Pukul dua dini hari, Arson masih terjaga sambil asyik bermain game online di ponselnya.
Berbanding terbalik dengan jarinya yang bergerak cepat diatas layar hp, pikirannya justru melayang jauh pada kejadian hari ini. Tingkah Devon sangat berbeda dari yang biasanya dia temui di tempat tawuran, membuat Arson merasa bingung, dan mengingat peristiwa di bar tadi membuat alisnya kembali berkerut.
Perhatiannya teralihkan ketika dia mendengar suara isak tangis dari orang yang kini tidur di atas kasurnya. Tidak lagi memperdulikan game yang sedang dia mainkan, dia melempar ponselnya ke samping, dan berjalan menuju ke arah kasur untuk mendekari orang yang sedang tidur diatasnya.
Devon bergumam tak jelas dalam tidurnya, bergerak gelisah kesegala arah seakan ada yang mengganggunya. Kerutan di dahinya terlihat jelas meskipun matanya masih tertutup, dan tangannya begitu erat meremas selimut yang menutupi tubuhnya.
Arson memgambil posisi tepat disamping Devon. Tangannya terulur mengusap kening Devon yang mengerut. "Dev. Devon... Hei... Bangun dulu, yuk, minum! Devon..." bisiknya lembut mencoba membangunkan Devon supaya dia tidak lagi terganggu dalam tidurnya.
Bukannya membuka mata, Devon justru mengubah posisinya dan memeluk tubuh Arson. Dia merasa bingung dan mencoba untuk melepaskan pelukan itu, namun tak bisa karena kedua lengan Devon memeluknya dengan sangat erat seolah takut kehilangan.
Arson dapat merasakan tubuh orang dalam dekapannya sedikit bergetar. Devon masih terus menangis yang beriringan dengan gumaman tak jelas, dan alisnya juga semakin menukik tajam sebagai bukti rasa tidak nyaman yang menganggu tidurnya.
Akhirnya, Arson memutuskan untuk ikut berbaring juga dan mencari posisi nyaman dengan lengan Devon yang tetap memeluknya. Arson bahkan balas memeluk tubuh Devon.
"Stt...ssttt... Gak ada apa-apa disini, jangan takut! Ada gua" bisik Arson lembut tepat pada telinga Devon. Dia terus membisikkan kata-kata penenang pada Devon, berharap cowok itu bisa tidur dengan lebih nyenyak setelahnya. Entah mengapa, dia melakukannya dengan begitu lembut sambil tangannya terus mengusap punggung dan pucuk kepala Devon secara bergantian.
Hal itu berhasil karena sesaat kemudian Devon berhenti mengigau dan ekspresi wajannya kembali tenang. Setelah melihat itu, Arson pun juga ikut memejamkan matanya.
____________
"Emm~"
"Lu bisa bangun dulu sebentar? Tangan gua kesemutan"
Merasa ada yang aneh, Devon membuka matanya dan langsung mendongak untuk melihat siapa yang berbicara tadi. Matanya terbelalak kaget saat melihat wajah Arson begitu dekat di hadapannya.
Karena merasa seperti ada yang aneh, dia memutuskan untuk mengintip ke bawah selimut. Wajahnya langsung terasa panas saat menyadari posisi mereka berdua. Seingat Devon, semalam dia masih memeluk guling, tapi entah kenapa sskarang tangannya malah melingkar erat di sekitar tubuh Arson.
Devon segera melompat turun dari kasur dengan mata melotot menatap Arson saking kagetnya. "M-maaf...gua..gua gak-"
"Gue mandi duluan," Arson Segera menuju kamar mandi. Dia membasuh wajahnya dengan air agar bisa kembali fokus. "Sial," gumamnya karena otaknya dipenuhi oleh Devon.
Setelah menyelesaikan mandinya, Arson keluar dan terkejut melihat Devon berdiri di depan pintu kamar mandi. Devon menundukkan kepalanya, sambil memilin ujung baju yang dikenakannya.
"Ngapain berdiri disini?" tanya Arson bingung.
"Mau mandi" bisik Devon sangat pelan sampai tidak bisa didengar.
"Hm? Gua gak bisa denger, coba ngomong lebih kenceng sedikit!" Arson sedikit memajukan tubuhnya untuk mencoba mendengar perkataan Devon dengan lebih jelas.
Tanpa mengulangi apa yang tadi dia katakan, Devon memilih untuk langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi. Dia sedikit menyenggol tubuh Arson yang masih berdiri di hadapannya ketika melewatinya.
Arson sukses kembali dibuat bingung oleh tingkah Devon. Dia bahkan terkejut ketika mendengar suara jeritan dari dalam kamar mandi. Dia mengetuk pintunya beberapa kali. "Devon, lu gapapa?" tanyanya memastikan.
