19 ; Sanes Anjeunna

80 9 0
                                    

¶ 19''Sanes Anjeunna

"Ay, aku masih inget janji kamu waktu itu. Aku kabarin lima menit sekali." Arkhan menirukan gaya bicaranya yang sok memberi janji. "Emang kamu kabarin, tapi setelahnya engga. Aku aman. Justru kamu malah menantang maut, aman darimana?" omelnya menggerutu. "Mau sampai kapan kamu tidurnya? Aku kangen," lirihnya. Tangannya yang masih menggenggam tangan Melody bersuhu dingin itu menjadi penopang kepalanya.

Ada rutinitas yang dilakukannya setiap hari, berusaha membuat Melody bisa sadar. Entah itu bercerita saat mereka masih kecil, masa mereka beranjak dewasa, masa dimana mereka berdua memutuskan untuk berpacaran, dan masih banyak lagi. Terlalu banyak kenangan yang sampai hari ini belum selesai ia ceritakan.

Kalo kamu kenapa-kenapa, aku harus salahin siapa?

Aku. Karena aku gak hati-hati.

Tidak, Arkhan sama sekali tidak bisa menyalahkan Melody perihal itu. Walaupun akar permasalahan ini berasal dari Gendhis, tapi Arkhan juga tidak bisa mengambil kesimpulan secepat itu. Karena baginya, semuanya sangat ... janggal.

Ya, Arkhan berbohong ke Techa kalau dirinya akan marah ke Gendhis kalau anak itu sudah sadar dari komanya.

Mendengar kesaksian Clauresta di tempat kejadian, ia jadi tidak yakin kalau Gendhis yang berulah. Pertama, kalau niat Gendhis melukai Ara, kenapa ia minta Clauresta untuk membawanya keluar? Kedua, kenapa Melody rela saja ditinggalkan bersama Gendhis yang jelas-jelas Melody sudah tahu Gendhis itu bahaya? Ketiga, Arkhan sama sekali tidak menemukan jejak sayatan di leher Melody seperti dalam cerita Clauresta. Apa itu cuma menakutinya saja? Dan keempat, mereka baru ditemukan setelah ledakan berada di luar gedung dengan tangan Gendhis yang menopang kepala Melody agar tidak bersentuhan langsung ke tanah, sengaja kah?

Itu yang membuatnya ragu sekarang dan hanya Melody yang tahu.

Tapi dibanding itu semua, Arkhan lebih bingung bagaimana cara memberitahu Melody tentang kegugurannya itu. Memang keinginan Melody untuk menunda punya anak, tapi siapa tahu pemikirannya itu berubah seketika saat tahu dirinya hamil?

Baiklah, Arkhan mulai frustasi. Lebih baik ia menghabiskan waktu di dapur daripada harus berpikir itu semua. Tanpa sadar ia memberantaki rambutnya sendiri.

Terlihat dari luar jendela yang terpasang di pintu, Techa bisa melihat Arkhan dengan penuh keputusasaan itu. Kasihan sekali sampai frustasi begitu. Mau menenangkannya, tapi Techa juga pasti tidak akan kuat berada di dalam sana lama-lama.

Ini saja keempat kalinya Techa berkunjung kemari setelah dua minggu Melody koma. Dipikirnya akan ada perubahan, tapi ternyata sama saja seperti terakhir kali ia berkunjung.

Melihat posisi Arkhan, Techa seperti sedang bercermin karena pernah berada di posisinya. Menunggu sosok yang masih belum tahu akan bangun atau tidak. Nyatanya sosok yang ditunggunya itu tidak pernah bangun lagi. Ia terkekeh kecil, ingatan kecil itu masih terhias rupanya.

"Keingat mama ya?"

Iya, Techa teringat masa mamanya dulu saat mengalami kecelakaan. Tunggu dulu, suara itu ... Techa segera menoleh. Mendapati Alaska yang berdiri tegap di sebelah. Sontak Techa menyingkirkan air matanya dengan mengusap kasar, tidak mau terlihat lemah di dekatnya.

"Gak ada yang larang kamu buat sedih. Jangan diapus kasar kayak gitu." Alaska mencegahnya dengan menahan tangan Techa. "Lanjutin aja, aku gak liat," suruhnya. Tanpa disuruh pun, Alaska sudah membalikkan badan.

Tapi Techa tetap mengusapnya sampai benar-benar tidak ada air mata yang tersisa. "Kamu mau ngapain kesini?" Ini kedua kalinya ia melihat Alaska berada disini setelah mengantarkannya di hari pertama.

Efemerald ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang