043

5K 482 40
                                    

Arson baru saja masuk ke apartemennya. Di sana, dia melihat Devon yang duduk di lantai bersama Vico, sedang bermain lego. Keduanya tampak sangat asyik menyusun balok-balok berbagai warna itu menjadi bentuk yang mereka inginkan.

Arson langsung melangkah cepat dan berhambur memeluk Devon dengan sangat erat. Tidak memperdulikan Devon yang berjengkit kaget atau Vico yang menatap terkejut. Arson memilih egois untuk sekarang. Setelah semua yang terjadi, rasanya dia membutuhkan ini. Arson tetap hanya manusia biasa yang juga membutuhkan sandaran.

"A—Arson... kenapa?" tanya Devon. Tangannya menjatuhkan balok lego yang dia genggam, beralih memegang tangan Arson yang melingkar di pinggangnya.

Arson tidak menjawab, dia hanya menggeleng, menenggelamkan kepalanya pada pundak Devon, dan semakin mengeratkan pelukannya. Perlahan, isak tangis samar terdengar. Arson mulai menumpahkan beban di hatinya, meski dia belum bisa seterbuka itu dengan menyembunyikan wajahnya.

Devon panik. "Kok... Arsonnya nangis? Ada orang jahat ya? A—Arsonnya dijahatin?" tanya Devon dengan nada sedih. Dia tidak suka melihat Arson seperti ini, hatinya ikut sedih.

Arson tidak bersuara, semakin meneteskan air matanya karena mendengar suara Devon. Bukan tanpa sebab dia menangis. Arson merasa dia sudah tidak sanggup menahan beban perasaannya sendiri, rasanya campur aduk sampai membuat Arson sendiri kebingungan. Namun, yang dia tahu, perasaan sayang pada Devon mendominasi hatinya.

Arson melihat sendiri semua ketakutan yang harus Devon tanggung. Awalnya Arson merasa marah pada apa yang terjadi pada cowok kecil itu, tapi setelah hal yang dia lakukan beberapa saat lalu, rasa marahnya melebur jadi perasaan sedih yang menghantui. Sesak sekali hatinya ketika mengetahui bahwa selama tujuh belas tahun hidupnya, Devon harus mendapat perlakuan buruk seperti itu hanya karena salah paham.

Devon tidak pantas mendapatkan hal seperti itu. Bahkan rasanya seperti Devon tidak pantas untuk dunia yang sangat jahat ini. Rasanya, Arson ingin melindungi Devon dengan apapun yang dia miliki.

"A—Arson jangan nangis, Devonnya juga sedih" kata Devon sambil mengelus lembut tangan Arson.

Bukannya memberi efek tenang, apa yang Devon katakan justru membuat Arson semakin menangis. Dia mengangkat kepala, memperlihatkan wajahnya yang sudah sangat kacau oleh jejak air mata, juga sembab memerah di bagian hidung dan mata.

Arson menangkup wajah Devon dengan kedua tangan, memutarnya pelan menghadap sedikit ke belakang, lalu tanpa aba-aba dia menempelkan kedua bibir mereka.

Devon melebarkan matanya terkejut, bahkan Vico yang masih ada disana ikut menganga tidak percaya dan memilih untuk melipir pergi ke dapur.

Berbeda dengan Arson yang bersikap abai dengan sekitar dan memilih memejamkan mata, menikmati ciuman di antara mereka dengan air mata yang terus mengalir dari matanya.

Perasaan Arson semakin sesak, dipenuhi oleh ledakan kasih sayang yang membuncah setelah dua bibir mereka bertemu.

Sepertinya, Arson sudah berada di tahap yang berbeda daripada hanya sekedar jatuh cinta. Sebab dia seperti akan gila dengan segala sesuatu yang menyangkut tentang Devon.

Waktu seakan berhenti. Devon sama sekali tidak bergerak seakan kaku, sedangkan Arson juga tidak berniat melakukan apapun. Ciuman itu benar-benar hanya sekedar bibir mereka yang saling menempel, tanpa lumatan atau nafsu sama sekali. Arson melakukan ini hanya karena dia merasa membutuhkan pelampiasan atas semua perasaan tidak nyaman yang sempat bersarang dalam hatinya.

Beberapa detik berlalu, akhirnya Arson melepaskan pangutan di anatara mereka. Berganti menempelkan keningnya dengan kening Devon, mempertemukan manik terangnya dengan manik Devon yang sedikit lebih gelap.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang