¶ 8''Tuduhan henteu Dumasar
Tulang jari mengetuk pintu, beberapa kali sampai pintu itu terbuka. Menampilkan sosok wanita berumur 55 tahun yang masih sehat bugar tersenyum kepada Melody. Mengajak Melody untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah lama tidak dimasuki.
Ruangan ini ... tidak pernah berubah. Miniatur otentik yang dikoleksi pemilik panti asuhan masih tersusun rapi di rak. Kehangatan di dalam sana masih sama, membuat Melody nyaman.
"Tumben sekali Ody kesini? Ibu pikir kamu akan semakin sibuk sampai tidak bisa mampir ke panti asuhan," sahut ibu itu sembari duduk. Menyuruh untuk Melody duduk di dekatnya.
Memang sudah lama sekali Melody tidak kemari. Bukan karena apa-apa, tapi Melody sedikit ragu untuk datang. Biasanya yang lebih sering kemari itu Arkhan, Melody hanya menitip kabar saja kepadanya.
Tapi sekarang Melody sudah menepis keraguan itu. Keberaniannya untuk datang ke panti asuhan sendirian adalah sebuah apresiasi tersendiri. Ini juga berkat dukungan Arkhan yang selalu membujuknya.
Senyuman tipis merespons pertanyaan ibu itu. "Aku gak sesibuk itu, Bu," jawab Melody seadanya. "Sebenarnya aku ada tujuan lain kesini, untuk tanyain Ibu sesuatu. Tapi aku harap, Ibu bisa jawab jujur ya."
Ya, jadi ini bukan keinginan Melody untuk datang kemari. Sesuai diskusinya tiga hari lalu, Melody akan ke panti asuhan untuk menanyakan kebenaran Ara sejak kejadian beberapa tahun lalu. Sedangkan dua teman lainnya akan ke apotik, menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan Ara.
Bu Nindhy – ibu panti – bisa melihat jelas raut wajah Melody. "Sepertinya kamu ingin berbicara serius. Ada apa, Ody?" tanyanya meraih telapak tangan Melody, mengelus lembut.
"Kejadian 14 tahun yang lalu. Aku yakin Ibu masih bisa ingat itu." Pandangan Melody terus tertuju ke sepatu, menghindari pandangan Bu Nindhy. "Aku sempat lihat Ara keluar dari ruangan Ibu sebelum dia ke lapangan untuk mengamuk. Emangnya apa yang Ibu bicarakan?" tanyanya.
Bu Nindhy tersenyum tipis. Tangannya terulur, meraih dagu Melody agar anak itu tidak menunduk terus. "Kamu mau bicara dengan Ibu atau ke sepatumu?" tanyanya. "Tatap seseorang jika kamu ingin bertanya," pintanya.
Sungguh, Bu Nindhy tidak tahu kenapa Melody bisa setakut ini dengannya setelah kejadian yang menimpa Ara.
Baiklah, Melody berani. Tidak ada orang seberani dirinya, ia yakin itu. Akhirnya Melody menatap Bu Nindhy. Wanita yang wajahnya penuh dengan kerutan itu masih terlihat ramah, tapi keramahan itu yang membuat kepercayaan dirinya menurun.
"Bagus," puji Bu Nindhy. "Sesuai dengan spekulasi anak-anak, Ara membantah keras peraturan panti asuhan yang sejak dulu sudah ada," beritahunya. "Ibu tidak membandingkannya dengan anak lain, tetapi Ibu lihat, Ara tidak akan pernah berubah. Bukan pemalas, hanya saja tidak ingin berkembang. Selalu berada di zona nyamannya. Makanya Ibu tidak merasa kasihan dengannya sedikit pun ketika dia keluar dari panti asuhan ini."
"Ibu yakin?" Hatinya yang tidak yakin. "Aku rasa bukan itu jawabannya," sangkal Melody. "Ibu tahu sendiri kalo Ara udah hilang tiga tahun. Kejadian itu ... pasti ada hubungannya, Bu. Makanya aku mau Ibu jawab jujur," desaknya.
"Kamu masih berusaha mencari Ara?" Pertanyaan itu membuat Melody terkesiap. "Polisi sudah jelaskan keputusan akhirnya kalau Ara melarikan diri. Kenapa kamu masih menyangkalnya, Ody? Masih merasa bersalah?"
Tidak. Bukan itu jawaban yang ingin Melody dengar.
"Jangan jadikan rasa bersalahmu itu kalut sampai sekarang, Ody. Bukan kamu yang membuat Ara pergi, pasti itu semua sudah menjadi rencananya. Ibu–"
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemerald ✔
Mystery / ThrillerBukan menjadi prioritas untuk dicari, Clauresta sudah menyerah mencari sahabat kecilnya yang menghilang tanpa kabar. Sampai pada hari itu, titik menyerahnya membawa dirinya tidak sengaja bertemu dengan sahabatnya itu. Athesya. *** Melody yang merupa...