Bumi basah.
Semalam, hampir semalaman tanah di Desa Ujung diguyur hujan, sehingga rintik embun pagi dan kabut tebal masih saja bertahan meskipun sudah bagian matahari yang bertakhta.
Rasanya, setiap tetes embun pagi yang menimpa bumi, dapat terdengar begitu jelas dalam pendengaran. Kehadiran embun dan kabut pagi yang tak mengenal pijakan. Di dedaunan berduri, di tanah berdebu di atas bebatuan dan rerumputan. Datang dan pergi seolah tak bertuan, hanya untuk menampakan kebeningannya. Layaknya simbol hati dan pikiran yang merendah, diiringi sifatnya bijaksana, sehingga mampu menyejukkan jiwa-jiwa yang kering dan gersang.
Pagi yang menghadirkan harapan, menyejukkan perasaan, menghadirkan kedamaian.
Sebenarnya, Denis masih ingin bergulung dengan selimut. Hawa dingin pagi ini benar-benar tidak tertahankan, sebab semalam tanah di Desa Ujung diguyur hujan hampir semalaman. Ditambah semangatnya tiba-tiba memudar karena tadi pagi ia mendapat pesan dari Andra. Entahlah, hatinya masih belum mau berhubungan dengan orang-orang yang membuat perasaanya kacau.
Akan tetapi, tempo hari ia sudah membuat janji dengan Gyanav ingin ikut dan melihat bagaimana memetik buah kapulaga yang terkenal di kalangan masyarakat. Jadi, hari ini akan kembali mengabaikan Andra. Ingin sedikit bersenang-senang dengan alam dan Gyanav.
Simpul pada sepatu sebelah kiri telah selesai diikat. Denis segera menuju teras depan untuk menghampiri Gyanav yang sudah menunggu.
"Ayok, Gya!" seru Denis bersemangat. Sedikit membuat Gyanav yang sedang tertunduk terlonjak kecil.
"Gak papa cuacanya kayak gini, Kak? Nanti bakalan dingin selama di perjalanan. Aku juga gak bisa jamin kalau di sana bakalan gak becek." Gyanav memvalidasi. Takut-takut Denis yang belum terbiasa dengan hal seperti ini akan pundung.
"Gak papa. Mumpung kamu juga lagi ada waktu, 'kan? Oh iya, Satya gak ikutan juga?"
"Kayak aku orang sibuk aja ya, 'kak?" Gyanav terkekeh, "Satya lagi ada acara penyuluhan sama pengurus pemerintahan desa. Paling nanti siang dia selesainya."
"Oh ...." Denis mengangguk. "Oh iya, kita bawa apa aja, Gya?"
Dengan segera Gyanav membongkar tas yang dibawanya di balik punggung. "Aku cuma bawa air minum, roti buat ganjal lapar, sarung tangan biar nanti tangannya gak sakit, sama terakhir pisau." Gyanav mengambil satu per satu isi tasnya, lalu setelahnya kembali dimasukan. Hanya berniat memberi tahu Denis saja.
"Oke, wait. Aku ambil pisau dulu." Belum saja Denis masuk kembali ke dalam, Denis berbalik badan. "Tapi, aku gak punya sarung tangannya, Gya. Gimana, dong?"
"Nanti sekalian lewat kita beli di warung Bu Kus, Kak."
"Oh, oke. Tunggu sebentar, ya." Denis segera berlari ke dalam untuk mengambil pisau.
Gyanav tertawa kecil menyaksikan hal tersebut. "Lucu," gumannya.
***
"Gya, kok airnya ada yang keluar dari batu?"
"Eh, masih banyak capung jarum ya di sini."
"Ini ada anak ayam. Punya siapa ya, Gya?"
Sepanjang jalan, Denis tak berhenti bertanya tentang semua hal aneh yang ia temui sepanjang jalan. Tidak peduli seberapa tebal kabut yang menghalangi pandangan, Denis tetap berjalan beriringan bersama Gyanav. Perlahan, yang penting Denis bisa menikmati perjalanan.
Jalan masih basah. Embun masih bertahan di dedaunan. Dingin masih merambat pada kulit. Jalanan begitu sepi. Suara alam bersautan meramaikan bumi. Sampai tiada terasa, mereka telah sampai di ujung jalan. Satu langkah lagi menuju kebun kapulaga yang daunnya begitu lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is Beautiful✓
General FictionKisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatangan. Sampai akhirnya, ia berada di titik ingin melepas semua keraguan dan berakhir dengan menyepi di...