050

3.2K 316 18
                                    

Motor matic yang Yasa kendarai berderum pelan saat berhenti di depan sebuah rumah yang beralih fungsi menjadi markas geng Sinister. Dindingnya penuh dengan coretan graffiti, jendela-jendelanya ditutup rapat dengan tirai tebal, dengan beberapa motor yang terparkir di pekarangannya.

Devon turun dari motor dengan perlaha.. "Makasih, Yasa," katanya, suaranya terdengar bergetar.

"Sama-sama," Yasa mengangguk sambil menatap temannya itu dengan penuh kekhawatiran. "Lo yakin gapapa kalo gua tinggal? Aman gak lo nanti sendirian di sini?"

Devon menggeleng pelan. Pandangannya tertunduk, matanya menatap kosong ke arah sepatu yang dia kenakan. "Gatau mau kemana," cicitnya, suaranya serak oleh kegelisahan yang coba dia sembunyikan. "Mau ketemu Arson..."

Yasa mengangguk, tapi bagaimanapun ini adalah markas musuh. Yasa merasa Devon seperti menyerahkan nyawanya dengan datang kesini, tapi dia juga mengerti perasaan bingung yang Devon rasakan.

Secara naluri, tangan Yasa bergerak mengelus lembut pucuk kepala Devon. "Lo hati-hati ya. Maafin omongan Noval tadi... Dia gak bermaksud mau jauhin lo. Dia cuman khawatir, makanya dia sampe marah begitu," katanya dengan nada penuh perhatian. Tangannya kemudian merapikan poni Devon yang menutupi matanya.

Devon tidak menjawab perkataan Yasa, dia hanya terdiam dengan tatapan yang tampak semakin jauh. Perkataan Noval tadi masih bergema di kepalanya. "E-emangnya bener... Arson jahat?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam dalam gumaman, tapi cukup jelas untuk membuat Yasa merasa terpojok.

Yasa tercekat dengan pertanyaan itu, tapi dia tetap memaksakan sebuah senyuman di wajahnya. "Udah, gausah dipikirin. Dah sana masuk cari Arson. Gua tungguin lima menit di sini, kalo ada apa-apa langsung keluar aja ya!" katanya.

Devon mengangguk, kemudian berjalan pelan menjauhi Yasa. Sesekali, Devon menoleh ke belakang, memastikan bahwa Yasa masih berada di sana, memberikan sedikit rasa aman di tengah ragu yang semakin kuat menghantuinya.

Yasa pada posisinya duduk di atas motor, memberikan isyarat dengan tangannya agar Devon terus melangkah.

"Devon?" Suara itu membuat Devon tersentak. Dia menoleh dengan cepat, melihat di hadapannya, berdiri salah satu anggota Sinister yang Devon ketahui namanya Sultan.

"Devon ketua Alter? Ngapain kesini?" Seseorang di samping Sultan bertanya. Devon tidak mengenali yang satu ini, tapi cowok itu berdiri selangkah di depan Sultan dengan gestur melindungi. "Lo kesini sendiri? Nyari mati banget, nyet" dengusnya mengejek.

Noval yang dari kejauhan melihat itu sudah turun dari motornya, bersiap menghampiri, tapi dia berhenti ketika Sultan justru memukul kepala orang yang tadi biacara. "Rian bacot! Geser dulu kenapa sih! Gua mau ngomong sama Devon ish!" gerutunya.

"Sakit anjing!" Rian mengeluh sambil mengusap kepalanya yang kena pukul.

"Ya mampus," jawab Sultan singkat, lalu kembali menatap Devon dengan serius. "Mau ngapain kesini? Ada perlu kah sama bang Fatah?"

Devon yang ditanyai begitu semakin gugup. Dengan gerakan kaku, dia menggeleng. "A-Arsonnya ada?" cicitnya dengan kepala menunduk. Memainkan jemarinya.

"Hah? Siapa? Suara lu kecil banget anjir, coba diulang!" kata Sultan dengan nada tidak sabaran.

"Arson, goblok! Dia nyari Arson. Budek amat kuping lu" sahut Rian dengan nada meledek sarkas.

"Ya namanya gak denger. Komen aja sih lu," balas Sultan dengan nada tak kalah sinis. Dia kembali fokus pada Devon, tampaknya memilih untuk mengabaikan kehadiaran sosok Rian disebelahnya. "Emm... gua gak tau sih ada Arson apa enggak di dalem, soalnya gua kan juga baru dateng nih, tapi coba deh gua liat dulu. Bentar ya!"

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang