¶ 10''Udagan Selanjutnya
"Ody, kamu yakin mobilnya masih berfungsi? Kok aku ragu."
Sejak tadi Techa terus berpegangan erat pada sabuk pengaman yang melekat pada tubuhnya, merasa takut ketika Melody menyetir. Iya, ia baru tahu jika Melody bisa menyetir. Mobilnya sering ia lihat di garasi, hanya saja tidak terlihat pernah dipakai.
Penglihatannya tentang mobil ini ... sangat antik. Bahkan Techa tidak yakin kalau mobil ini masih bisa dipakai di era sekarang. Dipikir mereka akan memakai mobil perusahaan yang biasa Melody naiki. Nyatanya tidak!
Masih menjadi sebuah pertanyaan, darimana Melody dapat mobil butut ini?
Kata Melody, Techa itu orang pertama yang menjadi penumpangnya. Raut wajah Melody terlihat senang karena ada yang mau jadi penumpangnya. Dari sana Techa mulai curiga kalau sebenarnya Melody tidak bisa menyetir. Satu tangannya sudah siap memegang pintu, jaga-jaga harus keluar jika terjadi sesuatu.
Mobil tua dipadukan supir yang belum tahu terakreditasi atau tidak, nyawa Techa berasa dipegang sama Melody.
Dengan santainya, Melody masih memegang kemudi setirnya dengan satu tangan. "Tenang aja, Cha. Aku sering kok nyetirin Koba," ucapnya menepuk atas dasbor.
Bohong! Batin Techa.
Terdengar suara ringkih darinya yang membuat Techa semakin bergidik ngeri. "Kapan terakhir kali kamu bawa ini?" Bahkan mobilnya pun dikasih nama. Bukan Melody namanya jika tidak aneh.
"Dua tahun yang lalu."
Itu bukan sering! "Aku mau telpon Tata, minta disamperin." Jujur Techa tidak siap untuk mati sekarang. Bahkan sebelum terjadi apa-apa, Techa sudah merasakan suara jantungnya terdengar berderu. "Belum nyampe sana nih mobil sebentar lagi ringsek, Dy," protesnya getar.
"Koba emang udah tua, maklum dari jamannya Bu Nindhy. Suaranya tuh khas, bukan mau ringsek." Melody bersiul, membelokkan kemudinya setelah melihat belokan.
"KHAS DARIMANA?" Perasaan Techa semakin tidak tenang ini. "Ody, berhentiin aja disini. Aku masih belum punya pacar lagi sama uang, gak mau mati muda," mohonnya. Kalau tempat itu sejauh ini, harusnya Techa tidak mengusulkannya.
"Udah kubilang tenang. Ini juga bentar lagi sampe. Umur kamu udah gak muda lagi, perlukah aku catat di keningmu kalo kamu udah umur 32 tahun?" tawarnya.
"Masih muda kalo belum sukses." Keringat dingin mulai memenuhi keningnya. "ODY!" pekiknya menutup mata setelah Melody menambah kecepatan mobilnya.
Melody tertawa, senang mengusilinya. Percayalah mobilnya belum setua itu, selalu aman diajak berkendara. Orang yang menganggap Koba tua, belum saja naik kemari dan mencobanya. Koba tuh adalah saksi kesuksesan Melody sejak dirinya lulus sekolah, jadi mau sampai kapanpun ia tidak akan membuang Koba.
Biasanya kalau Melody memakai koba, berarti itu saatnya ia ingin bersantai tanpa diketahui penggemar. Kalau memakai mobil perusahaan, pasti akan ketahuan.
Mobil itu diberhentikan. Tepat di samping rumah yang lumayan besar, maklum ada di kompleks perumahan orang kaya. Sepertinya ia terlalu meremehkan kepopularitasan Kanaya yang berkecimpungan di bidang kepenulisan.
"Cha, buka matanya. Udah sampai." Melody menggoyangkan bahunya, yakin Techa tidak pingsan ataupun tidur.
Mata Techa perlahan terbuka, mengambil nafas lega karena telah berhenti. "Kupikir aku bakal mati muda," sarkasnya mengusap dada. Baru menyadari mobil mereka berhenti di samping sebuah rumah. "Ini rumahnya?" tanyanya menunjuk rumahnya.
Melody mengiyakan. "Sebenarnya apa yang buat kamu mau ketemuan di rumahnya?" Sebenarnya tidak buruk juga kalau mencari tempat aman seperti ini, tapi yang anehnya, kenapa harus rumah Kanaya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemerald ✔
Mystery / ThrillerBukan menjadi prioritas untuk dicari, Clauresta sudah menyerah mencari sahabat kecilnya yang menghilang tanpa kabar. Sampai pada hari itu, titik menyerahnya membawa dirinya tidak sengaja bertemu dengan sahabatnya itu. Athesya. *** Melody yang merupa...