#16 mencoba

997 148 9
                                    

Siapa yang pernah menyangka jika Bali akan menjadi saksi juga kenangan tak terlupakan bagi keluarga Pramana. Dimana segala duka pun tercurahkan demi kaki yang semakin kuat. Janji akan cinta mereka terhadap keluarga juga terucap di bawah langit pulau dewata. Sebuah langkah awal yang jauh lebih kokoh dari sebelumnya. Membuka pintu kebahagiaan yang semakin lebar tanpa rasa takut menghadapi masalah besar lainnya.

Tak apa.

Karena kita punya keluarga.

Karena kita punya keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2019

Ruangan dengan dominasi warna putih tersebut sudah menjadi pemandangan yang familiar bagi Barra. Bertahun-tahun dia datang ke sini hanya untuk berkonsultasi terkait trauma-nya. Namun kini dia tak sendiri. Ada Billal yang selalu meluangkan waktu untuk mendampingi sang kakak. Meskipun Billal tak pernah ikut masuk ke dalam ruangan, setidaknya dia harus memastikan Barra selesai bertemu dokter dalam keadaan yang baik.

"Sepertinya peningkatan terjadi cukup pesat dibandingkan 3 tahun terakhir, saya senang loh" puji seorang dokter perempuan bernama Sarah. Selain parasnya yang cantik, kesabaran Sarah sangatlah luar biasa dalam menghadapi seluruh pasien-nya. Terlebih Barra. Karena hingga 4 tahun pengobatan, pemuda tersebut baru saja mulai bercerita di beberapa bulan terakhir ini. "Mind to tell me?" Bujuk Sarah dengan senyum bahagia di wajah cantik perempuan tersebut.

Kini tak ada lagi Barra yang melamun hingga sesi konsultasi selesai, malinkan dia yang ikut tersenyum tipis kala menyusun kata-kata untuk diceritakan. "Saya tiba-tiba teringat adik-adik saya Dok haha," Barra diam sejenak untuk mengatur ekspresinya agar tidak tersenyum semakin lebar, "hari ini kita cukup dibuat heboh oleh adik saya yang paling kecil. Ternyata rangkaian ospek jaman sekarang cukup panjang ya? Saya kira cukup sekali saja ternyata masih ada lagi hahaha" Bohong jika Sarah tidak merasa lega. Pasien-nya yang satu ini selalu lebih banyak bercerita tentang para adik terlebih setelah hari itu. Hari dimana Barra menangis tersedu-sedu menceritakan semua rasa haru-nya akan perlakuan adik-adik yang menerima dengan lapang dada sisi gelap sang kakak.

Sampai Sarah tersadar akan sesuatu, "loh jadi Baim sekarang kuliah dimana?" Beberapa waktu lalu Barra pernah menyampaikan kekhawatirannya akan lokasi kampus dimana Baim hendak menimba ilmu. Pada saat itu Sarah sama sekali tidak memberikan solusi apa-apa dan dia hanya memvalidasi rasa khawatir Barra. Putra pertama Pramana itu tersenyum pasrah, "Unpad. Saya gak bisa nolak Baim, Dok" jawabnya seraya menaikan kedua bahu lemah. Sang dokter hanya mengangguk dan menulis sesuatu di catatannya, "berarti sekarang kamu ke sini sendirian?—" mata Sarah melirik ke arah Barra masih dengan kepala yang tertunduk karena sedang menulis, melihat Barra menggeleng, Sarah kembali mengangguk, "—jadi Baim di antar Binnar ya hari ini, baik, baik."

Kini hanya terdengar suara gesekan ujung pensil dengan kertas milik Sarah. Pikiran Barra pun kembali menerawang entah kemana. Meski masih sibuk mencatat sesuatu, Sarah kini bersua, "kamu diperbolehkan untuk merasa khawatir ya Barra, bukan menerka masa depan." Sarah menyimpan pensilnya juga melepas kacamata yang sedaritadi bertengger di hidup, "kamu tau perbedaannya bukan?" Senyum lembut itu kembali terulas dan dibalas anggukan. Atensi Sarah beralih ke layar besar di meja kerjanya untuk dia mulai mengetik resep obat Barra sebulan ke depan. "Dosis-nya akan saya kurangi. Jika tidak memberikan efek sebaik obat sebelumnya, belajarlah meminta bantuan—" Sarah melirik sedikit dan menangkap ketegangan di wajah Barra "—adik-adik kamu itu hebat, Barra. Coba untuk menghubungi mereka dan ceritakan isi kepalamu saat merasa kacau." Ucapan Dokter Sarah bagaikan menampar kesadaran Barra. Bagaimana sang dokter sana bisa mempercayai adik-adiknya sedangkan dia merasa sulit? Bak mampu membaca pikiran, Sarah kembali menyambungkan kalimatnya. "Sulit itu muncul karena ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari mereka," tubuh sang dokter berputar hendak mengambil resep obat yang keluar dari mesin pencetak, membelakangi dia yang lagi-lagi merasa seperti tertampar. "Ini resepnya bisa kamu tebus di farmasi ya, kita ketemu lagi di konsultasi berikutnya," Sarah menyerahkan lembaran kertas juga tersenyum ramah.

Bulir Padi [haechan, johnny, yuta, taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang