022

5.8K 425 46
                                    

⚠ Peringatan adegan kekerasan dan abusive parents
________________________________

"A-ayah..." cicit Devon takut.

Pria dewasa dengan perawakan tubuh besar dan tinggi berjalan mendekati Devon. Langkahnya sangat tegap, aura kemarahan menguar jelas darinya. "Ngapain kamu?" tanyanya sedikit membentak.

Devon jelas gentar, matanya hanya bisa berkedip menatap sang ayah dengan takut-takut. Selain gemetar, tubuhnya juga kaku, tidak tau harus merespon bagaimana.

"Heh! Kalo ditanya itu jawab, bodoh!"

Tubuh Devon oleng ketika kepalanya ditoyor dengan kencang. Beruntung dia bisa berpegangan pada meja disebelahnya untuk menahan bobot tubuhnya supaya tidak terjatuh ke lantai.

"D—Devon laper, Yah" kata Devon menanggapi.

"Terus kalo laper kenapa? Mau myuri makanan di rumah ini?" Ayahnya bertanya dengan nada tinggi yang memekakan telinga. Kuping Devon sampai berdengung sakit karena teriakan yang Ayahnya lontarkan dengan kasar.

"E—enggak..."

"Halah!" Satu pukulan yang keras sukses menghantam perut Devon.

Tidak perlu ditanya, rasanya luar biasa sakit. Perut yang sebelumnya terasa menyiksa bertambah dua kali lipat lebih sakit akibat pukulan yang baru saja dia dapatkan. Meski begitu, Devon tetap berusaha mempertahankan posisinya untuk berdiri walaupun sedikit membungkuk.

"Lemah banget kamu jadi laki-laki! Baru segitu aja udah kesakitan, tapi berani-beraninya kamu mau nyuri makanan di rumah ini. Dasar anak gak tau diri!"

Lagi. Satu pukulan Devon dapatkan tepat di kepalanya.  "Ayah, maafin Devon" kata Devon lirih.

"Anak kaya kamu itu harus di kasih pelajaran ngerti gak?" sentak sang Ayah tepat di depan muka Devon.

"Enggak. Devon enggak ngerti. Kenapa Devonnya harus dipukul? Devon ini cuman laper aja..."  pikir Devon yang tidak bisa dia lisankan.

Sebisa mungkin Devon berdiri dengan kedua kakinya tepat di hadapan sang Ayah. Berusaha untuk tidak menangis seperti anak kecil cengeng yang penakut, meski sebenarnya dia sudah sangat ingin berlari dan menangis di dalam kamarnya.

Devon hanya diam menerima setiap pukulan yang Ayahnya layangkan, membiarkan pria dewasa itu melakukan semaunya lalu pergi jika sudah puas. Seperti yang biasa dia lakukan.

Setiap serangan tangan Ayahnya selalu mengarah pada kepala. Devon beberapa kali menghindar, tapi tenaga Ayahnya jelas lebih prima membuat kecepatan tangannya tidak bisa Devon hindari.

Devon sering kali terlibat langsung dalam aksi tawuran dan perkelahian, semuanya cukup untuk membuat dia mengerti ilmu dasar bela diri, tapi dalam situasi ini Devon tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa takutnya menang diatas segalanya. Nyalinya terlalu kecil hanya untuk sekedar menangkis tangan sang Ayah yang memukulinya.

Perlahan kepala Devon mulai merasakan pening. Dia sudah tidak bisa lagi mempertahankan posisi berdirinya. Tubuhnya ambruk ke lantai, meringkuk berlindung ketika pukulan berganti menjadi tendangan yang mengarah pada perutnya.

Devon merasakan perutnya luar biasa sakit ketika sepatu pantofel yang dikenakan Ayahnya mengenainya. Rasa sakit yang sebelumnya disebabkan karena asam lambung, bertambah dua kali lipat lebih menyiksa karena tendangan yang Ayahnya lakukan.

"A—ayah... udah, Yah. S—sakit..." lirih Devon dengan suaranya yang gemetar.

"Diem kamu! Gak perduli kamu kesakitan, kamu cuman harus diem dan terima semuanya karena kamu pantes dapetin ini. Anak haram sampah kaya kamu emang pantes dipukul, ngerti?"

Devon mengambil napasnya dengan terengah. Dia memegangi perutnya yang terasa sakit, menatap Ayahnya dengan mata yang terbuka sedikit. Bertanya-tanya, bukankah seharusnya tugas seorang Ayah adalah melindungi anak mereka supaya tidak terluka? Lalu kenapa Ayahnya justru melukai dirinya?

Devon terus berpikir berulang kali, apa salahnya sampai dia pantas mendapatkan perlakuan menyakitkan seperti ini?

"Kamu laper? Mau makan ya?" Langkah kaki Ayahnya bergerak ke arah kepingan nugget yang berserakan di lantai, kemudian menginjak satu keping nugget dengan kakinya yang masih terbalut sepatu pantofel. "Kamu tuh cuman numpang di rumah ini, gak pantes makan apapun yang ada disini. Kamu gak berhak dapet apapun dari hasil kerja keras saya, ngerti gak?" tanyanya diakhiri satu tendangan keras pada kepala Devon, berlanjut pada tendangan-tendangan selanjutnya yang mengenai perut dan bagian tubuh lainnya.

Terdengar suara helaan napas dari Ayahnya yang melihat sekitar, mencari benda apa pun yang bisa dipakainya untuk menghajar. Dan akhirnya, sapu dengan gagang kayu kokoh menjadi pilihannya.

Jantung Devon berdebar kencang, merasakan ketakutan menguasai dirinya. Dia menelan ludah untuk menghilangkan setidaknya sedikit rasa takutnya. Meski nyatanya perasaan takut tidak berkurang sedikitpun.

Berulang kali Devon meyakinkan dirinya bahwa ini bukan pertama kalinya dia diperlakukan begini, ini bukan hal baru dalam hidupnya. Dia sudah melewati ketakutan ini berulang kali, seharusnya rasanya sudah familiar di tubuhnya, tapi kenapa dia tetap merasa takut?

"ARGH—shhh..." Devon menjerit ketika punggungnya dihantam berulang kali menggunakan gagang kayu tersebut.

"Saya jijik ngeliat anak haram kaya kamu ada di sekitar saya. Kenapa kamu gak ikut mati aja bareng ibumu yang pelacur itu? Dasar anak jalang!"

Devon mulai menangis dalam diam. Dia menerima serangan verbal dan fisik itu secara bersamaan, sampai rasanya tubuhnya mulai mati rasa. Dia sudah tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri yang bergetar hebat sejak tadi.

Pandangan mata Devon kini berbayang kabur, darah menutupi sebagian wajahnya akibat luka sobek di pelipisnya, dan rasa sakit di perutnya yang seperti menyayat dari dalam. Semua badannya terasa sakit karena pukulan dan tendangan yang mengahantam secara bertubi-tubi.

Hanya rasa sakit yang bisa Devon rasakan. Dalam kepalanya penuh berisi kata sakit yang terus berulang seperti kaset rusak, bertanya-tanya kapan kemarahan Ayahnya ini akan mereda.

"Kamu itu harusnya mati aja daripada nyusahin saya, sialan!" Tendangan mengenai kepala Devon berkali-kali, tanpa perduli jika nantinya itu akan berakibat fatal.

Jika bisa, Devon juga akan lebih memilih ikut meninggal bersama dengan ibunya daripada terus hidup dalam ketakutan seperti ini.

"Hidup kamu cuman jadi benalu buat hidup saya, tau gak?" Setiap kalimat yang keluar terus beriringan dengan tongkat kayu yang menghantam punggungnya. Devon sudah tidak bisa merasakan bagian belakangnya. Sakit atau apapun sudah tidak lagi terasa pada pungunggunya yang mati rasa.

"M—maaf..." Satu kata yang berhasil keluar bersamaan dengan darah yang menetes dari mulutnya yang sobek di beberapa bagian.

Ayahnya berjongkok. Menyamai posisi Devon yang sudah tergeletak lemas di lantai, menjambak rambut Devon untuk memaksanya menatap lelaki itu.

"Shh..." Devon meringis. Kepalanya yang sudah terasa luar biasa sakit bertambah perih ketika helaian rambutnya ditarik kuat oleh sang Ayah.

Senyuman licik terlihat mengembang di wajah Ayahnya. "Buat apa kamu minta maaf? Maafmu gak berguna. Sampah, sama kaya kamu, dasar anak pelacur!"

Dug

Tanpa belas kasihan, kepala Devon di jedotkan pada lantai keramik dengan sangat keras, membuat kepalanya berdengung sakit. Telinganya sudah tidak menangkap suara apapun lagi, matanya juga sudah tidak bisa mendeteksi objek disekitarnya.

Buram dan hening. Semuanya total berhenti dari sudut pandang Devon. Seakan dunianya berhenti saat itu juga. Devon tidak bisa lagi merasakan pancaindranya berfungsi dengan baik, semua indranya seperti telah mati, bahkan sakit di seluruh badannya pun sudah tidak lagi terasa. Detik selanjutnya kegelapan sepenuhnya mengambil alih kesadarannya.

Ayahnya baru berhenti melakukan semua kekerasan itu setelah Devon benar-benar tidak bergerak, kemudian pergi meninggalkan tubuh Devon tergeletak di lantai yang dingin sendirian. Tanpa perduli pada keadaan Devon yang memprihatinkan dengan segala lukanya yang mungkin akan berakibat fatal.

___________________

Devon gua beneran minta maaf udah nulis begini, nanti dibeliin chocopie deh yaa😭😭

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang