04. Red Haired Woman.

122 10 2
                                    

Sesuatu menyentuh tangan Alaric saat ia mencoba untuk menemukan pohon, bebatuan, atau apapun di sekitar. Sesuatu yang menyentuhnya tidak terasa seperti apa yang dicari olehnya. Lembut, ada lima ruas. Bisa dipastikan jika itu sentuhan dari tangan manusia. Alaric tersentak dan menarik mundur tangannya. Namun, tangan lain itu justru menggenggamnya dengan erat.

"Siapa itu?" Alaric berseru lebih nyaring daripada sebelumnya. Ia heran, siapakah orang yang berani menganggunya di tengah-tengah kabut tebal seperti ini.

"Mengapa kau lari dariku, Pangeran?" Pertanyaan itu lagi. Alaric tidak mengerti dengan maksud pertanyaan yang terus disuarakan wanita misterius secara berulang.

Ketika Alaric menggunakan tangannya yang tergenggam oleh si wanita dan menarik ke depan, tetap saja, tidak ada siapapun yang muncul. Pegangan tangannya juga terlepas begitu saja. Kabut tebal pun masih terus mengelilingi Alaric hingga ia benar-benar tak bisa melihat sekitarnya. Alaric mendesah lelah. Entah ini pekerjaan jahil dari si wanita itu atau memang kehadiran wanita jahit itu bertepatan dengan situasi seperti ini. Alaric tidak tahu. Ia lelah.

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Nona. Kabut tebal ini menghalangi pandangku sehingga tak bisa melihatmu. Jikalau memang Nona mengenalku, sudilah kiranya Nona menunjukkan diri." Alaric berujar dengan begitu sopan.

Bersamaan dengan itu, kabut tebal secara perlahan-lahan menghilang. Tepat di hadapan Alaric hanya berjarak sekitar dua puluhan hasta, berdiri siluet seorang wanita dengan gaun ungu yang mencolok. Rambut wanita itu berwarna merah bergelombang, hidung mancung dan mata bulat dengan iris berwarna kebiruan. Kulit putih wanita itu juga menambah kesan cantik dan dewasa yang melekat padanya. Kecantikan yang dilihat oleh Alaric cukup unik, bukan tipe cantik yang biasa ditemukan di kerajaannya. Apalagi rambut berwarna merah menyala, terkadang tampak seperti berapi ketika terkena sinar matahari setelah kabut menghilang dengan sempurna.

"Mengapa kau lari dariku, Pangeran?" Wanita itu bertanya lagi dengan wajah yang sedih. Ia juga melanjutkan, "Padahal aku telah menyelamatkan hidupmu."

"Apa maksud, Nona? Saya tidak mengerti." Alaric kembali bertanya kebingungan.

"Bukankah aku sudah meletakkan sepucuk surat di atas meja?" Wanita itu bertanya.

Teringat akan sesuatu, Alaric tersentak. Otaknya kembali menayangkan kejadian beberapa puluh hari lalu ketika ia terbangun di sebuah kamar asing dengan nuansa kuno dari bahan-bahan kayu dan menemukan sebuah surat yang ditujukan padanya di atas meja. Surat yang berisi bahwa seseorang sedang pergi mencari ramuan penyembuh dan memintanya untuk tetap berada di sana. Namun, Alaric tidak mengikuti apa yang tertera dalam surat karena hadirnya sebuah kelinci. Pertemuannya dengan Allea pun sampai membuat ia lupa terhadap orang yang menyelamatkannya.

Alaric lantas membungkuk, wajah teduhnya dengan tulus menyesal atas apa yang dilakukan. Lantas, Alaric mengubah gaya bicaranya menjadi lebih sopan. "Terima kasih banyak sudah menyelamatkan saya, Nona. Dan sungguh, saya meminta maaf atas perbuatan tak baik saja dengan meninggalkan rumah Nona tanpa sepengetahuan."

Wanita itu tersenyum dan ikut sopan dalam menjawab, "Tidak perlu membungkuk begitu, Pangeran. Saya sudah senang jika Pangeran datang kembali kepada saya."

"Tidak, Nona. Saya tidak bermaksud datang kembali tetapi saya sedang dalam perjalanan untuk menemukan pengikut saya." Ucapan Alaric tampaknya membuat si lawan bicara marah.

Wanita yang berdiri tak jauh di hadapannya pun memicingkan mata, keningnya berkerut dalam, dan rahangnya mengeras. Dengan jelas ia memberikan tatapan tidak suka. Alaric yang melihat itu menjadi gelagapan, menyadari dirinya salah bicara dan kebingungan karena tidak bisa memberikan tutur yang lebih baik.

"Begitukah caramu berterima kasih?" Wanita itu bertanya, nada suaranya meninggi dan memberi penekanan.

Alaric menelan ludah susah payah. Ia merutuk ketidakmampuannya dalam menghadapi wanita. "Lantas apa yang Nona harapkan dari saya sebagai bentuk terima kasih dan permintaan maaf?"

"Sungguh?" Wanita berambut merah itu bertanya dengan senyuman mengembang lebar, terlibat antusias. Oleh karena itu, Alaric mengangguk. Ia tidak ingin membuat suasana hati wanita itu kembali tidak baik. Selanjutnya, si wanita pun kembali berbicara, "Kalau begitu, mari ke rumah saya lagi dan kita minum teh bersama."

Ingin rasanya Alaric menolak permintaan itu karena ia juga sedang buru-buru menuju ke lokasi tempatnya berpisah dengan para pengikutnya dulu. Namun, janji tetaplah janji. Ia sudah menawarkan diri agar wanita itu menyebutkan keinginan atas terima kasih dan permintaan maafnya. Sehingga, Alaric hanya bisa menghela napas pasrah dan membiarkan dirinya ikut bersama wanita itu. Untuk sementara, ia akan mengabaikan misinya dalam beberapa waktu. Lagipula, minum teh tidak akan sampai hitungan hari, bukan?

"Omong-omong, saya harus mencari kuda saya terlebih dahulu." Alaric berucap ia dan wanita itu baru beberapa melangkah bersama.

"Untuk itu tidak perlu khawatir, Pangeran. Kuda milik Pangeran sudah ada di rumah saya." Wanita itu menjawab.

Alaric tidak mungkin percaya dengan mudah. Jelas ia ingat tadi bersama sang kuda dan menikmati makanan dengan bersandar di pohon hutan sebelum kabut tebal itu datang. Ia juga tidak mendengar adanya suara kuda atau gerakan yang dibuat kuda tersebut. Ia sangat yakin kalau kudanya tidak berpindah ke manapun.

"Percayalah pada saya, Pangeran." Wanita itu kembali berkata.

"Bagaimana saya bisa mudah percaya pada orang yang baru ditemui?"

"Saya Verona, orang yang telah menyelamatkan hidup Pangeran. Saya rasa itu sudah cukup dijadikan sebagai alasan." Wanita bernama Verona itu menjawab.

Sesungguhnya Alaric ragu pada Verona. Namun, ia tidak mau memperdebatkan hal itu terlalu jauh sehingga ia menyerah dan benar-benar pergi bersama dengan Verona. Keduanya berjalan kaki melewati lorong di tengah-tengah hutan rimbang. Hanya berselang beberapa menit saja hingga keduanya tiba di kediaman Verona.

Alaric terkejut. Perasaannya mengatakan bahwa ia menempuh perjalanan berjam-jam dari Kerajaan Mandevilla untuk bisa sampai di titik sebelumnya. Namun, ini hanya ditempuh dalam hitungan menit berjalan kaki untuk bisa tiba di kediaman Verona. Jika diingat kembali tempat pertemuannya dengan Allea yang pertama kali, waktu tempuhnya ke Pusat Istana Mandevilla juga cukup lama, lebih lama dari perjalanannya tadi. Namun, hitungan menit yang dilalui bersama Verona cukup memusingkan.

"Lihat, kuda Pangeran ada di sebelah sana." Verona berkata seraya menunjuk pada seekor kuda putih yang sedang memakan rumput di samping rumah pohon.

"B-Bagaimana mungkin?" Pertanyaan Alaric tidak mendapatkan jawaban apapun.

"Ayo masuk ke kediaman saya, Pangeran. Saya ingin mendengar banyak hal tentang Pangeran." Verona mengajak masuk ke dalam rumahnya. Ia juga membukakan pintu dengan ramah dan membiarkan Alaric masuk.

Untuk ukuran rumah yang dibangun di dalam sebuah pohon besar, ruangan yang ada di dalamnya cukuplah luas untuk hanya ditempati satu orang. Ruang tamu yang lebar dengan kursi dan meja yang besar, terhubung dengan sebuah ruangan yang Alaric tebak adalah dapur. Bagian anyaman bambu yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan dapur itu hanya dari lantai hingga setinggi dada, alhasil sebagian area dapur bisa ditangkap oleh mata.

Alaric pun kemudian duduk di kursi yang disediakan. Sedangkan Verona menuju ke dapur untuk membuatkan teh seperti apa yang dijanjikan.

.
.
.

🌹🌹🌹

Bersambung~

The Prince And The Cursed PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang