#20 hak

745 130 1
                                    

2019

Sinar mentari pagi memasuki celah jendela kamar Baim hingga sang empunya merasa terusik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sinar mentari pagi memasuki celah jendela kamar Baim hingga sang empunya merasa terusik. Dengan berusaha mengumpulkan seluruh nyawa-nya, Baim kini sudah berhasil membuka mata lebar-lebar dan bersiap bangkit dari kasur. Sudah beberapa bulan terakhir dirinya tak lagi mendengar teriakan Binnar di pagi hari. Karena semenjak kesepakatan kontrak yang terjalin antara Binnar dan perusahaan penerbit, pemuda tersebut mulai disibukan oleh dunia barunya. Tak ada lagi sarapan lengkap setiap pagi. Hanya menu seadanya yang bisa Barra atau Billal siapkan secara bergantian. Tak lupa tiga putra Pramana lainnya untuk mengingatkan Binnar agar tetap menjaga kesehatan, namun tak jarang pula dihiraukan.

Langkah Baim terhenti di ujung anak tangga kediaman Pramana kala dia mulai mencium aroma lezat dari arah dapur. Dengan segera Baim pun berlari untuk memastikan siapa yang ada di sana, "Abin???" tanya Baim tak percaya setelah mendapati sosok yang selalu menjadi penguasa dapur tersebut tengah menyiapkan sarapan untuk semua orang. Mendengar suara Baim memanggilnya, Binnar menoleh dan melemparkan senyuman dari wajah tampan pemuda tersebut. "Dedek pinter ya sekarang udah bisa bangun sendiri—" belum sempat Binnar menyelesaikan kalimatnya, dia sudah terdiam kala menerima pelukan dari belakang secara tiba-tiba. Pipi kanan Baim kini dia sandarkan pada punggung Binnar begitu manja, "Aim kangen masakan Abin..." rajuk Baim. Tentu saja membuat Binnar tersenyum senang. "Sok bantuin Abin atuh beresin meja makan, nanti Abin pisahin buat Dedek mah Abin kasih banyak," ucap Binnar. Baim sangat senang mendengarnya hingga dia tak mampu menyembunyikan itu. Karena terlampau senang pula dia pun segera memberikan kecupan di pipi kiri sang kakak sebelum bergegas menuruti perintah Binnar.

Akibat aroma lezat yang menyeruak di penjuru rumah, dua penghuni kediaman Pramana lainnya pun terbangun dan beranjak keluar kamar masing-masing. Karena Barra berada di lantai utama, dia lah yang mendapati Binnar terlebih dahulu, "loh Abin tumben udah bangun? Biasanya udah subuh tidur lagi, tadi malem gak begadang emangnya?" Tutur Barra seraya menghampiri Binnar juga mengusap belakang kepala sang adik. Yang ditanya hanya menggeleng, "justru Abin belum tidur hehe." Respon Binnar jelas membuat Barra melotot tak percaya, dia pun segera mengambil alih pekerjaan Binnar tersebut, "udah udah sana ah! Biar Aa aja yang lanjutin masaknya. Kamu mending tidur! Aa gak suka ya Abin kaya gini!—" tapi bukannya menurut, Binnar justru tetap berpegangan pada panci juga spatula-nya, "—Abin gak apa-apa Aa.. nanti udah makan juga Abin bakal tidur ko, isi perut dulu iniii laperrrr."

Melihat Binnar yang kembali asik melanjutkan proses memasaknya, Barra tak bisa lagi menginterupsi. Tapi dia tetap ada di sana, menemani juga memperhatikan adiknya tersebut. "Asik euy makan enak lagiii," sautan Billal terdengar. Dia berjalan mendekati Binnar seraya menghirup aroma lezat dalam-dalam, "akhirnya perbaikan gizi—aduh!"

Tak terima oleh kalimat yang dilontarkan Billal, Barra pun sudah berdiri tepat di belakang sang adik untuk memberinya pukulan menggunakan sendok. "Emangnya masakan Aa gak ada gizinya? Hah?" protes Barra kesal, tapi Billal tau jika itu hanya candaan. Sembari mengusap bekas pukulan Barra, Billal menjawab dengan sedikit meledek, "ada sih gizi tapi ai telor lagi telor lagi mah matak (jadi) bisul—adaw! Iya ampun ampun!" Ocehan Billal segera dihentikan oleh Barra dengan serangan sendok bertubi-tubi yang membuat Billal kini sudah berlari meninggalkan dapur Pramana menuju meja makan.

Bulir Padi [haechan, johnny, yuta, taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang