamaha YZF-R15 miliknya tertabrak sebuah truk dari belakang dan membuatnya terlempar beberapa motor. Dari semua luka yang ia dapatkan saat kecelakaan tersebut, dada dan kaki kirinya yang mendapatkan luka paling serius. Gyanav bahkan sempat divonis mengalami kelumpuhan saat itu.
Setelah melewati kesusahan hanya dengan jarak yang dekat, akhirnya Gyanav mampu mencapai pegangan pintu dan membukanya. Terlihat Denis yang sudah berbalik badan, nyaris pundung kembali pulang. Namun, urung saat Gyanav menyambutnya dengan senyuman.
"Kak Denis," sapanya sambil mendekat. "Maaf, ya. Aku tadi lagi tidur. Jadi, gak terlalu kedengaran adabyang bertamu."
Denis kembali melangkah. Membawa satu buah piring berisikan beberapa buah bolu kukus berwarna cokelat. "Aku kira memang lagi gak ada orang. Gya lagi gak ada kegiatan hari ini?" Akan tetapi, setelah jarak mereka hanya terhalang beberapa jengkal saja, Denis melihat rona pucat dari wajah Gyanav. "Kamu sakit, ya?"
Gyanav spontan menyentuh wajahnya. Memang kentara sekali, ya?
"Iya, Kak. Hari ini Satya sendirian yang ke ladang. Aku lagi sedikit gak enak badan," jawabnya jujur, "oh iya, Kak. Duduk dulu, Kak. Ya ampun dari tadi malah berdiri aja, ya."
"Udah minum obat? Atau udah diperiksa?"
"Ini aku baru pulang dari rumah sakit, Kak. Silahkan duduk, Kak."
Tangannya yang cekatan menarik kursi yang memang berada di teras depan. Gugup, bingung, setengah malu pula, yang akhirnya membuatnya menarik kursi dengan terburu.
Denis yang menyaksikannya, terkekeh melihat Gyanav yang groginya tidak hilang-hilang. "Makasih, ya, Gya. Ini aku mau kalian cicipi bolu kukus buatanku. Tadi aku bikin sama Bu Eni, tapi pake resep baru. Bi Eni nyaranin pake gula aren. Dan menurutku hasilnya enak, manisnya alami. Cobain, deh."
Gyanav menerima piring tersebut. "Ini boleh aku cicipi sekarang, Kak?"
Lagi, tawa Denis pecah. "Gya kamu lucu banget, sih. Mau kamu abisin sekarang juga gak papa. Nanti buat Satya masih ada kok di rumah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Life is Beautiful✓
General FictionKisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatangan. Sampai akhirnya, ia berada di titik ingin melepas semua keraguan dan berakhir dengan menyepi di...