005

9.4K 510 8
                                    

Hari itu, Arson berjalan bosan menyusuri koridor di sekolahnya. Kakinya berjalan ke sembarang arah tanpa tujuan menikmati suasana sekolah yang sepi sebab hampir semua orang sedang beraktivitas di dalam kelas. Dengan kata lain, saat ini Arson sedang membolos.

Setelah merasa bosan karena sudah menyusuri seluruh sudut di sekolah ini, Arson memutuskan pergi menuju belakang sekolah, tempat dimana dia biasa merokok.

Arson mengernyitkan dahi sebab indra pendengarnya mendengar suara rintihan sakit ketika dia melewati toilet laki-laki. Suara samar itu semakin terdengar jelas seiring dengan langkahnya yang kian mendekat.

Untuk memenuhi rasa penasarannya, dia membawa tubuhnya masuk ke dalam toilet laki-laki dan mendapati Devon berada disana dalam keadaan meringkuk kesakitan sambil memegangi perutnya.

"Devon, lo kenapa?" tanya Arson yang bergegas mendekat pada Devon.

Devon menoleh sedikit untuk melihat siapa yang datang. Tangannya langsung terulur ketika mengetahui itu adalah orang yang setidaknya dia kenali. "Uhm... T-tolong...shh sakit..." rintihnya mengadu kesakitan.

"Apanya yang sakit?" tanya Arson. Nada khawatir terdengar begitu kentara meski dikeluarkan tanpa sadar.

"P-perut... Shh s-sakit banget Arson"

"Sini!" Arson memposisikan satu tangannya di bawah lutut Devon, sementara tangan lainnya memeluk erat tubuh yang kini sedikit bergetar kecil. Kemudian, dengan gerakan hati-hati, Arson mengangkat tubuh Devon dalam gendongannya. "Pegangan ke leher gua biar gak jatoh!" titah Arson.

Devon menurut. Tangannya yang semula masih mencengkram kuat perutnya, kini berganti memeluk erat leher Arson supaya dia tidak terjatuh. Devon tidak sempat berpikir hal apapun lagi, karena saat ini fokusnya tertuju pada rasa sakit yang menyengat di dalam perutnya.

Arson bergegas membawa Devon ke UKS. Saat memasuki ruangan, dia menendang pintu dan berteriak memanggil siapa pun yang mungkin berada di dalamnya. Namun, gerakannya berubah menjadi sangat perlahan dan berhati-hati saat meletakkan orang yang dia gendong ke bangsal yang paling dekat dari tempatnya berdiri

"Ini kenapa?" tanya salah satu guru petugas yang memang berjaga di UKS.

"Saya gak tau, Bu. Saya udah liat dia kesakitan kaya gitu di dalem toilet" Arson menjelaskan apa yang dia ketahui. "Bisa tolong di periksa, Bu?" lanjutnya kemudian.

Guru petugas itu segera memeriksa tubuh Devon yang masih terus merintih sakit. Arson memilih menyingkir untuk memberikan sedikit ruang dan tidak mengganggu proses pemeriksaan.

Satu menit lebih pemeriksaan itu akhirnya selesai. Arson langsung kembali mendekat.

"Jadi, dia kenapa, Bu?" tanya Arson. Ekspresi wajah dan nada bicaranya sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Meski tidak diperlihatkan secara berlebihan, tapi gerak-gerik laki-laki itu sudah cukup untuk membuat siapapun yang melihatnya mengetahui kalau saat ini Arson sedang khawatir.

"Gejala sakit perut seperti ini mungkin saja disebabkan karena maag. Apa tadi pagi kamu sarapan?" tanya guru petugas itu pada Devon yang dibalas gelengan kecil. Guru itu hanya menghela napasnya. "Biasakan sarapan terlebih dulu sebelum berangkat sekolah, ya!" saran guru itu yang kali ini dibalas dengan anggukan kepala.

Guru itu berjalan menuju satu-satunya lemari kaca yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan. Dia menggeser pintunya dan mengambil beberapa barang. Kemudian, guru itu kembali mendekati Devon dan menyerahkan dua barang yang dia ambil.

"Ini, kamu minum obat maag-nya ya! Setelah lima belas menit makan biskuitnya untuk mengganjal perut. Tunggu lima belas menit lagi sebelum kamu makan makanan berat lainnya" Guru itu memberi perintah pada Devon, lalu berbalik menatap Arson. "Pastiin dia makan nasi yang bener setelah tiga puluh menit!" tegasnya memberi perintah pada Arson.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang