¶ 16''Pitunjuk demi Pitunjuk
Berulang kali Techa mengambil nafas dalam, mencoba mengontrol emosinya sembari menutup matanya. "Gak usah ajak aku ngomong," larangnya ke orang yang ada di sebelahnya.
"Daritadi aku diam, sama sekali gak ajak kamu ngomong."
"Itu ngomong."
Baiklah, lelaki yang ada di sebelahnya saat ini hanya bisa terdiam. Fokus mengikuti mobil di depannya, entah kemana ia akan membawa mereka.
"Kok diem?"
"Cha, lama-lama aku marah lho sama kamu. Ngomong salah, diam salah," protes Alaska. "Semuanya salah aku, itu yang kamu mau 'kan?" marahnya.
Techa berdecak, mulai membuka matanya tetapi tidak menoleh. "Lagian kamu ngapain pake ngikut sih? Bisa tolak permintaan Tata. Kamu di pihak Venya, bukan kita," hardiknya yang masih tidak terima Alaska ikut. Mana ia tahu jika Alaska ikut dan dirinya yang ditempatkan di dalam mobilnya.
"Aku gak di pihak manapun, cuma jalanin perintah Kav aja." Alaska yakin Techa sudah tahu.
"Sama aja. Nanti giliran kita temuin Ara, kamu lapor ke Venya. Nangkap Ara tanpa sepengetahuan kita." Techa menoleh, menatapnya penuh rasa tidak suka. "Aku udah tau isi kepalamu, jangan pernah macam-macam!" kecamnya berdecih.
Jarinya mengetuk setir kemudi, masih menatap jalanan. "Segitu bencinya kah kamu sama aku walaupun Resta udah kasih tau semuanya?" Padahal sudah biasa ia mendapat cacian maki seperti ini dari Clauresta, tapi sangat sakit jika mendengarnya dari orang yang sama sekali bukan korban.
Techa membuang wajahnya, menatap jendela di sampingnya. "Aku udah nemenin Kavian dari dia lahir dan udah kuanggap sebagai adikku sendiri, mana bisa aku marah sama dia. Tindakannya salah, tapi kamu lebih salah," ujarnya. "Kamu mengiyakan semuanya tanpa memikirkan kedepannya." Ia menghela nafas. "Prinsip hidupku tetap sama. Ada yang buat aku gak nyaman, akan kujauhi sampai aku mati. Yaitu kamu." Memalingkan wajahnya ke Alaska. "Mau seberapa jauh kamu minta maaf atau kembali dekat sama aku, itu semua bakal sia-sia. Jadi jangan buang energi kamu untuk bujuk aku, gak bakal mempan," tuturnya dalam.
"Gimana kalo suatu hari nanti, kamu bisa nerima aku?"
"Itu artinya aku langgar prinsip hidupku sendiri. Aku bakal marah sama diri sendiri, kenapa bisa terjadi hal kayak gitu?" Tertawa pelan, membayangkan apa yang terjadi. "Bahkan aku gak sanggup bayanginnya," sarkasnya.
"Cha, boleh aku kasih pendapat?" izin Alaska.
"Engga," tolaknya. Terdiam beberapa saat, akhirnya ia menjawab. "Yaudah apa?" Ini tidak berarti apa-apa, Techa masih berpegang teguh dengan pendiriannya.
"Kamu gak cape?"
"Huh?"
"Kamu gak cape benci sama orang?" teruskan Alaska. "Aku lebih baik buang energi untuk minta maaf sama orang dibandingkan benci sama orang." Kemudinya diputar ke kiri, mengambil jalan berbeda dari mobil di depannya. "Kadang yang buat hidup itu berat karena kamu terlalu banyak membenci orang. Aku gak tau udah berapa banyak orang yang kamu benci, tapi perlahan bisa kamu maafin. Aku gak bilang kamu harus kembali dekat, tapi sebisa mungkin kamu maafin mereka supaya hidup kamu tenang," ucapnya tenang.
"Maksud kamu hidup aku gak tenang?"
"Pandanganku begitu," ujar Alaska.
"Sok tau."
"Namanya juga pendapat."
"Itu juga akal-akalan kamu biar aku maafin kamu. Tau aku," terkanya. Mungkin Clauresta bisa memaafkannya, tapi ia tidak. Bukan, tidak akan pernah lebih tepatnya. "Harusnya kamu tolak permintaan Tata untuk tumpangin aku. Maunya sama Tata," rengeknya, telunjuknya mengusap jendela dengan tatapan sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemerald ✔
Mystère / ThrillerBukan menjadi prioritas untuk dicari, Clauresta sudah menyerah mencari sahabat kecilnya yang menghilang tanpa kabar. Sampai pada hari itu, titik menyerahnya membawa dirinya tidak sengaja bertemu dengan sahabatnya itu. Athesya. *** Melody yang merupa...