Kedatangan Satya di pagi hari membuat Denis mengurungkan niatnya untuk kembali menemui Gyanav. Tadinya, ia akan berbicara jujur tentang pilihan hatinya. Terlebih waktu yang ia habiskan untuk menata diri di Desa Ujung nyaris habis. Denis akan membereskan kekacauan dan memutuskan kebimbangan hatinya.
Satya datang dengan membawa titipan dari Bu Kus. Sepiring papais asin dan manis yang merupakan makanan khas Sunda. Terbuat dari tepung yang dibungkus oleh daun pisang, lalu dimasak dengan cara dikukus. Denis pernah memakannya buatan Bi Eni. Katanya, biasanya makanan ini dibuat untuk syarat apabila akan memanen padi.
"Udah mau balik lagi ke Bandung ya, Nis?" tanya Satya saat melihat beberapa barang Denis sudah tertata rapi. Sedang menyicil dibereskan.
Denis yang sedang memindahkan makanannya ke piring, menoleh sebentar ke arah Satya. "Iya, Tya. Empat hari lagi aku di sini. Masa cutinya udah habis. Tadinya kalau bisa aku tinggal aja di sini." Denis tertawa ringan.
"Lagi nyicil beres-beres," tambah Denis, lalu menyusul duduk di kursi meja makan. "Makasih banyak ya, Tya. Sampaikan juga makasih ke Ibu."
Satya mengacungkan jempolnya. "Siap, Nis."
"Oh iya, yang kemarin itu kakaknya Gya, ya? Mirip ya, wajahnya." Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlintas di kepala Denis.
Tempo hari saat Gemma datang ke rumah Bu Kus, Denis langsung undur diri setelah mengapa singkat pada Gemma. Tak tahu hal apa yang telah terjadi di antara kedua saudara tersebut. Yang ia tahu hanyalah sosok Gemma yang secara fisik nyaris serupa dengan Gyanav dan memiliki senyum ramah.
"Iya, Nis. Mereka dulu sering disebut kembar karena mirip," timpal Satya, "itu juga salah satu hal yang mau aku sampaikan sama kamu mengenai Gyanav. Tapi, sebelumnya aku mau tanya sama kamu, Nis." Raut wajah Satya berubah serius seketika.
Melihat bagaimana keseriusan itu nyata di wajah Satya, Denis dibuat heran. "Tanya apa, Tya?"
"Alasan kamu sebenernya datang ke sini karena apa, Nis?"
Denis menelan ludah. "Aku datang ke sini memang hanya butuh untuk menenangkan hati," jawab Denis jujur.
"Dokter Andra yang kemarin ke sini itu pasti ada hubungannya kan sama kedatangan kamu ke sini?" Satya tak berniat untuk membungkam Denis, tetapi pertanyaan yang dilontarkan cukup sulit untuk dijawab.
Tidak. Bukan Denis tak ingin jujur, tetapi ia rasa ini adalah ranah pribadinya. Satya maupun siapapun tak harus tahu kebenarannya.
"Ah, maaf, ya. Mungkin aku terlalu lancang. Tapi, besar harapan kalau aku bisa dapetin jawab jujur dari kamu, Nis. Ini tentang Gyanav dan perasaannya," kata Satya tak enak hati.
"Aku cuma mau memastikan kalau di antara kalian tidak ada yang harus lagi saling terluka."
Denis semakin tak paham arah pembicaraan mereka, apalagi saat sebuah senyum aneh tercipta dari sudut bibir Satya. Seperti meremehkan di mata Denis. "Maksud kamu apa, Tya?"
Lelaki jangkung itu masih mempertahankan senyumnya, merogoh saku celana dan mengambil benda pipih. Tak lama ia mengoperasikannya, sehingga muncul satu hal yang membuat Denis terkejut. "Aku dapat ini dari salah satu temanku pas kuliah, Nis. Di foto ini kamu dan Dokter Andra, 'kan?"
Sebuah foto menampakan dua sosok yang sangat Denis kenali. Diambil dari arah depan, sehingga wajah Denis dan Andra begitu nyata. Tak bisa mengelak, bahwa memang dia orang itu adalah dirinya dan Andra. Denis masih ingat betul itu adalah momen ketika ia membeli cincin untuk pertungannya dengan Andra. Namun, siapa sangka ada orang lain yang mengambil fotonya diam-diam.
"Kamu jangan salah sangka. Memang iya tindakan temanku ilegal dan lancang. Tapi, dia hanya memastikan itu kamu atau bukan. Kakak kelas yang disukai oleh Gyanav atau bukan. Hanya sebatas itu." Sebelum Denis memikirkan hal yang lain-lain, Satya segera menjelaskan asal usul foto tersebut didapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is Beautiful✓
Ficción GeneralKisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatangan. Sampai akhirnya, ia berada di titik ingin melepas semua keraguan dan berakhir dengan menyepi di...