¶ 22''Tetela Aya di Caket Na
Suara gebrakan pintu saling bersahutan ketika Clauresta membuka satu per satu pintu rumahnya. Mencari keberadaan adiknya yang tidak bisa ditelepon sama sekali. Wajahnya padam, kali ini ia benar-benar akan memarahi Kavian jika sudah ketemu.
"Rere, pintu rumah Papa bisa rusak kalau kamu gebrak begitu," sahut laki-laki paruh baya yang sedang memangku anak kecil. Dengan buku yang dikasihnya, Gyana tidak akan memedulikan keadaan mamanya sekarang.
Clauresta terlihat gusar. "Kavian mana, Pah? Papa jangan sembunyiin dia dari aku," desaknya mengacak-ngacak rambutnya. Pasti ada campur tangan dari papanya.
"Mana ada Papa menyembunyikannya. Lagi pula tumben sekali kamu mencarinya disini, biasanya juga ada di kantor 'kan?" pastikan Mahesa – papanya.
"Gak.ada," ucapnya penuh penekanan.
Justru karena Kavian tidak ada di kantornya, ia datang ke rumah. Memang kemana lagi Kavian akan pergi selain rumah? Kavian bukan tipe orang yang punya tempat singgah.
Clauresta menghempaskan tubuhnya di atas sofa, tepat di samping seseorang. "Yang terakhir kali ngomong sama Kavian itu kamu," tunjuknya ke suaminya. "Kamu juga belum cerita apapun setelah ketemu sama dia. Aku yakin dia bakal buka suara kalo kamu yang ngomong," desaknya dengan tatapan mata sinis.
"Bisa tenang gak? Aku gak bisa cerita kalo kamu begitu." Gara menyerahkan gelas berisikan jus wortel yang dibikinnya barusan. "Minum dulu. Tenaga kamu bisa abis marah-marah mulu," ingatinya.
Clauresta menggeleng, mana sempat ia untuk minum dulu. Tangannya mencengkeram lengan Gara dengan wajah memelas. "Gar, tinggal cerita. Kamu sembunyiin pun, aku udah tau. Dia ikut–"
Ucapannya terpotong ketika Gara membekap mulutnya. Matanya seolah memberitahu bahwa Mahesa masih memperhatikan pembicaraan mereka berdua.
"Kalian kenapa?" tanya Mahesa bingung.
"Ada yang mau kita bicarain berdua, Pah." Wanita itu bangkit dari duduknya, menarik lengan suaminya. "Ntar aku balik lagi," pamitnya sebelum mengajak Gara keluar rumah.
Hampir saja ia kelepasan membahas itu di depan papanya. Mahesa begitu sensitif jika membahas Ezra. Selepas kepergian Ezra, disusul oleh mamanya yang depresi karena kepergian anak pertamanya. Mahesa yang paling terpukul karena ditinggal oleh dua orang keluarganya.
Setelah mencari tempat yang sepi, Clauresta melepaskan lengannya. "Kamu udah tau kalo Kavian sama pembunuh kakakku saling berhubungan, kenapa gak bilang?" Telapak tangannya ditunjukkan, mencegah Gara berbicara. "Jangan pernah bilang 'Kavian yang nyuruh aku untuk gak cerita'. Kalo itu alasannya, aku beneran bisa marah sama kamu," ucapnya tidak main-main.
"Oke itu alasan klasik." Gara akui itu. "Aku punya alasan khusus dan aku gak mau kamu kayak dulu lagi," ujarnya jujur.
"Kayak dulu lagi gimana sih? Sekarang kamu tau sendiri kalo nyatanya aku gak pernah bunuh orang. Dia masih hidup sampai sekarang. Sebagai orang yang aku incar selama ini," tekankan Clauresta. "Kamu gak ada inisiatif untuk larang Kav hubungan lagi sama dia? Adik aku bisa celaka–"
"Sejak Kavian SMA, dia udah tau kalo orang yang bunuh kakak kamu itu masih hidup. Celaka? Buktinya dia masih baik-baik aja 'kan? Itu karena dia mangut aja disuruh-suruh sama orang itu. Dia ngelakuin ini demi siapa?" Jari telunjuk Gara mengarah ke istrinya. "Demi kamu. Dia gak mau kakak satu-satunya jadi korban juga, makanya dia bisa bertindak sejauh ini," jujurnya.
Clauresta menghela nafas gusar. "Dia berusaha lindungin aku, tapi siapa yang berusaha lindungin dia?" tanyanya balik. "Dia gak pernah punya siapa-siapa selain kita. Kamu udah tahu, seharusnya kamu tolongin dia," erangnya getar sembari menggebuk dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemerald ✔
Mistério / SuspenseBukan menjadi prioritas untuk dicari, Clauresta sudah menyerah mencari sahabat kecilnya yang menghilang tanpa kabar. Sampai pada hari itu, titik menyerahnya membawa dirinya tidak sengaja bertemu dengan sahabatnya itu. Athesya. *** Melody yang merupa...