"Beginilah sebenernya aku, Kak. Nyusahin banyak orang, ya?"
Gyanav berujar getir. Memberikan pengakuan di depan wanita yang ia damba sejak lama. Namun, apa boleh dikata. Menyembunyikan fakta pun tak berguna. Denis sudah melihat bagaimana ia berada dalam kondisi lemah dengan sejelas-jelasnya. Jadi, ia rasa lebih baik ia jelaskan saja semuanya. Agar menjadi pertimbangan Denis untuk tetap bersamanya atau justru ia berpisah tanpa pernah memadu kisah.
"Gya ...."
Suara lembut itu memanggil, mendayu. Hanya dengan mendengar namanya dipanggil dengan sebegitu lembutnya, sudah mampu membuat Gyanav kelimpungan.
"Gak ada yang namanya menyusahkan. Manusia memang seharusnya untuk saling membantu dan sewajarnya saling membutuhkan," kata Denis menenangkan.
Bolehkan sekali ini saja Gyanav kembali egois untuk keinginannya? Ia tahu, memang tak sepantasnya ia berharap lebih pada bahagia dusta yang ia gantungkan pada Denis. Namun, ia butuh sosok yang bisa mengeringkan lukanya. Tak cukup Satya dan Bu Kus saja yang menjadi obatnya, tetapi Gyanav butuh Denis sebagai pelakon utamanya.
Biarkan Gyanav serakah untuk kali ini saja, sebab lukanya terlalu banyak.
"Prinsipnya memang seperti itu, ya?"
Sejak matahari mulai sedikit tergelincir ke arah barat, Gyanav memilih untuk menyendiri menikmati kesunyian. Duduk beralaskan kursi bambu buatannya sendiri beberapa bulan lalu. Sengaja membuat tempat yang cocok untuknya nyaman untuk tempatkanya menjemput sepi.
Sedangkan Denis yang berniat untuk bertemu Gyanav dengan sengaja, diarahkan oleh Satya agar berjalan ke tempat Gyanav berada, sehingga berakhirlah mereka berdua dan berteman senja.
Gyanav tak mendengar jawaban dari Denis, tetapi tanpa diketahuinya, Denis memantri seulas senyum tipis.
"Maaf ya, Kak. Di saat aku mengajak Kak Denis untuk sama-sama saling menyembuhkan, justru Kak Denis harus menyaksikan bagian terlemah dari seorang Gyanav." Yang lebih muda membuka pembicaraan yang lebih panjang.
Gyanav memandang lurus ke depan. Matanya dengan jeli mengitari pepohonan tinggi di sekelilingnya, sedangkan kilau emas pada permukaan air danau yang terpantul dari cahaya senja menjadi penghias dari binar mata Gyanav.
Andai saja Gyanav tahu, bahwa diam-diam Denis sedang mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang terasa lebih dekat. Apalagi balutan atasan putih yang Gyanav kenakan membuat Gyanav sore ini jauh lebih menawan.
Gyanav melanjutkan kalimatnya yang terjeda. "Bukan Gyanav yang tak lepas dari stik dan Drum. Bukan Gyanav ketua band kampus yang banyak menyita perhatian. Bukan Gyanav yang selalu mendengarkan lagu I Can't You Love Me. Bukan Gyanav yang itu, Kak. Tapi, Gyanav yang sekarang ada di samping Kak Denis adalah Gyanav yang seperti ini adanya."
Dengan berat, Gyanav mengembuskan napasnya yang sedikit terasa menghimpit. Selang beberapa detik memang keduanya saling terdiam. Gyanav sedang mempersiapkan diri untuk mengungkapkan siapa ia sebenarnya, sedangkan Denis setia menunggu kesiapan Gyanav bercerita.
"Dua tahun lalu semuanya masih baik-baik aja, Kak." Gyanav bernostalgia.
"Kami tetap eclipse yang merangkak untuk membangun karir, berjuang sama-sama, lelah dan tertawa sama-sama, berjuang sampai akhirnya kita masuk ke salah satu agensi yang sudah dari lama kita impikan."
"Semuanya terasa akan abadi saat itu, Kak. Bahagia, penggemar, tawa, prestasi, penghargaan, sanjungan. Semuanya terasa gak akan sirna bagi kamu berlima."
Entah sudah berapa kali Gyanav menarik napas berat selama mulai bercerita. Ia pun tak mengerti, apa karena penyakitnya yang menyiksa atau karena rasa sakit hati yang masih saja tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is Beautiful✓
General FictionKisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatangan. Sampai akhirnya, ia berada di titik ingin melepas semua keraguan dan berakhir dengan menyepi di...