"Iya"
"Nanti abis mandi langsung ke dapur aja buat sarapan ya!"
"Iya"
"Oke gua tunggu di dapur"
"Iya"
Arson tak memikirkannya lagi dan berlalu menuju dapurnya. Selama beberapa menit dia sibuk memasak nasi goreng ayam buatannya sendiri. Dia menata piring di meja makan ketika sudah selesai.
"Arson..." Yang dipanggil mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang dia mainkan. Dia menelan ludahnya ketika melihat Devon yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawahnya.
Arson tidak berkedip melihat tubuh bagian atas Devon yang begitu mulus tanpa cacat sedikitpun dengan kulit seputih susu. Mungkun jika disentuh akan terasa sangat halus. Sial, Arson menggelengkan kepalanya dan beberapa kali menelan ludahnya sendiri.
"Arson?" panggil Devon lagi.
Arson tersentak. Dia mengalihkan pandangannya sedikit mendongak menatap tepat pada wajah Devon. "Ya? Kenapa?"
"Boleh...emm... boleh pinjem baju lagi gak? Baju yang lo kasih semalem basah karna tadi gua kepleset"
Arson berkedip sekali untuk mendapatkan kembali kesadarannya, sebelum dia berjalan menuju Devon. "Lu jatoh? Tapi gapapa kan?" tanyanya memastikan.
"Gapapa, tapi bajunya jadi basah. Bisa pinjem ba-"
"Iya boleh. Tunggu bentar gua ambilin" Tidak lama waktu yang Arson butuhkan untuk kembali dengan membawa pakaian untuk Devon. Satu hoodie putih dan celana pendek selutut yang biasa dia pakai. "Celananya pake ini aja gapapa kan? Kayanya cuman ini yang muat sama lo"
Devon mengambil pakaian itu. "Iya gapapa. Makasih"
Devon kembali setelah dia memakai bajunya. Mereka berdua kemudian duduk untuk sarapan bersama dengan perasaan canggung yang menyelimuti.
"Boleh gua tanya?" Arson yang pertama membuka suaranya. Dia melanjutkan setelah mendapatkan anggukan dari Devon. "Semalem... lu gapapa kan? Maksud gua..eee... Mereka gak sempet ngelakuin apa-apa kan sama lu?"
Devon diam cukup lama. Pandangannya tidak fokus melihat ke Arson. Dibawah meja, kakinya bergerak mengetuk lantai untuk menyalurkan rasa gugupnya. Tapi, sesaat kemudian dia tersenyum singkat pada Arson. "Gua gapapa. Santai aja" jawabnya ringan.
Bohong. Arson tau jawaban itu adalah sebuah kebohongan.
"Yang gua tanya, semalem mereka gak sempet ngapa-ngapain lu kan?" Arson mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan intonasi yang lebih tegas menuntut jawaban.
Devon tak menjawab, tapi dia langsung berdiri dari duduknya. "Makasih makanannya. Sama makasih juga karena lo udah nolongin gua, tapi inget ya, kita ini masih tetep musuhan jadi lupain aja yang semalem! Anggep gak pernah terjadi apa-apa!" ucapnya memperingati, kemudian pergi dari sana.
Arson memijit pelipisnya yang terasa sedikit pusing dan tak lama dia menyeringai kecil. "Devon, ya? Menarik..." gumamnya sendiri.
Sejauh yang Arson tau, Devon adalah ketua Alter yang selalu mencari masalah dengan Sinister. Selalu memulai pertikaian, dan segala hal yang akan berujung mereka bertarung di area tawuran. Tapi apa yang terjadi semalam membuat pemikirannya tentang Devon berubah drastis. Dia yakin ada sesuatu tentang Devon yang membuatnya merasa sangat penasaran dan ingin mengetahui lebih banyak tentang Devon.
Selain itu, Arson juga menyadari jantungnya yang berdebar lebih cepat ketika bersama Devon, menandakan bahwa mungkin saja dia memiliki perasaan pada cowok itu.
Ya, sebelum ini Arson memang sudah memiliki ketertarikan terhadap laki-laki, namun dia adalah orang yang cukup rasional dan merupakan salah satu orang yang tidak percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama.
Jadi, mungkin saja debaran yang dia rasakan saat ini hanya efek dari rasa penasaran atau rasa ketertarikan sesaat yang akan hilang dengan cepat. Atau bisa juga karena tingkah lucu Devon yang membuatnya merasa gemas. Apapun itu, Arson merasa ingin mengetahui lebih banyak tentang Devon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...