25 ; Ical Kapercayaan

97 14 0
                                    

¶ 25''Ical Kapercayaan



Tampilan layar TV berubah. Penuh dengan tabel yang memperlihatkan berbagai rangkaian angka. Suara bising mulai terdengar ketika tampilan itu ditunjukkan.

Wanita yang memakai toga bersimare hitam menghampiri saksi yang terduduk santai tanpa rasa takut. "Bisa Anda jelaskan bukti apa yang diberikan kepada pihak Jaksa?" tanyanya.

Gadis itu menumpu dagunya, menatap malas. "Laporan transaksi narkoba kantor 3 tahun 2022 dan laporan transaksi narkoba kantor 1 tahun 2000. Sekitar 12 kantor yang tersebar di negara ini. Bisa lanjut?" pintanya.

Dengan senang hati, Clauresta memindahkan tampilan lainnya.

"Ada perubahan nilai dana transaksi tahun 2015," beritahunya. "Nilai terbesar pembelian narkoba berasal dari perusahaan milik Pramana Corp. Seperti yang kita tahu bahwa kakak saya menikahi anak pertama dari Yudha Pramana dan terjadi tahun 2014. Bisa dikaitkan kembali–"

"Keberatan." Selaan pengacara membuat Moonae harus menghentikan ucapannya. "Ucapan saksi sama sekali tidak relevan dengan tuduhan terdakwa," bantahnya.

Clauresta mengangkat tangannya setengah. "Yang mulia, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh saksi selaku adik dari terdakwa. Akan relevan jika diizinkan," selanya.

Sempat hening beberapa saat sampai akhirnya hakim mengizinkan saksi untuk menyampaikan kesaksiannya.

"Bukti ini dapat membuktikan bahwa Pramana Corp. tidak ada campur tangan atas pembelian narkoba seperti data-data di atas." Jaksa itu menunjukkan bukti lainnya. "Dari rekaman CCTV, terlihat jelas bahwa pembelian narkoba itu diterima oleh anak pertama Yudha Pramana, Araella Cassandra. Araella memakai nama perusahaan supaya tidak ketahuan telah memakai narkoba. Semoga permintaan saya dikabulkan."

Clauresta tersenyum simpul mendengar permintaannya. Karena sulit untuk memasukkan nama Ara ke dalam perkaranya, ia berinisiatif meminta Moonae untuk menjelaskannya kepada hakim. Baginya, saksi dari pihak keluarga sangat sulit ditolak permintaannya. Itu bisa dikatakan sikap prihatin dari hakim.

Terdengar helaan nafas dari mikrofon. "Istirahat 30 menit," ucap Hakim yang mulai meninggalkan ruang sidang.

Penonton dari berbagai profesi mulai meninggalkan ruang sidang. Biasanya dimanfaatkan untuk makan atau saling bertukar informasi untuk menulis berita yang menarik dibaca.

"Gak usah senyum-senyum. Gue lakuin ini cuma buat Kak Dirga."

Clauresta melengos, sepertinya ia terlalu menaruh harapan tinggi kepadanya. "Yaudah." Ia mengalah. Melirik Gema sejenak, lalu beralih ke Moonae kembali. Tidak ada miripnya. "Kalian punya perjanjian apa sampai saling bantu gitu?" tanyanya penasaran. Berlari kecil untuk mengikuti langkah Moonae keluar ruang sidang.

"Bisnis." Moonae mengedik. "Walaupun gue masih SMA, jangan remehin kemampuan gue buat berbisnis." Membuat jaksa itu berdecih kecil, ia justru merasa puas. "Kak Dirga gak mau perusahaannya keseret cuma karena si Ara itu, yaudah gue bantu. Sebagai gantinya, dia bakal bantu gue buat balik nama perusahaan milik kakak gue. Impas," ucapnya santai.

"Menyeramkan." Padahal dahulu saat ia SMA, hanya sekedar bermain-main di warung dengan gosokan berhadiah. Hitung-hitung balik modal kalau dapat aksesoris. Jamannya sudah berbeda dari sekarang. "Kapan kamu kenal sama Kavian?" Rasanya ia perlu menanyakan hal ini.

Karena mendapat meja kosong, Moonae duduk di salah satu kursi dengan meja melingkar. "Di gereja, satu komunitas," jawabnya. Ia mengambil air putih gelasan yang terletak di tengah meja, lalu meminumnya.

Clauresta tersedak ludahnya sendiri sampai terbatuk.

"Kenapa sih?" Moonae menatapnya heran. "Meskipun kelakuan gue yang sering ke klub, itu bukan berarti gue gak ibadah. Gue kesana juga buat ketemu Kak Dirga doang," jelasnya.

Efemerald ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang