17 | Gyanav Senjanandi

322 32 32
                                    

Alunan lagu 'Without You' dengan suara khas milik Satya sudah memenuhi seisi rumahnya. Lagu milik band rock Inggris Badfinger itu kembali dipopulerkan oleh Mariah Carey dan akhirnya di-cover oleh suara berat Satya dengan versi akustik. Diiringi oleh petikan gitar dan suasana sendu membuat nuansa lagu itu terasa berbeda.

Gyanav tidak masalah bagaimana lelaki jangkung itu akan terus memutar lagu itu seharian. Entah apa arti lagu bagi dia, tetapi melihat bagaimana ia begitu menyukai lirik dan instrumennya membuat Gyanav yakin, bahwa Satya tidak hanya merasa bangga akan suara beratnya, tetapi memang ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.

Yang Gyanav tidak suka dari kehidupannya sekarang adalah bagaimana ia yang kini hanya duduk berdiam diri saat Satya harus sibuk dengan masakan untuk sarapan di dapurnya. Lagi,  pagi hari memang terkadang tidak bersahabat untuk dirinya yang memiliki tubuh nyaris rusak di beberapa bagian. Efek kemarin ia mengabaikan sesak dan terlalu memforsir tenaga, akhirnya semalam ia harus merasakan demam tinggi dan nyeri di kaki kirinya.

"Satya, aku bantu, ya. Masa dari tadi cuma liatin kamu masak sama dengerin orang galau." Tak enak sekali rasanya, Satya yang repot sedari tadi menyiapkan banyak hal, sedang dirinya hanya duduk tanpa tindakan.

"Dah duduk aja, Gya. Bersyukurlah pada kemampuan memasak Satya Kamachandra yang bisa diandalkan dan terjamin rasanya." Satya tak menoleh. Meresponnya sembari terus berkutat dengan daun pisang yang telah disiapkan sedemikian rupa. Rupanya menu sarapan pagi ini adalah sup jamur dan pepes tahu.

Gyanav tak ingin membantah. Toh, apa juga memangnya yang bisa lakukan untuk membantu? Kemampuan memasaknya nol besar. Biasanya ia akan sedikit membantu mengupas bawang atau rempah lainnya, tetapi saat Gyanav terbangun, Satya sudah selesai melakukannya. "Ibu udah berangkat atau dari semalem gak pulang?"

"Gak pulang. Hujan semalam, tuh," jawab Satya singkat.

Gyanav mengangguk dalam diam. "Satya. Aku kadang mikir sesuatu."

"Mikir apa kamu? Jangan mikir yang aneh-aneh, deh. Kebiasaan buruk. Gimana mau keadaannya makin baik coba kalau kebiasaan overthinking." Sudah jadi kebiasaan Satya yang tak bosan untuk mengomeli kebiasaan buruk Gyanav. "Oh, iya. Kemarin hasil kontrol gimana kata dokternya?"

"Ya biasa. Anemianya masih ada, makanya masih sering pusing. Terus suruh jaga istirahat sama aktivitas gitu. Ya, yang biasanya aja kayak gimana kalau check sama kamu," jawab Gyanav.

"Dan seperti biasanya kamu gak pernah dengerin kata Dokter. Kemarin juga kamu tuh kecapean, Gya. Mentang-mentang sama Teteh crush. Sesek aja ditahan," sindir Satya.

Bagaimana tidak, kemarin ia nyaris sekali marah pada Gyanav yang kepayahan sekali meraup oksigen untuk bernapas. Usut punya usut, dari cerita yang ia dengar dari ibunya, Gyanav ternyata memaksakan dirinya untuk memanen buah kapulaga di luar kapasitas tubuhnya. Ditambah lagi, setelah pulang dari kebun, Gyanav dan Denis langsung membantu ibunya memisahkan buah dari tandannya.

"Apa sih, Tya. Biasanya juga aku kan begitu. Kemarin tubuhnya lagi manja aja."

Satya tak peduli. Setelah ia selesai dengan pepes tahu, ia segera menghampiri Gyanav yang duduk di atas kursi tak jauh darinya. "Tinggal nunggu pepesnya. Sabar bentar, ya," katanya, "terus gimana lagi? Obatnya masih harus diminum, 'kan?"

Gyanav kembali mengangguk untuk kesekian kalinya. "Gak ada lagi, Tya. Cuma bilang paru-parunya udah lumayan membaik, tapi ya, gitu. Harus banyak batasan."

Baik Gyanav maupun Satya tak ingin membahas lebih jauh mengenai hal itu. "Gimana deh kemarin kapulaga date sama Denis? Jangan bilang kamu tetep salting gitu? Ya ampun, Gya. Udah tua juga kenapa sih masih malu-malu sama Denis?" Satya mengalihkan pembicaraan.

Life is Beautiful✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang