#2 awalan

3.4K 265 19
                                    

Udara dingin bumi pasundan kini mulai memasuki sela-sela celah salah satu rumah sederhana daerah Bandung Barat. Daerah pemukiman yang jauh dari kata elit—namun bukan pula kawasan padat penduduk—itu ditinggali satu keluarga yang penuh dengan kebahagiaan. Terlihat dari seorang anak laki-laki di usia 5 (lima) tahun tengah bermain air yang membasahi seluruh tubuhnya. Senyum tak luput dari wajah tampan anak tersebut sampai suara anak lain terdengar, "ko Akang boleh main air tapi Abin enggaaaa?!" Teriakan tersebut sontak menarik perhatian penghuni rumah yang lain, terlebih sang sulung keluarga yang segera bangkit menghampiri adik kecilnya di ambang pintu menuju area belakang. "Akang?!" Panggil yang tertua sedikit terkejut, "Ayah kan minta tolong nyiram taneman! Ko kamu malah babasahan?!" Anak berusia 10 (sepuluh) tahun itu menegur sang adik sembari mencari sendalnya untuk menyusul Billal—Akang. "Da gak sengajaaaa" bela Billal. Tak lupa dia lempar selang air yang sedaritadi dia mainkan lalu berlari untuk mematikan arus air. Dengan kemampuan seadanya, Barra menggendong tubuh gempal Billal dan membawa adiknya tersebut kembali ke arah rumah, "gak sengaja apaan ini basah semua!" Barra menahan gemas juga kesal, "kasian atuh Kang sama Ibu, perutnya teh berat lagi ada Dedek." Dengan telaten, Barra mebersihkan kaki Billal yang kotor dipenuhi tanah basah, dilanjut dia buka seluruh baju basah sang Adik agar tidak masuk angin. "Abin tolong kasih Akang handuk ya? Aa mau ambil baju ganti," bukan Binnar jika dia tidak menurut. Tanpa perlu diperintah dua kali, adik kembar dari Billal pun melangkah ke jemuran khusus handuk mereka. Terdapat 5 (lima) handuk di sana dan Binnar segera mengambil yang berwarna hijau terang lalu kembali berjalan lucu ke arah kembarannya. Melihat tubuh Billal yang mulai menggigil karena dingin berhasil menimbulkan rasa iba di hati Binnar, "Akang ih ini pake handuknya. Tuhkan dingin..." tak lupa Binnar memeluk erat Billal yang sudah terlilit handuk. Anak kecil tersebut berharap pelukannya mampu menghangatkan sang kakak.

Tak berselang lama Barra kembali datang, "mandi lagi hayu sama Aa. Udah Aa siapin air anget." Ajakan tersebut dipatuhi oleh Billal yang berjalan tertatih memasuki kediaman mereka, "kenapa jalannya sambil pelukan gini ini teh?" Suara tawa kecil lolos dari mulut Barra melihat tingkah kedua adiknya tersebut. Benar sekali, Binnar tak jua melepaskan pelukannya pada Barra bahkan kala mereka mulai berjalan menuju kamar mandi. "Assalamualaikum... ya Allah Akang kenapa basah gitu?" Baru saja sang kepala keluarga datang sehabis membeli tissue basah pesanan Ibu, lelaki tersebut berhasil dibuat terkejut melihat putra keduanya yang kini tersenyum tanpa dosa. Tak lama datang perempuan satu-satunya di keluarga tersebut dari balik pintu kamar utama. Langkah yang terpapah menahan nyeri pada pinggangnya membuat Barra dengan sigap menghampiri sang Ibunda, "kan Akang habis bantuin Ayah" bela perempuan tersebut. Kini senyum tanpa dosa yang tadi terukir di wajah Billal pun berpindah pada wajah Ayah mereka.

Satu usapan lembut mendarat di pundak Barra setelah dia mengantarkan Ibu untuk duduk di sofa, "makasih sayang, Ibu beruntung banget punya anak hebat kaya Aa" bisik lembut sang Ibu juga mencium puncak kepala Barra. Setelah melihat Ibunya merasa nyaman, Barra kembali ke kamar mandi untuk melanjutkan kembali tugasnya dengan Billal. "Eh eh eh Abin! Jangan ikutan main air atuhhhh." Beruntung Barra segera mendapati Binnar yang hampir ikut berbasah ria dengan kakak kembarnya. Kalau tidak, tugas Barra akan menjadi dua kali lipat lebih berat. Selain karena kedua adik kembar Barra tersebut sangatlah aktif, kamar mandi yang tidak begitu luas tersebut sangatlah menghambat pergerakannya jika harus memandikan Billar dan Binnar secara bersamaan. Mendengar teguran sang kakak tertua, Binnar segera mengeringkan kakinya dan berlari menuju ruang keluarga dimana orangtua mereka berada. Tak lupa dia meminta maaf terlebih dahulu pada Barra agar Barra tak lagi merasa kesal.

Ringisan rasa nyeri mulai terdengar. Dengan sigap kedua orang dewasa di sana mulai menghitung jarak menit komtraksi yang terjadi. Meskipun sudah memiliki pengalaman melahirkan, Ibu masih tak suka dengan aroma rumah sakit yang menjadikan mereka lebih memilih bertahan di rumah hingga merasa pembukaan cukup untuk segera di bawah ke pihak bersalin. "Dedek bikin Ibu sakit ya?" Pertanyaan polos anak kecil di bawah sana justru sedikit meringankan rasa nyeri pada perutnya. "Engga sayang, justru Dedek lagi berjuang buat cepet-cepet ketemu sama Aa Binnar" jelas sang Ibunda. Rasa bahagia membuncah di dada putra ketiga keluarga Pramana tersebut. Di antara ketiga putra mereka, Binnar lah yang sangat senang mendengar kabar bahwa dia akan memiliki seorang Adik. Kedua tangan mungil Binnar pun mendarat di atas perut besar Ibunya, "Dedek, ini Abin. Dedek denger gak? Sini, Abin disini" bujukan Binnar yang akal mungilnya pikir dapat membantu sang adik menemukan jalan.

Bulir Padi [haechan, johnny, yuta, taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang