#27 sehat

806 114 3
                                    

2023

Sudah berjalan beberapa tahun setelah Baim menerima surat izin mengemudinya, Dan sudah selama itu pula dia mengendari mobil pemberian Barra secara mandiri. Namun masihkah ada drama? Tentu saja. Tak jarang Barra meminta Billal atau Binnar untuk kembali mengantar adik bungsu mereka meski tidak dikabulkan. Atau sempat pula Barra nekat beranjak bersama Baim hingga terjadi keributan. Bagaimana tidak, Billal dengan susah payah menahan tubuh besar Barra sebelum akhirnya melepaskan kepergian Baim yang berlari meninggalkan rumah untuk segera berangkat ke kampus. Memang benar jika semua hal itu perlu proses. Billal pun harus lebih bersabar karena hal ini terjadi akibat dari sarannya.

Lamunan Baim kala berjalan dari kelas menuju parkiran terganggu saat seseorang memanggil namanya. Tubuh pemuda tersebut kini berhenti, dia mulai menoleh kesana kemari mencari sumber suara yang sangat familiar. "Dor! Hahahahaha—" terbelalak sudah mata Baim, "—JOHAN?! Weh! Ko bisa disini anjir?!" Kedua anak Adam tersebut pun bersalaman juga menyatukan bahu mereka sembari saling menepuk. Tawa tipis lolos dari pemuda tampan dengan senyum bulan sabit tersebut, "jadi babu dulu tuh si Mahen pake acara nabrak segala hahaha." Canda Johan membuat tubuh Baim seketika meremang. Entah mengapa kepalanya mulai pening hingga Johan menarik lengan Baim agar temannya bisa kembali seimbang, "eh? Kunaon Im?—kenapa Im?" pertanyaan dengan raut wajah bingung Johan melihat Baim kini menyadarkan tubuh di dinding.

Suara bungsu Pramana tersebut terdengar meski parau, "tapi, si Mahen oke kan? Maksudnya, dia gak kenapa-kenapa?" Anggukan Baim terima sebagai jawab, "aman da, mobilnya doang yang rusak, dianya mah—" kepala Johan menoleh ke samping sebelum kembali menatap Baim, "—itu orangnya tuh, sehat da Im. Ini maneh yang kenapa? Sakit??" Tak lama dari kalimat yang terlontar oleh Johan, Mahen sudah berdiri tepat di samping Baim dan menatapnya khawatir, "kunaon maneh Im?—kenapa kamu Im?" tanya Mahen. Dia yang ditanya hanya menggeleng lesu, entah pula kenapa dia tiba-tiba merasa begitu kalut mendengar kabar Mahen yang mengalami kecelakaan.

Langkah Baim bersama kedua temannya kini terpisah di parkiran kampus. Meski sudah merasa lebih tenang, hati Baim masih juga gelisah meski dia sudah duduk sendiri di balik kemudi. Keraguan pun mulai menyerang. Apakah perlu dia menghubungi salah satu kakaknya untuk memberikan jemputan? Tidak. Dia tak mau merepotkan lagi. Apakah dia harus menginap di apartemen sampai hatinya mulai lega? Pilihan yang cukup memungkinkan. Tapi kini Baim masih diam, menundukan kepalanya bersandar pada kemudi. Dia tak mengerti kenapa hatinya begitu gundah.

Perlahan tangan Baim meraih ponselnya yang sempat dia lempar dengan sembarang ke kursi samping. Satu nomor pun terpampang dan mulai dia hubungi, "Assalamualaikum, kenapa Dek?" suara Barra terdengar dari ujung sana. Baim menarik nafas dalam agar suaranya tidak terdengar bergetar, "Waalaikumsalam, Aa dimana?" Sempat sayup-sayup Baim mendengar suara orang-orang saling melempar diskusi hingga kembali suara Barra mengambil alih indera pendengaran Baim, "di kantor, Dedek butuh sesuatu?" Bukan menjawab pertanyaan Barra, Baim justru kembali bertanya, "Aa.. sehat kan?" Hening. Kerutan pun muncul di kening Barra yang segera menjawab, "sehat Alhamdulillah, Dedek kenapa?" Tutur lembut Barra melegakan nafas Baim yang segera menjelaskan jika dia hanya ingin bertanya keadaan kakaknya itu. Setelah meyakinkan Barra, panggilan mereka pun terputus dan kini Baim kembali menghubungi nomor yang lain.

Berkali-kali panggilannya tak diangkat sampai dia menyerah dan kini nomor Binnar lah yang tertera di sana, "Abin? Lagi sama Akang gak?" Suara Baim tedengar cukup panik dan tubuhnya pun sedikit mematung karena Billal tak jua mengangkat telefon darinya. "Iya kan tadi nemenin Abin belanja bulanan, kenapa? Lagi di wc Akangnya," nafas yang sempat tercekat kini lepas sudah dengan lega. Tubuh yang sedaritadi tegap pun beringsut bersandar begitu lemas. "Dek? Emang Dedek dimana? Mau dijemput sama Akang?" tanya Binnar karena Baim tiba-tiba tak bersuara. Meski yang diujung sana tak mampu melihat tapi Baim menggeleng tipis, "engga Abin, ini Aim mau pulang ko..—" jantung Baim seketika berdetak, tenggorokannya terasa kering bahkan untuk menelan ludahnya pun terasa sulit, "—Abin.. sama Akang.. sehat kan?" Tawa lembut lolor dari mulut putra ketiga Pramana, "sehat ko, Dedeknya Abin sehat juga kan ya?" Yang ditanya hanya berdeham sebagai jawab.

Binnar menatap layar ponsel bingung sebelum dia kembali menaruhnya tepat di telinga, "Dedek tau kan kalo Abin sayang banget sama Dedek?" Penuturan tiba-tiba dari Binnar dibalas anggukan dan cicitan Baim, "iya..." Meski begitu pelan tapi Binnar bisa dengan jelas mendengarnya. "Kenapa coba?" Binnar menunggu dengan sabar jawaban dari Baim kala yang muda hanya terdiam. Sampai suara Baim mulai terdengar kembali, "Aim gak tau.." Tampak senyum hangat pun muncul di wajah tampan Binnar. Dia yang sedang duduk di kursi makan itu pun kini menopangkan dagunya, "soalnya cuman Dedek yang suka bantuin Abin masak hahaha."

Putra kedua Pramana tersebut tau jika adiknya sedang tak baik-baik saja. Maka dari itu Binnar memilih untuk menghentikan semua kegiatannya dan mendengarkan sang adik meski hanya melalui sambungan telepon. Meski tawa Binnar tak mengundang tawa sang adik, setidaknya sayup-sayup dia bisa mendengar nafas Baim yang menghela lega.

"Abin..." panggilan tersebut dibalas sautan lembut dari ujung sana. "Dedek juga sayang banget sama Abin.."

Hati kedua putra Pramana tersebut menghangat seketika. Meski yang satu tak tersenyum seperti yang lainnya, tapi rasa syukur tak henti berucap dalam hati Baim. "Malem ini mau bobo sama Abin boleh gak?" sua Baim sedikit berbisik. "Tumben? Biasanya bobo sama Aa? Hahaha" kalimat usil Binnar memancing mulut Baim untuk cemberut lucu dan mulai mengeluarkan suara manja-nya, "tapi malem ini mau sama Abinnn..! Yaaa? Ya ya yaaa?" Tawa pun lepas mendapati Baim yang memaksa, "iyaaa boleh. Sok sekarang Dedek pulang. Hari ini Abin masakin makanan kesukaan Dedek ya?" Penawaran tersebut mampu membuat Baim tersenyum sembari menjawab dengan semangat jika dia mau menerima kebaikan Binnar.

Setelah mengucapkan pesan hati-hati, Baim memutuskan sambungan telepon mereka. Hatinya jadi jauh lebih lega kala dia sudah mendengar kabar ketiga kakaknya baik-baik saja. Nafas dalam pun dia ambil sebelum akhirnya menyalakan kendaraan tersebut dan mulai melaju untuk pulang.

 Nafas dalam pun dia ambil sebelum akhirnya menyalakan kendaraan tersebut dan mulai melaju untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara mendengung memekakan telinga tak terelakan. Pandangan pun kabur bersama kepulan asap yang mengitar. Tak berbentuk sudah kondisinya saat ini. Entah kepala atau kaki yang tengah berada di atas. Hanya terasa sesak pada relung dadanya.

Jalanan dengan begitu banyak kendaraan berlalu-lalang dalam kecepatan cepat kini menjadi saksi dimana hati semua orang terluka. Lagi dan lagi, kebahagiaan kembali terenggut. Tak memberikan mereka waktu bernafas bahkan di tengah sebuah bendungan trauma.

Barra terpaku. Tidak pernah dalam benaknya akan kembali ke tempat ini. Dalam situasi yang sama. Dan dalam kehancuran yang sama. Hiruk pikuk itu tak membuatnya bergeming. Kendaraan yang sangat dia kenali kini sudah hancur berantakan. Bersama harap yang juga kembali pergi meninggalkannya.

Tuhan,

Kali ini biarkan Barra menangis.
Biarkan air mata itu jatuh sejadinya.
Tak ada lagi Barra yang kuat.
Hanya Barra yang bersimpuh akan tanya.

Apakah boleh dia membenci takdir?
Atau dia harus kembali menyalahkan diri?
Tidak.
Bahkan untuk bertahan saja Barra sudah tak mampu.

Ini terlalu kejam.

Bulir Padi [haechan, johnny, yuta, taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang