Rencana Demit
Perasaan dirinya adalah jaksa, kenapa harus mengendap-endap mengawasi sekitar supaya tidak ketahuan oleh orang?
"Permintaan Ody abis bangun dari koma aneh-aneh aja," gerutunya yang masih mengawasi. Sesekali mengawasi Techa yang masih sibuk berurusan dengan pintu rumah. "Udah belum, Cha? Kita bisa ketauan kalo kamu gak cepet," desaknya.
"Dikit lagi. Aku gak punya bakat maling." Jepitan rambut yang sengaja ia bawa untuk membuka pintu itu terus dimasukkan ke lubang kunci. Terdengar suara ceklek. "Kebuka," gumamnya. Tangannya menutup mulutnya, menatap lubang itu serius. "Wah. Kupikir adegan di film untuk buka pintu pake jepit rambut cuma boongan, ternyata beneran kebuka," ucapnya terkejut.
"Kelamaan." Clauresta langsung menyerobot masuk, menarik tangan Techa supaya ikut masuk bersamanya. Menutup pintunya kembali, berharap tidak ada yang melihat mereka. "Telepon Ody sekarang," suruhnya.
Techa segera menuruti permintaannya, sedangkan Clauresta mencari saklar lampu untuk menerangi penglihatannya.
"Udah ketemu?"
"Nyala." Pencahayaan mulai menyambut mereka. Tadi sangat gelap karena sudah malam. "Udah. Kata orang, ini rumah peninggalan ayah kandungnya Gendhis," jawab Clauresta.
"Pantas aja Kak Dis taruh flashdisk itu disana. Berarti Ara sama sekali gak tau tempat itu." Mereka bernafas lega sedikit, setidaknya mereka punya banyak waktu di dalam sana. "Cari pintu ruangan yang banyak ukiran. Berkasnya ada di dalam flashdisk semua."
Mereka segera mencarinya. Terlalu banyak ruangan di dalam rumahnya, maklum mereka memasuki rumah peninggalan jaman dahulu yang besarnya bukan main.
"Ta, disini."
Techa menatap pintu yang diarahkan oleh Melody. Banyak ukiran kuno yang terhias di pintu tersebut. Berbeda dengan pintu lainnya yang tidak memiliki ukiran.
Saat membuka pintunya, mereka dibuat takjub dengan isinya. Seluruh isi dalamnya otentik dengan kayu yang diukir. "Aku penasaran, perusahaan Pramana bukan perusahaan hasil curian dari keluarganya Gendhis 'kan?" gumam Clauresta. Melihat kemewahan di dalamnya, ia mulai meragukan Pramana.
"Bukan. Pramana emang milik Yudha Pramana, bukan hasil curian. Aku pernah dengar dia cerita kalau dia keturunan ningrat, gak heran kalo kekayaannya nurun ke anaknya."
"Bu Laksmi kayaknya ngincer suami yang bisa hidupin dia," celetuk Techa mengundang pukulan bahu dari Clauresta. "Sakit, Ta," ringisnya mengusap bahunya. "Lagian aku gak salah bilang. Suami pertamanya keturunan ningrat. Setelah suaminya meninggal, dia cari suami yang perusahaannya lagi naik daun. Wajar aku bilang gitu," belanya.
"Gendhis bilang kalo dia jadi managerku cuma karena mau lindungin aku dari Ara. Dia tau Ara seberbahaya itu. Anehnya aku gak pernah sadar."
"Kamu ada kita. Kamu gak sendirian sekarang," tenangkan Clauresta. "Ada bagusnya kamu dateng ke kita. Bisa ngincer orang yang sama," kekehnya.
"Bener juga." Dari seberang sana terdengar Melody tertawa kecil walaupun sedikit merintih. "Udah ketemu flashdisk-nya? Kak Dis gak kasih tau letak persisnya dimana karena langsung bawa aku keluar."
"Belum. Harus hati-hati, takut ada yang kesenggol terus rusak." Clauresta mengalihkan pandangannya ke ranjang. "Cha, bantuin aku angkat ini," pintanya.
Techa meninggalkan ponselnya, membiarkan telepon itu terus terhubung dengan Melody. "Yakin bakalan ada di bawah kasur?" tanyanya sedikit tidak yakin.
"Cari aja dulu."
Setelah diyakinkan, mereka berdua mengangkat ranjang itu hati-hati. Suara khas yang ditimbulkan dari dipan pun membuat mereka bergidik ngeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemerald ✔
Mystère / ThrillerBukan menjadi prioritas untuk dicari, Clauresta sudah menyerah mencari sahabat kecilnya yang menghilang tanpa kabar. Sampai pada hari itu, titik menyerahnya membawa dirinya tidak sengaja bertemu dengan sahabatnya itu. Athesya. *** Melody yang merupa...