14 ; Langkung Enggal

81 10 0
                                    

¶ 14''Langkung Enggal

Menyadari satu keanehan dari mobilnya, Raven mengangkat kotak dari dalam dasbor mobil. Kotak biasa berwarna krem itu dibuka, memperlihatkan banyak plester luka yang masih tersegel rapi di dalamnya. Tersedia berbagai ukuran.

"Kamu ngapain punya banyak plester? Sering luka?" Perasaan pekerjaan Rengga tidak akan pernah jauh-jauh jadi youtuber, bukan menjadi tukang.

Rengga mendorong kotak itu, menyuruhnya memasukkan kembali. "Itu manfaatnya banyak, Mas, gak buat luka doang. Biasanya aku pakai buat tambal ban biar gak tambah bocor waktu aku bawa ke bengkel," ucapnya.

"Orang bodoh mana sih, Ngga, yang nambal ban pake plester ginian?" Jangan dipikir Raven tidak punya kendaraan. "Jawab jujur aja, Mas gak bakal bilang ke Tante Ajeng," desaknya.

"Emang gitu kenyataannya." Rengga memperhatikan jalanan. "Aku keseringan gak pake kacamata, makanya suka gak liat kalo ada paku di jalan," kilahnya.

"Kacamata itu dipake, Rengga."

"Gak nyaman," kekehnya.

Dan Raven yakin itu bukan alasan yang sebenarnya. Raven mulai akrab dengan Rengga sejak mereka masih kecil. Dahulu Rengga sering merengek ke Tante Ajeng untuk minta dibelikan kacamata karena penglihatannya sudah mulai tidak jelas.

Saat dibelikan, Rengga pamerkan itu ke teman-temannya layaknya anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Memang sesayang itu Rengga dengan kacamatanya.

Tidak mungkin secara tiba-tiba ia merasa tidak nyaman dengan kacamatanya. Belum lagi Rengga sering berkendara sendiri, itu akan membahayakan pengendara lain dan dirinya sendiri.

Dan Raven tidak bisa menemukan kacamata itu di dalam mobil.

.

.

.

Masih dalam penampilan kucel, Melody mencoba menyimak perkataan Raven seksama. Mengerti kenapa Raven bisa bertindak seperti itu.

"Saya pernah geledah kamar Ara." Melody membuka suara. "Tapi saya gak nemu kacamata yang Mas Raven bilang tadi. Kalo plester luka, emang saya temuin disana," jawabnya jujur.

Lagi pula tidak ada gunanya untuk berbohong, mungkin sebentar lagi pihak kepolisian akan memberitahu Raven.

"Kacamata itu kesayangannya Rengga. Gak mungkin Rengga taruh sembarangan, apalagi sampai bilang gak nyaman," sambung Raven lirih. "Semenjak mereka berpacaran, Rengga mulai batasi pertemanannya. Bahkan saya sendiri udah mulai jarang ketemu sama dia. Dan kamu tau siapa yang paling sering bareng dia?"

"Ara." Ya walaupun mereka dibilang jarang bertemu langsung, tapi sering kali Melody memergoki Ara melakukan panggilan video dengan Rengga. "Itu kenapa Mas Raven nuduh Ara?" tanyanya lagi.

"Bukan nuduh, Eve," sanggah Raven. Sudah berapa kali ia katakan ini kepadanya. "Polisi punya pemikirannya sendiri untuk menangkap pelaku dan semuanya mengarah ke Ara. Empat tahun yang lalu bukti mereka kurang untuk tangkap Ara untuk dijadikan pelaku. Sekarang semuanya beda, ditambah lagi dia hilang sampai belum ditemukan." Tangannya terulur, menepuk bahu Melody pelan. "Saya tau Ara itu teman kamu, tapi jangan pernah kamu bias ke Ara karena hanya itu," ingatinya.

Jujur, Melody sudah tidak tahu lagi ingin menanggapinya seperti apa. Sebenarnya apa yang Ara sembunyikan darinya?



***



"Haha ...." Tawa hambar dilontarkan Techa. Sedang merenungi kebodohannya. "Mana semua plesternya aku pegang semua lagi," gumamnya menjedotkan keningnya ke tembok rumah.

Efemerald ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang