Dengan sedikit tergesa, Arson membuka pintu UKS, melihat Devon yang sedang duduk di atas bangsal dengan Noval disampingnya.
Arson berdiri diam sejenak di ambang pintu, tidak langsung masuk, memperhatikan bagaimana tangan Devon yang sedikit bergetar saat mengoleskan salep di tangan Noval. Arson dapat melihat bahwa Devon sedang berusaha menahan tangisnya, yang berujung gagal karena air matanya sesekali jatuh ketika dia berkedip.
"Maaf, Pal. Tangannya jadi luka—"
"Bukan salah lo! Diem deh, sekarang gua lagi kesel banget sama tuh nenek lampir. Bisa-bisanya dia nyakar gua sialan! Tangan mulus gua, ck" kata Noval sambil mendengus sarkas. Namun, sebenernya dia hanya tidak mau mendengar kata bersalah dari Devon.
"Tapi—"
Sebelum Devon bisa melanjutkan, suara Arson lebih dulu memecah keheningan. "Devon," panggilnya pelan, tapi cukup untuk membuat dua orang itu tersentak kaget dan menoleh ke arahnya.
Devon menatap Arson dengan mata yang sedikit membesar. "Arson? Kapan ada di sini?" tanyanya sambil buru-buru menghapus air mata yang tidak mau berhenti.
Arson menghela napas panjang, ekspresi wajahnya berubah sedih. Mengambil langkah cepat mendekati Devon. Kemudian Arson langsung merentangkan tangannya dihadapan sang kekasih. "Peluk!" pintanya.
Meski bingung karena sikap aneh Arson, Devon tetap mendekatkan diri memeluk pacarnya. Membawa tubuh kecilnya tenggelam dalam dekapan lengan Arson.
"Jangan takut, please. Jangan..."
Untuk pertama kalinya Devon mendengar suara Arson gemetar. Suara yang selalu tegar ketika menenangkannya, hari ini terdengar tidak sekuat biasanya. Membuat Devon jadi bingung sendiri, bahkan air matanya sudah tidak lagi keluar sejak keterkejutannya melihat raut Arson yang tidak lagi tenang seperti yang selalu dia lihat.
Otak Devon berputar, mengingat apa yang biasa pacarnya ini lakukan padanya. Dia mengusap punggung Arson dengan gerakan selembut mungkin. "Gak takut kok, Devonnya aman. Gapapa Arson" bisiknya berusaha meniru sikap tenang yang dia pelajari dari sang kekasih.
Tidak ada respon dari Arson untuk beberapa saat. Waktu terasa melambat dalam keheningan yang mereka ciptakan. Mereka tetap berada dalam posisi itu, hanya saling merasakan kehadiran satu sama lain, hingga akhirnya, setelah tiga menit berlalu, Arson bergerak lebih dulu mengurai pelukan mereka.
Tanpa banyak bicara, dia menangkup wajah Devon dengan kedua tangannya, ibu jarinya dengan lembut menyentuh pipi Devon dan tanpa peringatan, menyatukan bibir mereka. Mencium Devon dengan gerakan pelan.
"Jir? Aish brengsek, mata gua ternodai! Gua keluar dah!" seru Noval dengan nada geli dan setengah terkejut.
Namun, Arson sama sekali tidak menggubris, mengabaikan Noval yang sudah berjalan keluar dari ruangan ini
Sementara Devon total kosong, pipinya total merona, dengan matanya yang berkedip lambat. Jelas merasa terkejut dengan hal tiba-tiba yang Arson lakukan. Ingin dia melepaskan diri, karena merasa wajahnya sangat panas sampai ke telinga, tapi dia menyadari bahwa sekarang Arson seperti sedang menyalurkan isi hati.
Bagi Devon, rasa takut sudah menjadi teman yang akrab baginya. Dari sekali lihat saja, dia sudah bisa mengenali jenis perasaan yang Arson pancarkan dari sorot matanya. Namun, yang membuat Devon bingung, apa yang membuat laki-laki setenang Arson sampai merasa takut? Apakah karena perkataan Jenna tadi?
Terlalu hanyut dalam isi kepalanya sampai Devon baru tersadar kerika Arson melepas pangutannya.
"Devon" Arson memanggil.
"Ya?"
"Jangan takut sama aku, ya?"
Apa itu sebuah pertanyaan atau permohonan? Devon tidak bisa membedakannya sebab nada yang Arson gunakan terdengar samar antara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...