051

4K 380 56
                                    

Arson membawa Devon masuk ke dalam unit apartemennya. Menggiringnya menuju sofa, lalu menarik pinggang Devon dengan lembut, membuat cowok itu duduk di pangkuannya.

"Tadi katanya mau main sama Noval, kok tiba-tiba bisa ada di markas?" tanya Arson sembari menyelipkan helai rambut Devon pada telinga. Matanya sangat teduh memandang Devon, memancarkan banyak cinta yang tersampaikan dengan baik.

"Tadi Devonnya mau langsung pulang ke sini, tapi... t—tapi jalannya lupa..." cicit Devon pelan. Dia menunduk, merasakan jantungnya berdebar kencang karena posisi ini, serta tatapan intens dari Arson yang membuatnya gugup tanpa sebab.

Arson terkekeh rendah, membuat Devon mendongak dan menatapnya. Dengan gemas, Arson mengangkat tangannya untuk mengusak rambut cowok yang saat ini sedang dia pangku. "Kenapa gak telpon, sayangku? Kan udah ada nomernya di handphone," katanya.

Wajah Devon berubah merah dengan sempurna, serta rasa panas yang menjalar sampai ke telinga. Dia malu mendapati bahwa dia melupakan hal tersebut, terlebih dengan panggilan sayang yang Arson lontarkan, total membuat perasaan Devon tidak karuan.

Melihat reaksi yang pacarnya tunjukan, Arson tidak bisa menahan tawanya. "Lucu banget sih pacarnya Arson ini," bisiknya dengan penuh rasa sayang.

Cup. Cup. Cup.

Tiga kali berturut-turut Arson mengecupi bibir Devon, sebagai pelampiasan rasa gemasnya. Jantungnya tidak tahan melihat kelucuan tingkah sang kekasih.

Berbeda reaksi dengan yang dikecup.  Devon justru semakin merah padam, saat ini wajahnya benar-benar sangat panas sampai matanya berkaca-kaca. "Arson ih, jangan gitu" rengeknya, lalu menjatuhkan kepala bersandar pada dada Arson, berusaha menyembunyikan wajahnya yang tersiupu malu.

"Hm? Kenapa?" tanya Arson pura-pura tidak mengerti. "Kepalanya pusing?" tanyanya dengan nada main-main, meskipun sebenarnya dia sedang berusaha menahan senyumnya.

Devon hanya menggeleng, tetap menyembunyikan wajahnya di dada Arson.

"Terus kenapa? Coba liat sini dulu mukanya," pinta Arson dengan lembut.

Devon semakin merengek, kakinya menendang-nendang angin di sisi tubuhnya. "Gamau!! Malu ih, Arson mah!" balasnya dengan nada manja.

Dengan itu, tawa Arson mengudara.  Devon begitu lucu dan menggemaskan. Dia dengan lembut mengangkat kepala Devon, lalu mengecupi setiap inci wajah imut pacarnya itu. Tidak ada satupun bagian yang terlewat, dari kening, mata, hingga bibir, semuanya sudah Arson kecup lembut.

"Ihhihihi... geli Arson... Geli..." Devon terkikik, berusaha menghindari kepala Arson yang terus menyerangnya dengan kecupan. "Udah ih geli..." pintanya sambil tertawa.

Arson akhirnya menjauhkan wajahnya sedikit, lalu menunjuk pipinya sendiri dengan telunjuk. "Gantian, gua yang dicium kalo gitu," katanya sambil tersenyum.

Devon terdiam seketika, terkejut dengan permintaan Arson yang tiba-tiba. Matanya membesar, menatap pacarnya itu tanpa kata, seolah waktu berhenti sesaat. Perasaan campur aduk antara malu dan ragu membuat Devon tidak tahu harus berbuat apa.

Arson, yang menyadari kebingungan Devon, memasang wajah sedih yang sengaja dibuat-buat. "Kok diem aja? Devon gak mau ya cium gue?" tanyanya dengan nada yang terdengar memelas. Namun, di balik raut wajah itu, hatinya justru menjerit senang, melihat betapa lucunya ekspresi yang Devon buat.

"Enggak! Ee... Devon... Devonnya..." Devon panik. Dia gelagapan sendiri saat dihadapkan dengan perkataan Arson.

"Apa? Beneran gak mau ya nyium gua?" kata Arson memprovokasi lagi.

Devon menjadi semakin panik. Tanpa berpikir panjang lagi, dia akhirnya memberanikan diri untuk mengecup pipi Arson. Gerakannya sangat cepat, bahkan Arson tidak sempat berkedip saat bibir Devon menyentuh pipinya. Setelah itu, Devon langsung menubrukkan diri, memeluk Arson dengan erat. Wajahnya memerah, malu dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Udah dicium..." cicitnya sangat pelan, hampir tak terdengar.

Sementara Arson berusaha keras mengulum senyumnya, menggigit pipi bagian dalamnya karena tidak sampai hati jika harus melepas tawa. Dia tahu bahwa jika dia tertawa sekarang, Devon pasti akan semakin malu. Akhirnya, Arson hanya melingkarkan tangannya pada pinggang Devon, merengkuh erat tubuh sang kekasih untuk juga meredam jantungnya yang berdebar sangat gila.

"Makasih, sayang," bisik Arson lembut di telinga Devon, suaranya begitu halus hingga hanya Devon yang bisa mendengarnya.

"Malu..." jawab Devon pelan, hampir seperti gumaman, masih menyembunyikan wajahnya di dada Arson.

Arson tersenyum lembut sambil membelai kepala pacarnya. "Jangan malu, kan yang Devon cium pacarnya sendiri, bukan pacar orang lain. Gak perlu malu, sayang. Lo boleh nyium gue sebanyak apapun, kapanpun, dimanapun lo mau kok. Gapapa" ucapnya, mencoba menenangkan Devon dengan kata-kata manis.

Devon menegakkan tubuhnya sedikit, menatap Arson dengan mata bulatnya yang sedikit membesar. "Boleh?" tanyanya polos.

Arson jelas langsung mengangguk. "Kenapa harus gak boleh?" tanyanya balik, seolah apa yang dia katakan adalah hal paling wajar di dunia.

Namun, Devon tidak memberi reaksi yang diharapkan. Dia menunduk dan memainkan jemarinya dengan gelisah. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

Arson yang menyadari itu mengerutkan alisnya bingung. Dia mengangkat dagu Devon dengan lembut, memaksanya untuk menatapnya. "Kenapa, hei?" tanyanya pelan dengan suara yang penuh perhatian.

"Tapi... tetep malu," kata Devon menjawab pelan sembari menggelengkan kepala.

Mendengar itu, membuat Arson tersenyum gemas. Dia menangkup wajah Devon dengan kedua tangannya, kemudian kembali mengecup kedua pipi bulat pacarnya dengan sayang. "Yaudah, kalau gitu biar gue aja yang cium. Kasih tau gue kapanpun lo mau dicium, ya sayang?" kata Arson dengan nada lembut, menawarkan solusi yang menurutnya paling cocok.

Devon mengangguk puas, senyum kecil terukir di wajahnya yang manis. "Iyaa makasih, Arson" balasnya terdengar lebih lega.

"Gak perlu makasih, sayangku" Arson tersenyum tulus, sekali lagi dia mengecup bibir mungil pacarnya itu. "Devon udah makan belum? Laper gak, sayang?" tanyanya, merubah topik pembicaraan dengan cepat.

Devon menggeleng. "Bobo aja," jawabnya dengan suara yang sedikit manja.

Arson tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Eyy... Harus makan dong. Mau ya, gue suapin?" tawarnya lembut, mencoba meyakinkan Devon.

Namun, Devon tetap menggeleng, kali ini dengan lebih tegas. "Mamnya abis bangun bobo aja, boleh?" tanyanya. Menatap Arson dengan mata memohon yang secara natural terpancar.

Hal itu jelas membuat Arson luluh dengan mudah, sebab dia tidak bisa menolak pesona mata indah milik Devon itu. Jadinya dia hanya bisa menghela napas dan mengangguk sekilas. "Yaudah, tapi nanti jam lima sore gue bangunin ya? Gue suapin, harus mau!" ucapnya sedikit tegas, membuat perjanjian kecil dengan Devon.

Kali ini Devon mengangguk dengan senyum manis yang terpatri di wajahnya. "Okei," sahutnya senang.

Arson ikut tersenyum, merasa hatinya penuh dengan letupan-letupan euphoria kebahagiaan. Dia memeluk Devon dengan erat, memastikan posisi  kekasihnya sudah nyaman dan aman. Kemudian dia berdiri dengan Devon dalam gendongannya, seperti anak koala kecil yang bergelayut. "Pegangan ya! Gue gendong ke kamar," katanya sembari melangkah menuju kamar tidur, siap menemani Devon tidur siang.



__________________________
Mau nanya dikit, cowok redflag tuh gimana sih?

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang