20 | Denis Anggraisa

268 28 15
                                    

Denis melebarkan senyumnya saat sebuah mobil pick up L300 terparkir di halaman rumahnya. Buru-buru ia menyelesaikan simpul sepatu dan berdiri menandakan ia sudah siap untuk berangkat ke tempat tujuan bersama Gyanav.

"Udah siap, Kak?" Suara Gyanav menyapa pendengarannya. Hangat sekali seperti matahari yang sudah tampak malu-malu di pagi hari ini. Sedikit tidak biasa, sebab di hari sebelumnya, Denis hanya akan disambut oleh awan tebal dan tetesan embun sampai menjelang siang.

"Siap, Gya. Aku bahkan sampe gak bisa tidur dari semalam karena gak sabar mau ke Ciseeng."

Mendengar lontaran candaan dari Denis, Gyanav tertawa ringan. "Sebegitu gak sabarnya ya, Kak? Tapi, gak papa kan naik mobil bak terbuka? Ibu adanya mobil ini aja. Terus biar enak bawa barangnya banyak sekaligus." Gyanav menunjuk mobil yang ia bawa.

"Gak masalah atuh, Gya. Mau naik mobil, mau naik motor, mau jalan kaki juga terserah. Asal sampai ke tempat tujuan."

Gyanav tertawa lebih lepas kali ini. Lucu mendengar logat Bahasa Sunda dari mulut Denis yang terkesan kaku, tetapi lucu. "Ya, jangan atuh, Teh. Kaki aku gempor kalau harus jalan kaki sambil bawa kapulaga sama padi."

"Eh, iya. Ini kapulaga ya kok banyak? Perasaan waktu aku sama kamu misahin kapulaga gak sebanyak ini." Denis baru menyadari banyaknya tumpukan karung yang ada di bak mobil.

"Oh, kalau yang waktu kita petik belum kering, Kak. Kan harus dijemur dulu buahnya sampai bener-bener kering, baru bisa dijual. Kalau yang ini hasil dari minggu lalu sama Ibu emang beli dari beberapa orang, Kak. Makanya sekarang jualnya banyak." Gyanav menjelaskan.

Denis mengangguk mengerti. "Oh, begitu, ya. Ini tempat jualnya jauh, gak?"

"Lumayan, Kak. Makanya aku bilang tadi gempor kakiku kalau berangkatnya jalan kaki." Gyanav melanjutkan.

Gelak tawa keduanya lepas seketika. Tanpa beban, tanpa tekanan. Seolah semalam tidak ada hal yang terjadi di antara keduanya. "Ya udah yuk, Kak. Sebelum cuacanya makin panas, kita berangkat."

Selanjutnya, mereka menaiki mobil dan berangkat untuk memulai perjalanan.

***

Lambaian dedaunan dari pohon Albasia dan mahoni cukup mendamaikan perjalanan Denis dan Gyanav. Jalanan yang berliku dan cukup curam tak menghalangi bagaimana perasaan damai perjalanan mereka berdua. Jarak yang ditempuh memang tak terlalu jauh, hanya lintas satu desa. Namun, cukup membuat Denis puas merasakan keindahan yang belum sempat ia temui sebelumnya.


Mobil Gyanav berhenti tepat di dekat sungai yang airnya mengalir deras. Ada satu warung kecil yang berdiri di tengah-tengah kerindangan. Ada pula dua saung yang katanya sengaja di bangun bagi siapa saja yang ingin berkunjung.

"Ini tempatnya, Gya?" Denis memerhatikan sekitar sebelum turun dari mobil.

"Iya, Kak. Tuh itu sungai sama bendungannya udah keliatan dari sini." Gyanav menunjuk ke arah luar.

"Ya udah turun, yuk," ajak Denis yang segera melepas seatbelt.

Namun, Gyanav dengan cepat mencekal tangannya sampai Denis menghentikan gerakannya. Saat keduanya menyadari ada sentuhan aneh ketika kulit mereka bersentuhan, Gyanav segera melepasnya. "Eh, maaf, Kak," katanya malu dan canggung.

Denis pun jadi ikutan merasa kikuk.

"Tunggu sebentar, Kak." Gyanav merogoh saku celananya. "Ini hasil dari kapulaga tadi. Ada bagian Kakak juga. Mungkin untuk Kakak jumlahnya sedikit, tapi ini hak Kakak karena bantu aku waktu itu." Malu-malu Gyanav menyerahkan satu lembar pecaha lima puluh ribu.

Life is Beautiful✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang