"Cari yang selevel sama kamu; artinya yang sudah tuntas dengan perasaannya dan tahu dia ini siapa, maunya ke mana. Kamu pun juga harus begitu; tahu kamu ini siapa, maunya ke mana. pernikahan itu enak kalau keduanya sama-sama tahu arah hidup masing-masing."
"Jadi, kalau salah satu atau keduanya masih cengengesan, gak jelas arahnya akan dibawa ke mana. Ya, akhirnya yang susah pasangannya karena dapat yang ternyata masih tidak siap. Bagi Eyang, kalau kasusnya seperti ini, sangat wajar bagi Denis untuk memutuskan hal demikian."
"Hubungan langgeng bukan dari laki-laki yang lebih cinta atau dari perempuan yang lebih sayang.
Intinya, keduanya saling support, memahami dan bersyukur.
Ingat! Hubungan yang langgeng itu dibentuk, bukan dicari. Dengan berlandaskan dua insan yg saling mencintai bukan sepihak mencintai."Andra termenung sekejap. Mencerna semua pepatah eyangnya yang datang jauh dari Yogyakarta karena mendengar kabar cucunya akan melangsungkan acara pertunangan. Namun, kali ini, lelaki berusia nyaris 80 tahun itu harus menelan kecewa. Kedatangannya ke Bandung bukan untuk berbahagia, tetapi untuk memberikan penghiburan dan nasehat untuk cucunya tercinta.
"Tapi, Eyang. Andra merasa bersalah sekali sama Denis. Andra udah gak perhatian selama persiapan dan saat Denis memutuskan untuk membatalkan acara, dia yang disalahkan oleh keluarganya."
"Maka sekarang lakukan tanggung jawabnya. Katanya kamu merasa bersalah, tapi kenapa sampai saat ini belum ada pergerakan darimu untuk menebus kesalahan itu?" Eyangnya balik bertanya. "Hanya memperbaiki persiapan acaramu dan Denis saja tidak cukup. Hanya menyesal tanpa permintaan maaf yang sungguh-sungguh gak berguna, Ndra. Eyang yakin, kamu sudah lebih dari mengerti untuk satu hal ini. Jangan sampai Denis lagi-lagi menanggung semua kesakitan dia."
"Andra harus bagaimana, Eyang? Rasanya malu sekali untuk menampakan diri pada Denis kembali."
Lelaki berumur sepuh itu tertawa penuh wibawa. "Kenapa malah tanya Eyang? Kamu-" Eyang menunjuk bagian dada Andra. "Dan hati kamu yang tau jawabannya." Setelahnya, Eyang beranjak dari tempat duduknya sambil menggeleng-geleng kepala.
"Kelakuan anak muda zaman sekarang," katanya sambil tertawa jenaka.
***
Malam harinya, Andra mendapat waktu yang lumayan senggang. Sudah sampai di kediamannya sejak sore tadi.
Pertengkaran dengan Denis, obrolannya Arga, nasehat dari kakeknya, keluhan dari Anin, sampai Omelan dari orang tuanya tempo lalu terus berputar di kepalanya bagai film acak. Bodoh sekali dirinya tidak bisa tegas dan serius atas perasaannya sendiri. Denis telah mengorbankan segalanya, Denis telah menghabiskan waktunya, hingga Denis telah terluka karenanya, tetapi ia masih dia berpangku tangan, tanpa ada usaha dan pergerakan.
Ini bukan kali pertama Andra mengalami hal yang nyaris serupa. Meskipun prinsip hidupnya adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama. Akan tetapi, untuk kali ini rasanya berbeda. Ada perasaan yang sama dengan beberapa tahun lalu, saat dirinya harus menyaksikan bagaimana wajah terluka dan kecewa dari wanita di kisah masa lalunya.
Andra hanya takut melangkah. Terakhir kali ia bertengkar hebat dengan Nitara-mantan kekasihnya adalah karena hubungan bertahun-tahun yang dijalani dengan sembunyi-sembunyi. Andra yang terlalu pengecut untuk membawa hubungan itu ke depan orang tuanya dan berjuang bersama, sehingga Nitara akhirnya memberontak dan mengancam akan meninggalkannya.
Andra akhirnya yang mengalah, lalu bertindak untuk mempertahankan Nitara agar tetap di sisinya. Memberanikan diri untuk memperkenalkan Nitara pada keluarganya. Namun, keberanian itu, pergerakan itu, usaha itu, malah membawanya untuk merelakan perpisahan dengan Nitara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is Beautiful✓
Ficção GeralKisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatangan. Sampai akhirnya, ia berada di titik ingin melepas semua keraguan dan berakhir dengan menyepi di...