039

5.6K 474 68
                                    

Perlahan mata bulat itu terbuka, berkedip tidak nyaman beberapa kali sebelun tangannya bergerak untuk menguceknya. Arson dengan segera menahan tangan Devon yang masih di infus. "Udah bangun?" Pertanyaan lembut itu berhasil mengambil atensi Devon yang sekarang fokus menatap Arson dan mengangguk.

"Arson..." Devon mencicit kecil.

"Kenapa?" Arson nerapihkan poni yang menutupi kening Devon, mengusapnya lembut dengan tangannya. "Dev, lo boleh pulang hari ini," kata Arson lagi, berusaha menahan senyum yang hampir muncul di wajahnya.

Namun, Devon bereaksi cepat. Devon menggeleng keras, menolak dengan tegas. "G-gak mau pulang... Takut...r-rumah," ungkapnga dengan suara yang pecah oleh ketakutan.

Arson melihat kepanikan itu, langsung bergerak mendekati, mencoba menenangkan.

"Ssstt... tenang, Dev, tenang," bisik Arson sambil memegang dua sisi kepala Devon dengan lembut, membuat cowok kecil itu menatap dirinya. "Kita nggak pulang ke sana. Kita nggak akan pergi ke rumah itu."

Devon masih terisak. Dengan ragu-ragu, dia menatap Arson dengan tatapan yang bergetar penuh tanya.

"Kita pulang ke tempat gua ya? Ke apartemennya Arson, oke?" Arson melanjutkan, suaranya tetap lembut, tapi sirat akan ketegasan.

Devon menatap Arson dengan mata sembab, masih merasa tidak yakin. Dia sama sekali tidak mengangguk ataupun memberikan reaksi, hanya tatapan yang terus mengarah ke mata Arson, seakan memberitau seberapa rapuhnya dia.

"Ya, lo mau kan, pulang sama gue?" desak Arson dengan suara yang tetap tenang.

"A-apartemen?" tanya Devon dengan suara bergetar.

"Iya, kita pulang ke apartemen gue," jawab Arson dengan senyum yang menenangkan.

Akhirnya, Devon terlihat sedikit lebih tenang. Dia mengangguk pelan, tanda setuju yang membuat Arson bisa sedikit menarik napas lega.

"Nah sekarang kita makan dulu ya" kata Arson sambil berdiri dan mengambil nampan berisi makanan dari meja kecil di samping ranjang.

Dia mengambil mangkuk bubur dan dengan penuh perhatian menyendokkan sedikit untuk disuapi pada Devon. "Ayo, buka mulutnya," ujar Arson lembut sambil menyodorkan sendok itu ke mulut Devon.

Namun, Devon menggeleng cepat dengan wajah ketakutan. "E-enggak, Arson. Devonnya gak...m-makan," tolaknya dengan suara yang bergetar.

Arson mencoba bersikap sabar. "Sedikit aja ya? Tiga suap," bujuknya lagi, tapi Devon terus menolak, menggeleng dan menutup mulutnya rapat setiap kali sendok itu mendekat.

Semakin lama, kesabaran Arson semakin menipis. Dia sudah menghabiskan hampir dua minggu penuh merawat Devon yang tidak mau makan, dan kelelahan serta kekhawatiran terus menghantuinya. Dia juga hanya manusia biasa yang memiliki batas kesabaran. Hal yang wajar kalau dia juga merasa lelah.

Setelah beberapa kali dia mencoba dan tetap hanya penolakan yang dia dapatkan, akhirnya kesabaran Arson sampai pada batasnya.

Dengan kasar, Arson meletakkan mangkuk itu ke atas meja sampai menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. "Terserah! Kalo lo gak mau makan yaudah, terserah lo!" bentak Arson tanpa sadar.

Devon terlonjak kaget. Dia yang tadinya menangis langsung diam. "A-Arson..." gumamnya lirih dengan suara yang bergetar, menatap kosong pada Arson yang mulai berjalan pergi keluar dari ruangan.

Arson berjalan dengan langkah cepat, hatinya diliputi perasaan emosi yang membuncah. Dia berusaha menenangkan diri di lorong koridor rumah sakit karena pikirannya berkecamuk penuh.

"Loh, Arson?" Arson menoleh, mendapati Fino dan Vico yang berjalan ke arahnya. "Ruangannya Devon ada dimana?" Vico bertanya.

Arson mengusap kasar wajahnya sebelum menjawab. "Kamar 109 di lantai tiga. Lo masuk aja, gua ada yang perlu diomongin sama Fino."

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang