#5 makan malam

1.5K 203 11
                                    

2015

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Seperti biasa, Binnar sudah sibuk di daerah kekuasaannya yaitu dapur. Menu makan malam hari ini merupakan makanan kesukaan Barra dan Baim yaitu pindang balado dengan tumis kangkung. Kedua selera kakak beradik tersebut cukup mirip. Bahkan terkadang Binnar menganggap jika Baim adalah anak dari Barra karena mereka seperti pinang dibelah dua. Dia dan Billal saja yang secara biologis merupakan anak kembar justru sangat bertolak belakang. Mengingat itu, Binnar kini tersenyum tipis. "Hayoloh mikirin apaan!" Suara Billal tiba-tiba terdengar di telinga kiri Binnar sampai sang empunya terkejut bukan main. Billal tau betul Binnar paling tidak suka dikejutkan tapi apa daya? Dia tak bisa menahan diri untuk tidak menjahili adiknya.

Kali ini Binnar tak punya energi untuk memarahi Billal, dia hanya merengut sebal sembari mendorong Billal agar tubuh yang menempel pada bahunya itu sedikit menjauh. "Mending bantuin bawa ke meja da daripada gangguin Abin. Bisi Abin seblokeun kana bengeut Akang—takut Abin siram ke muka Akang" gelak tawa Billal pun terdengar. Itu adalah respon yang Billal suka dari Binnar karena jarang sekali melihat sang adik berlaku kasar. Jadi jika Binnar sudah dengan tenang dan mengucapkan sumpah serapah, Billal akan segera berpose hormat dan mematuhi semua perintahnya.

Langkah Baim kini sudah sampai di lantai satu yang langsung berhadapan dengan meja makan keluarga. Melihat Billal sedang menata meja, Baim segera mempercepat langkahnya untuk membantu sang kakak. Billal melirik karena merasa ada tangan kecil yang tak sengaja menyentuhnya kala membagikan piring di setiap kursi, "udah sholat belum?" Makan malam keluarga Pramana memang dilakukan setelah menjalankan ibadah Isya. Selain karena Binnar yang tak mau mengganggu waktu ibadahnya dengan kewajiban lain yaitu memasak, mereka juga perlu menunggu Barra pulang kerja agar bisa makan bersama. Maka dari itu disepakatilah makan malam mereka pukul 7.30 malam.

"Udah atuh. Akang udah belum?" Kini Baim bertanya balik pada kakaknya. Mereka sudah duduk di kursi masing-masing, tinggal menunggu Binnar juga Barra. Meja dengan kursi untuk 6 (enam) orang ini ditempati oleh Barra di kursi utama yang ada di tengah, kursi kedua sebelah kiri Barra ditempati oleh Baim. Sedangkan Billal Binnar tak selalu di tempat yang sama, terkadang Billal duduk berhadapan dengan Baim dan Binnar di samping Baim, terkadang pula sebaliknya. Dan kini Billal memilih duduk di hadapan sang adik, "udah, kenapa?" Pertanyaan itu menjelaskan jika Billal agak sedikit terkejut karena tak biasanya Baim mempertanyakan hal-hal pribadi seperti ini. Dengan santai Baim menaikan kedua bahunya, "nanya aja, tumben Akang gak ngajak Dedek ke mesjid." Kali ini Billal berhasil dibuat tersenyum bangga oleh sang adik. Dia pun mengusak puncak kepala Baim dengan gemas, "tadi Akang muleees. Besok -besok kita ke mesjid lagi ya!" Ajakan yang dibalas anggukan oleh Baim pun berbarengan dengan Binnar yang sudah datang menyusul mereka di meja makan.

Meski makan malah sudah disajikan, tak ada yang menyentuh makanan tersebut karena Barra belum tiba. Ketiganya memilih untuk bercengkrama sembari menunggu kedatangan putra pertama Pramana yang tak lama suara kendaraannya mulai terdengar. "Assalamualaikum" Baim menoleh, dengan riang dia jawab salam tersebut seakan kedatangan Barra adalah hal yang paling dia tunggu. Saat Barra sampai di kursinya setelah mencuci tangan, semua adik mengulurkan tangan untuk mengecup sopan kakak tertua. "Tumben A telat, lembur?" Tanya Binnar. Barra yang sedang sibuk menyendokan makanan untuk adik-adiknya tersebut pun menjawab, "engga ko macet aja tadi di jalan jadi ikut sholat dulu di mesjid depan. Kalian gimana hari ini? Dedek?"

Inilah yang Baim suka kala waktu makan malam tiba. Di antara ketiga kakak-nya entah mengapa dia lebih merasa nyaman ketika bercerita pada Barra. Semua ceritanya seakan didengar dan dipahami. Begitupula petuah Barra yang selalu membuat Baim merasa kagum. "Aa dulu SMA masuk jurusan IPA atau IPS?" Pertanyaan Baim mengingatkan Barra jika adik kecilnya sudah akan memasuki sekolah menengah atas. Binnar yang mendengar pertanyaan itu pun teringat perbincangan mereka tadi pagi. Setelah menelan makanannya, Barra menjawab "Aa ambil IPS, Baim emangnya mau SMA? Gak SMK kaya Akang?" Kini yang ditanya menoleh ke kakaknya yang duduk berhadapan, "emang Akang SMK mana?" Billal menyuapkan makanannya, "SMK Angkasa Husein, Akang ambil teknik kendaraan ringan." Mulut Baim pun membentuk bulat sembari mengangguk mengerti, kembali dia menatap Barra, "Aa, Akang, sama Abin emang gimana caranya bisa nentuin mau ambil jurusan?"

Keheningan menyeruak dan mata Billal segera melirik Binnar yang ternyata diam terpaku. Teringat akan sosok Ayah yang selalu membimbing mereka dalam memilih keputusan dari berbagai hal, kini pertanyaan Baim tak mampu langsung mereka jawab karena sadar jika Baim sudah tak lagi bersama Ayah mereka. "Ya nanti kita bantuin atuh. Sok Dedek ceritain aja pelajaran apa yang Dedek suka sama gak suka. Terus nanti liatin nilai rapot Dedek bagusnya di pelajaran apa. Ah jelek semua geura nilai Dedek mah ya? Hahahaha" bibir Baim mengerut sebal, "Baim pinter ko! Akang weh yang gak tau yeuuu" tawa kembali menghiasai setelah keheningan yang menusuk. "Kalau Dedek ada minat lain kaya Akang juga boleh. Eh tapi Akang mah gara-gara nilainya jelek jadi gak bisa masuk IPA atau IPS—aw!" Satu tinju mendarat di bahu kiri Barra dan pelakunya tentu saja Billal, "si Aa mah kitu euy. Bohong Dek, buktinya Akang bisa masuk fikom unpad pake tes padahal bukan anak IPS." Barra makin tertawa lepas melihat pembelaan Billal, "belum terbukti kalo belum lulus mah, sok kuliah heula cing bener—kuliah dulu yang benar—udah lulus mah Akang mau ngapain aja Aa bolehin. Aa cuman nitip pesen sama adik-adik Aa kuliah itu harus, ngerti?" Dengan serempak semua menjawab bahwa mereka paham akan kalimat yang diucapkan Barra.

Yang sedaritadi diam kini menarik perhatian sang putra pertama, "Abin gimana kuliahnya?" Mata Binnar melirik kala sedang meminum segelas air putih. Setelah dia simpam gelasnya, Binnar mulai menjawab pertanyaan dari Barra, "oh iya, Abin teh ditawarain jadi Campus Ambassador, menurut Aa diterima atau gak usah ya?" Barra terdiam sejenak, "kalo gak ganggu kuliah sama beasiswa Abin ya sok aja ikutan. Tapi Aa juga sebenernya gak masalah Abin udahan pake beasiswa, sekarang Aa bisa ko bayarin kuliah Abin." Sejak menduduki bangku sekolah menengah atas, Binnar sudah berprestasi di bidang akademik hingga mendapatkan tawaran beasiswa dari berbagai universitas termasuk unpad. Barra sangat berterimakasih akan hal itu karena setidaknya beban biaya yang perlu dia tutup sedikit terbantu karena Binnar tak memerlukan satu rupiah pun untuk kuliahnya. "Kalo bisa dibayarin sampe lulus mah kenapa engga atuh A? Da keperluan penelitian Abin juga masih pake uang Aa bukan uang kampus" penjelasan Binnar membuat Barra memilih untuk mengangguk saja. Debat mengenai beasiswa kuliah Binnar memang sudah terjadi sejak lama, tapi ya begitulah Binnar, dia tak mau melepaskan beasiswanya.

"Ai kuliah Akang lancarkan?" Sempat lupa pada adiknya yang satu ini, Barra sekarang menatap lurus netra Billal yang justru terlihat tenang. "Aman aman," jawab Billal sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Begitulah Billal, entah mengapa adik Barra yang satu ini sungguh sulit di ajak bicara dengan serius. Entah dia hanya menjawab seadanya, terkadang dibarengi dengan guyonan, bahkan beberapakali selalu mengalihkan topik pembicaraan. Apa Barra akan memaksa? Tentu tidak. Meskipun sang kakak belum mampu memahami karakter Billal, dia memilih untuk memberikan ruang pada adiknya itu.

Tiba-tiba terasa ada tangan kecil yang menggoyangkan lengan Barra hingga sang empunya menoleh ke arah kanan dengan ekspresi bertanya. "Aa ai kontol teh apa?" Mata Barra mendadak melotot, Binnar terbatuk akibat tersedak ludah sendiri, sedangkan Billal menepuk jidatnya cukup keras. Sepertinya Billal sudah membayangkan ajalnya yang semakin mendekat. Masih dengan wajah terkejut dan kening yang berkerut, Barra kembali bertanya pada Baim, "Dedek tau darimana kata itu?" Dia yang tengah memakan buah anggur pun dengan polos menunjuk Billal tanpa merasa bersalah meskipun Billal sudah memberi kode agar Baim berhenti. "Tadi pagi Akang teriak kenceng banget. Kontoooool! Gitu" sekarang Binnar yang tertawa kencang terlebih saat Baim mereka ulang bagaimana Billal mengumpat. Sebelum mendapatkan omelan dari sang kakak, Billal segera menunjukan rentetan gigi rapinya, "ampun A ampun, kelepasan ini mah sumpah" dan Barra hanya menghela nafas. "Gimana coba Aa jelasinnya," tutur Barra bingung. Bertolak belakang dengan Billal yang sudah menunjukan sederet giginya tersenyum puas, "jelasin aja weh da bukan bayi atuh udah gede. Tuh kamu punya tuh kontol buat pipis." Sekarang yang terkejut bukan lagi para orang dewasa melainkan dia yang masih duduk di bangku SMP. Dengan mata melotot, Baim mulai berteriak "AKANG MAHHH UNTUNG AKU NANYA NYA SAMA A BARRA!!" Tentu saja Billal kembali tertawa puas. "Emang Dedek mau nanya ke siapa?" Barra kembali penasaran meski senyum sudah menghiasi wajahnya karena melihat Baim terlihat lucu.

"SAMA GURUUU! Akang yang nyuruh Dedek tanyain ke guru aja ceunah A!"

Tak lagi tertawa, Barra kini segera menarik telinga kanan Billal dengan gemas sampai sang adik meminta ampun berkali-kali.

Bulir Padi [haechan, johnny, yuta, taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang